Jika Cinta Dipakai Untuk Menyakiti, Apakah Masih Bisa Disebut Sebagai Cinta? Relasi Toksik

Jika cinta dipakai untuk menyakiti, apakah ini masih bisa disebut sebagai cinta? menurut saya tidak, karena ini adalah hubungan toksik

Sungguh pertanyaan yang menarik, bukan? Karena di bayangan kita, umumnya hubungan percintaan adalah saat-saat paling romantis dan indah yang bisa mendekatkan dua orang dan mendorong mereka tumbuh ke arah yang positif dan lebih baik. 

Tapi jangan salah, cinta juga bisa dijadikan tameng yang seakan membenarkan kehadiran perilaku abusive dan kekerasan terhadap perempuan di dalam toxic relationship, seperti tulisan saya di Plainmovement.id berikut ini:

Toxic relationship erat dengan kekerasan

Meski toxic relationship dan kekerasan di dalamnya dapat terjadi pada kedua gender dalam dinamika hubungan heteroseksual, homoseksual maupun platonik, perempuan umumnya lebih sering ditemui jadi korban.

Hubungan tidak sehat kerap terus dijalani karena individu yang terlibat tidak sepenuhnya sadar ia berada dalam hubungan yang “beracun”. Kadang kala, kekerasan malah dimaknai sebagai tanda peduli, bentuk sayang atau cinta. Sebagai contoh, seorang perempuan pergi berlibur bersama teman-temannya tanpa meminta izin pasangannya dan kebetulan dalam rombongan tersebut ada sosok teman laki-laki lain yang ikut berlibur bersama. Pasangan si perempuan kemudian bisa melakukan kekerasan dengan dalil kekhawatiran atau sikap cemburu. 

Bentuk kekerasan yang direpresentasikan sebagai tanda cinta dan bukti kasih tak hanya menimbulkan luka fisik, namun lambat laun menimbulkan dilema dan luka batin bagi sang korban. Disebut cinta, tapi dibumbui kekerasan: Apakah masih disebut cinta?

Kekerasan fisik bukan satu-satunya 

Kekerasan fisik tentu mudah diidentifikasi: melempar, menendang, memukul/menampar, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan, dan mengancam dengan benda tajam. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban karena meninggalkan jejak seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.

Yang tidak kalah pentingnya untuk dikenali adalah kekerasan psikis. Kekerasan jenis ini tidak mudah diidentifikasi—bahkan kadang oleh korban sendiri—sebab tidak meninggalkan jejak jelas. 

Wujud kekerasan ini paling sering muncul dalam bentuk kekerasan verbal, misalnya pasangan dikata-katai secara kasar, mempermalukan pasangan di depan orang lain atau di depan umum, dan melontarkan ancaman dengan kata-kata intimidatif. Efeknya, korban merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga, lemah dalam membuat keputusan, dan lambat laun, berubah menjadi penurut dan menjadi ketergantungan pada pelaku.

Toxic relationship dan sebuah panduan umum 

Orang bijak pernah mengatakan, orang yang paling bisa menyakiti adalah orang yang kita sayangi. Dan barangkali nasihat ini bukan hanya bagi mereka yang sedang patah hati. Namun, bisa juga dipakai untuk menasehati orang-orang yang terjebak toxic relationship. Untuk itu, jika kamu merasa berada dalam hubungan toxic relationship, ada beberapa tips mudah untukmu:

1.Bersikaplah lebih terbuka dengan teman, sahabat, keluarga, akan permasalahan yang dihadapi, dalam artian jika kita menyadari sesuatu yang berbau menyerang fisik, ancaman-ancaman kita harus mendiskusikan dan meminta pendapat mereka apakah hubungan tersebut baik atau tidak.

2.Beri jarak sementara waktu untuk sama-sama memahami apakah hubungan tersebut adalah hubungan yang positif atau negatif. 

3.Konsultasikan dengan orang yang lebih ahli mengenai permasalahan tersebut.

4.Dan terakhir, sudahi hubungan tersebut jika yang dirasa hanya rasa sakit dan saling menyakiti.

Beberapa poin sarat akan komunikasi sebagai kunci. Keterbukaan dalam suatu masalah, mendiskusikannya dengan pasangan atau orang terdekat harus sering dilakukan. Model toxic relationship bukanlah pedoman semua hubungan. Cukup akhiri jika dirasa itu lebih baik. Jika setidaknya masih ada keinginan untuk diperbaiki, beranilah untuk speak up, latihlah sifat open minded, curhatlah dengan orang yang dipercaya dan profesional dalam masalah ini.

(Sumber artikel: https://plainmovement.id/)

(Foto/ ilustrasi: freepik.com)

Rina Rachmawati

Penulis di Plainmovement.id
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!