Flexploitation; Atas Nama Fleksibilitas Kerja, Namun Malah Mengeksploitase Pekerja

Flexploitation adalah kondisi eksploitatif yang dialami oleh pekerja atas nama fleksibilitas kerja. Rasa-rasanya fleksibel, tapi ternyata menguras waktu dan tak memberikan kepastian bagi para pekerja

Ayu memutuskan untuk menjadi pekerja paruh waktu ketika ia harus mengasuh anaknya di rumah. Ini situasi yang harus ia ambil karena suaminya bekerja full time di sebuah kantor di Jakarta, jadi ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai pekerja lepas

Namun sayang, bekerja paruh waktu tak seperti yang dijanjikan. Kadang ia harus revisi pekerjaan secara tiba-tiba, sudah selesai direvisi, klien minta revisi lagi. Lalu di sela waktu kerja tersebut, ada juga meeting-meeting yang tak mengenal waktu. Giliran waktu pembayaran, klien telat bayar. Inilah yang disebut sebagai flexploitation.

Istilah ‘flexploitation’ merupakan kondisi eksploitatif yang dialami oleh pekerja dalam kondisi fleksibel. Rasa-rasanya fleksibel, tapi ternyata menguras waktu pekerja.

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi/ Serikat Sindikasi dalam websitenya menuliskan bahwa kondisi ini menggambarkan posisi yang sangat represif yang dialami pekerja lepas dikarenakan penyalahgunaan konsep fleksibel yang justru digunakan untuk menghisap daya pekerja untuk keuntungan kapital, klien, perusahaan.

Jadi meskipun status kerja ini menawarkan sejumlah privileges, namun kondisi ini melahirkan kerentanan jenis lain terutama menyangkut kondisi mental pekerja. Sifat kesendirian/soliter yang melekat pada jenis status pekerjaan ini, ternyata rentan menyebabkan gangguan mental berupa rasa kesepian yang dialami pekerja

Serikat Sindikasi mencatat, sejak pasar tenaga kerja fleksibel masuk ke Indonesia pada awal tahun 2000, sistem ini memang dengan sengaja menciptakan iklim kerja fleksibel yang menghasilkan proyek-proyek kerja fleksibel (gig) yang juga menuntut pekerja berstatus fleksibel / lepas. Pada realitanya, pekerja lepas ini tak benar-benar lepas dalam arti independen.

Serikat Sindikasi memaparkan ini dalam launching buku dan diskusi “Pekerja Industri Kreatif di Indonesia: Flexploitation, Kerentanan dan Sulitnya Berserikat” pada 25 Juni 2021. Buku ini berbasiskan penelitian yang ditulis oleh para peneliti Sindikasi: Fathimah Fildzah Izzati, Rara Sekar Larasati, Ben K. C. Laksana, Rio Apinino & Kathleen Azali.

Riset ini adalah kerja sama Serikat Sindikasi dengan Organisasi FNV, yang dilakukan di tahun 2020 pada pekerja lepas EO, ilustrator, editor, pegiat kuliner, jurnalis lepas, desainer, manajemen musik, penata suara, musisi, pekerja IT di Bandung, Jakarta dan Surabaya.

Peneliti Sindikasi juga mengumpulkan beberapa keluhan yang dialami para pekerja kreatif dalam buku ini:

“Misal, gua udah bilang maksimal editing itu tiga kali. Di luar itu, ya, harus ada tambahan biaya. Tapi ya kebanyakan enggak peduli. Setelah tiga kali edit, dijawab: ‘Masak sih udah tiga kali?’ Ah pura-pura lupa.”

 “Tidak ada jaminan sosial apa pun. Sama sekali. Gua semua yang nanggung. Jadi mereka (pemberi kerja) pokoknya cuma tahu bayarnya segitu, udah, bulet.”

“Laptop, terus alat tulis kertas kadang-kadang masih buat coret-coret, internet, hard disk, gua sendiri semua yang menyediakan.”

“Karena kita dihitung kalau tidak masuk. Satu hari lima puluh ribu, bisa dibayangkan satu minggu ada tujuh hari, sekian yang dipotong. Kita pas lebaran masuk itu kita cuma dapet ekstra uang seratus ribu aja satu hari itu.Tapi ketika kita libur, kita dipotongnya berkali lipatnya. Jadi, aku pernah sendiri [ada] pengalaman, waktu itu aku enggak masuk di hari Sabtu karena ada emang keperluan keluarga, ya… dipotong Rp200.000,00. Jadinya aku waktu itu minta ganti ke keluargaku. Kalau orang sakit, apalagi kalau misalkan itu diare atau dia ada demam yang bener-bener berdiri aja susah begitu, ya enggak ada toleransi untuk itu, jadi tetap dipotong.”

Temuan lain dari penelitian ini yaitu adanya persoalan upah yang masih murah, juga ketidakpastian soal upah. Lalu juga ketidakpastian soal karir kerja. Rara Sekar Larasati dan Ben K. C. Laksana menyatakan bahwa narasi soal fleksibilitas ini selalu rentan dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik modal.

“Alih-alih kondisi fleksibel yang membebaskan pekerja mengambil kontrol atas waktu kerjanya, realitanya menunjukkan hal sebaliknya. Pekerja lepas justru mengalami eksploitasi dalam sistem kerja yang fleksibel,” kata Rara Sekar Larasati

“Maka dua dimensi fleksibilitas ini yang harus dipahami. Pertama, fleksibilitas ruang dan waktu kerja, kedua, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang berhubungan dengan informalitas dan kerentanan para pekerja di dalamnya.

Ben K.C. Laksana menyatakan, flexploitation ini dicirikan dengan masifnya sebagai kerja-kerja temporer dan dipenuhi ketidakpastian yang berdampak pada kondisi kerja yang rentan, ketiadaan jaminan, perlindungan sosial, dan job security sebagai hasil dari flexploitation merupakan beberapa jenis kerentanan utama yang dialami para pekerja di industri kreatif. Yang terjadi kemudian upah yang diterima tak dapat memenuhi standar hidup layak dan pekerja merasakan rasa cemas dan kondisi mental yang buruk, sehingga fleksibilitas kerja sebenarnya hanyalah ilusi

“Fleksibilitas kerja sesungguhnya hanyalah ilusi, karena bekerja kapan pun, sesungguhnya pekerja tidak mengatur sendiri jam kerjanya, tetapi semua ditentukan oleh tenggat yang diberikan si pemberi kerja yang kerap kali tidak masuk akal/eksploitatif,” kata Ben K.C. Laksana

Lebih dari setengah informan dalam penelitian tersebut juga merasa tidak mendapatkan upah yang layak dibandingkan beban kerja yang mereka dapatkan, serta mengalami perkara pembayaran tidak tepat waktu. Pemberian jaminan sosial juga cukup langka yang diterima pekerja lepas. Prekarisasi (perentanan) diri kemudian menjadi persoalan pekerja lepas

Kondisi kerja seperti ini juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental para pekerja yang pada akhirnya berdampak pada pengeluaran lebih untuk kesehatan.

“Dengan ilusi fleksibilitas kerja, pekerja juga tidak ada waktu untuk berserikat. Padahal berserikat merupakan salah satu cara untuk secara kolektif mengubah kondisi kerja yang eksploitatif,” kara Rara Sekar Larasati

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Marina Nasution

Jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!