Qanun Jinayah di Aceh Harus Direvisi Karena Rugikan Korban Perkosaan

Para aktivis perempuan meminta pemerintah Aceh untuk segera merevisi Qanun Jinayah karena tak berpihak pada korban kekerasan seksual

Penerapan qanun jinayah atau hukum pidana yang merupakan bagian dari syariat Islam dalam kasus pemerkosaan terhadap anak di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, kembali menjadi sorotan. Qanun jinayah diminta untuk direvisi karena kerap tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual.

Vonis bebas yang ditetapkan Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap DP (35) pelaku pemerkosaan terhadap anak di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, baru-baru ini dikecam luas. Mantan Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, adalah salah seorang yang mengkritisi putusan yang didasarkan atas aturan jarimah dalam qanun atau hukum itu.

“Selagi pemerkosaan dan pelecehan seksual masih ada di dalam qanun jinayah, putusan seperti ini berpotensi terulang kembali. (Putusan itu) memperlihatkan bagaimana hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh yang memeriksa berkas ini tidak terlalu memahami hukum acara pidana,” katanya kepada VOA, Selasa (25/5/2021).

Perbuatan jarimah (pemerkosaan dan pelecehan seksual) diatur dalam Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Bahkan di dalam Pasal 72 Qanun Aceh perbuatan jarimah sebagaimana diatur dalam qanun dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun yang berlaku adalah aturan jarimah dalam qanun

Menurut Azriana, penggunaan qanun jinayah dalam kasus pemerkosaan kerap tidak berpihak kepada korban, seperti yang dialami korban. Pemerintah Aceh pun diminta untuk merevisi qanun jinayah dengan mencabut pasal tentang jarimah.

“Sudah saatnya gubernur dan DPR Aceh merevisi qanun jinayah dengan mencabut pasal tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual. Karena hanya dua ini kekerasan seksual yang di dalam qanun jinayah. Dalam daftar jarimah yang dilarang di dalam qanun jinayah itu hanya dua ini yang kekerasan (seksual). Lainnya itu bukan kekerasan seksual,” ujarnya.

Perbuatan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang ada di dalam qanun jinayah sudah seharusnya dikembalikan kepada proses hukum peradilan pidana, dan diselesaikan oleh pengadilan yang memiliki kompetensi untuk mengadili perkara pidana.

“Supaya kita bisa hentikan proses peradilan yang itu merugikan korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan seksual,” ucapnya.

KPPA: Qanun Jinayah Tidak Berpihak pada Anak Korban Kekerasan Seksual

Hal serupa juga dikatakan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Firdaus Nyak Idin. Vonis bebas Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap DP semakin membuktikan bahwa qanun jinayah sangat tidak berpihak pada anak korban kekerasan seksual.

“Kalau qanun-nya saja nir-perspektif perlindungan anak, bagaimana kita bisa berharap pada sumber daya manusianya yang kemungkinan besar juga nir-perspektif perlindungan anak!. Belum lagi, pengalaman hakim Mahkamah Syar’iyah yang terbiasa menangani perkara perdata besar kemungkinan rendah pengalaman dalam menangani perkara pidana, termasuk kekerasan seksual terhadap anak,” katanya kepada VOA, Selasa (25/5).

KPPA Aceh selalu menolak qanun jinayah dan Mahkamah Syar’iyah untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pasalnya, sejak awal disusunnya qanun jinayah tidak pernah melibatkan para pihak yang memiliki perspektif perlindungan anak.

“Bagi kami qanun jinayah sudah ketinggalan zaman dan gagal memenuhi keadilan bagi anak korban kekerasan seksual,” ucap Firdaus

Masih kata Firdaus, pihaknya mendesak pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam dan DPR Aceh, agar segera merevisi qanun jinayah terutama pasal terkait anak. Lalu, mencabut semua pasal terkait anak pada qanun jinayah dan mengembalikan penanganannya pada Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Singkatnya, qanun jinayah dan Mahkamah Syar’iyah sebaiknya tak usah mengurus masalah pidana terkait anak yang tak mereka pahami sama sekali,” ujarnya.

“Sekarang upaya perlindungan anak yang sedang diperjuangkan pemerintah Aceh mengalami kemunduran drastis akibat implementasi aturan lokal yang salah kaprah. Melupakan sama sekali aturan hukum nasional dan internasional yang lebih progresif,” Firdaus menambahkan.[aa/em]

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America)

Anugrah Andriansyah

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!