“Glow Up Challenge”; Standardisasi Kecantikan di Medsos Yang Rugikan Perempuan

Tren “glow up challenge” yang ramai di media sosial membuktikan bahwa masyarakat masih menerapkan standar bahwa perempuan itu harus cantik. Padahal standar kecantikan harusnya ditentukan oleh perempuan sendiri, karena tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri

“Glow Up Challenge” marak di sosial media, banyak perempuan yang kemudian mengubah penampilannya agar lebih glow up, lebih cantik, lebih menarik di sosial media.

Glow up challenge yang ramai di media sosial ini juga membuat para perempuan kemudian mengunggah foto atau video transformasi perubahan fisik yang dialami dari waktu ke waktu, misalnya yang dulu gemuk diubah jadi kurus, yang dulu hitam lalu diubah menjadi putih

Dalam Instagram organisasi perempuan @y_kalyanamitra dituliskan bahwa tren glow up challenge ini membuktikan bahwa masyarakat masih menerapkan standar pemikiran bahwa perempuan itu harus cantik. Perempuan cantiklah yang akan mendapat banyak penghargaan dan pengakuan dari masyarakat. Pemikiran glow up challenge ini akhirnya menjadikan bentuk tubuh, warna kulit, dan wajah kita, harus sama dan tak ada penghargaan untuk yang berbeda.

Kalyanamitra dalam Instagramnya menulis bahwa standardisasi kecantikan lewat glow up challenge di sosial media menjadi fenomena yang mencemaskan. Para perempuan secara tidak langsung dipaksa untuk mengaminkan bahwa standardisasi kecantikan tertentu adalah segalanya agar dihargai oleh masyarakat. Tak jarang standardisasi kecantikan ini memunculkan rasisme terhadap mereka yang tidak memenuhi standar tersebut, contohnya perempuan yang berkulit gelap.

Lalu bagaimana caranya agar kita dapat mengkritisi fenomena glow up yang sedang tren di masyarakat, sekaligus mengembalikan hak perempuan atas kepemilikan tubuh mereka?, soal glow up challenge ini dilihat secara kritis dalam diskusi yang diselenggarakan Kalyanamitra pada Minggu, 18 Juli 2021 melalui Instagram yang menghadirkan sejumlah pembicara, antaralain Pipin Jamson, dosen Fisipol UGM, Julia Opki, aktivis perempuan Papua dan Indah SF dari Kalyanamitra

Kalyanamitra mencatat, trend glow up challenge ini sangat merebak di masa pandemi dimana banyak orang memanfaatkan teknologi di media sosial. Berdasarkan pantauan di hastag#glowup di Instagram yang dilakukan Kalyanamitra, saat ini banyak perempuan yang mengalami perundungan di media sosial sehingga mereka ingin mengubah penampilan mereka agar lebih glow up. Bahkan kalau terlihat lebih cantik, maka akan lebih dihargai oleh orang lain. Standar kecantikan ternyata mempengaruhi orang lain, di saat ada pengakuan cantik, maka perempuan menjadi lebih diterima dan seperti mengangkat harga dirinya.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka perempuan yang selama ini banyak mengalami diskriminasi dan subordinasi, dan lingkungan yang misoginis harus terus berusaha keras agar diakui di tengah masyarakat, karena masyarakat hanya menghargai yang cantik

Karena konsepsi kecantikan yang usang ini juga selalu diadopsi oleh industri kecantikan dan disebarluaskan oleh media massa.

“Faktor pentingnya dari media, bagaimana media mempromosikan kecantikan di layar kaca, yang kemudian mempengaruhi trending terkait glow up ini ya,” ujar Julia Opki menjelaskan

“Peran aktif media yang membentuk standarisasi kecantikan ini sehingga mempengaruhi pola yang ada di kebanyakan masyarakat kita bahwa cantik itu harus putih, bebas bulu, berambut lurus,” lanjutnya memaparkan.

Munculnya trend Glow-Up yang beredar di kalangan netizen memang cukup menciptakan insecurity terhadap diri sendiri. Pasalnya dalam tren yang menunjukkan perubahan signifikan terhadap tubuh seseorang itu, secara langsung memperlihatkan bahwa jika bertubuh gendut dan berkulit gelap itu berarti tidak menarik. Hal ini menimbulkan tuntutan terhadap diri sendiri, untuk memenuhi kriteria cantik sesuai dengan standar kecantikan yang berlaku di tengah masyarakat hari ini.

“Terkait tren glow up sebenarnya kembali lagi pada peran media, bagaimana TV-TV banyak sekali yang melakukan tren glow up yang contohnya mereka kelihatan dekil tidak putih kemudian beberapa tahun kemudian terlihat lebih cerah, badan seseorang yang tadinya berisi jadi kurus,”  terus Julia.

Trend yang banyak sekali diikuti dari anak-anak, hingga dewasa tersebut seperti memiliki dua belah mata pisau. Di satu sisi, jika difungsikan sebagai body positivity, tren ini mampu mengedukasi penikmatnya, bahwa menjadi berbeda itu tak masalah. Di sisi yang lain, tren ini bisa jadi alat doktrin yang bisa diturunkan dari generasi ke generasi, bahwa cantik adalah yang harus memenuhi kriteria tertentu.

Meski banyak narasi soal kecantikan telah diubah seiring berkembangnya zaman, akan tetapi, hal ini juga membawa dilematika yang serupa. Pada industri kecantikan misalnya, dalam beberapa semangat perubahan soal standar kecantikan, pelaku industri justru memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan omset.

Perempuan yang sering dipandang sebagai objek, banyak dikenal dalam bentuk penampilan saja. Framing media massa yang turut membentuk perempuan yang hanya ditonjolkan dari sisi fisik saja, kerap membebankan perempuan dan menciptakan perlombaan antar perempuan itu sendiri.

Selain mengambil peran aktif dalam menjalankan standarisasi kecantikan, media membantu mempromosikan ejaan cantik milik industri kecantikan, yang dari awal tercipta akibat diskriminasi sosial. Julia Opki melihat kondisi ini dengan miris, pasalnya konsepsi kecantikan yang berlaku saat ini adalah buah dari praktik kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad. Narasi bahwa cantik itu putih, langsing, berambut lurus, adalah ciptaan kolonialisme.

Akademisi Universitas Gadjah Mada, Pipin Jamson, menilai, dalam kondisi yang berbalik sekalipun, industri kecantikan masih berusaha untuk mengeksploitasi perempuan melalui produk yang didagangkan dengan jargon body positivity. Tak sedikit produk kecantikan yang mengambil keuntungan dari kampanye sayangi diri sendiri.

Sayangnya narasi demikian dengan perlahan kemudian menciptakan ketergantungan, agar bisa mencintai diri sendiri seseorang harus mengkonsumsi produk tertentu, agar sesuai ia bisa mendapatkan versi terbaik dari dirinya.

“Sebetulnya jika kampanye glow up ini seperti kampanye mencintai diri sendiri, sah-sah saja untuk dilakukan, tapi jika arahnya sudah tidak sehati agar mencapai goals-goalsnya, sepeti body goals dan lain sebagainya ya ini pelanggengan standardisasi kecantikan,” katanya

“Pelanggengan standardisasi kecantikan ini bisa berdampak sangat luas, mulai dari rasisme hingga dehumanisasi, kalau ditanya, apa sih dampak dari rasisme, banyak ya, mulai dari diskriminasi sampai ancaman pemusnahan ras atau genosida,” terusnya memaparkan.

Produk usang ajaran kolonialisme Belanda ini, dahulu menetapkan standar kecantikan pada perempuan dengan berkulit putih tubuh langsing, hidung mancung, rambut lurus, dimana kriteria itu banyak dimiliki oleh kolonial Belanda saja, karena mereka dominan, ras Jawa, dengan kulit yang sawo matang dan hidung pesek dinilai sangat jelek, karena tidak memenuhi standar, bahkan jauh dari kriteria.

Standardisasi yang dibuat berdasarkan kacamata laki-laki, jelas disebarluaskan untuk kepentingan laki-laki, memuaskan hasrat seksual mereka, menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas, dan eksploitasi untuk diambil keuntungan.

“Seperti dalam berita saja, ada banyak sekali contoh yang berkeliaran di dunia maya, ketika media memberitakan perempuan berprestasi, pasti akan selalu hampir bisa dipastikan ada unsur fisik pada judulnya, seperti ‘mahasiswi cantik’, atlet cantik, bahkan pada berita duka saja, perempuan masih dipandang dari bentuk fisiknya saja,” jelas Pipin.

Tak heran jika banyak diantara perempuan-perempuan yang rela melakukan apapun demi diakui kehadirannya. Karena masyarakat kita hari ini masih menganggap keberadaan perempuan hanya dari seberapa banyak ia memenuhi kriteria cantik yang berlaku.

Jadi, mulai sekarang say no to glow up challenge, karena dengan perempuan mengikuti trend seperti ini artinya perempuan turut melanggengkan stereotype gender tentang kecantikan perempuan yang malah akan merugikan perempuan.

Perempuan yang tidak sesuai dengan standar kecantikan akan tidak percaya diri, padahal standar kecantikan harusnya ditentukan oleh perempuan sendiri karena tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri

(Foto/ ilustrasi: Freepik.com)

Cempaka Wangi

Reporter Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!