Berani Melawan Catcalling Itu Keren

Catcalling adalah pelecehan seksual yang selalu dianggap sepele, perempuan yang melawan catcalling justru dicap sebagai orang yang maunya mengurusi hal yang remeh-temeh

Di kota tempat saya tinggal, perilaku catcalling banyak sekali terjadi dan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa. Padahal jelas bahwa tindakan ini banyak dilontarkan oleh mulut laki-laki yang secara sengaja menggoda perempuan. Namun karena sudah keseringan terjadi, maka ini dianggap sebagai hal yang biasa.

Di kota saya, catcalling seperti hal yang dianggap umum dan tidak banyak yang menganggap ini sebagai  pelecehan serius yang harus ditindak tegas.

Ketika banyak membaca atau mendengar pengalaman korban catcalling, logika saya menjurus pada pemikiran bahwa hal ini terjadi karena ketiadaannya kuasa perempuan untuk melawan karena lingkungan patriarki yang membentuknya. Dan perempuan yang melawan catcalling, selalu dianggap sebagai perempuan yang suka menganggap penting hal-hal yang remeh.

Padahal terdapat hubungan kuasa yang sangat kental dalam tindakan catcalling. Kuasa mayoritas yang dimiliki pelaku menjadikannya bebas melakukan berbagai hal atas korbannya yang perempuan.

Relasi kuasa ini memang umum terjadi pada tindakan pelecehan atau kekerasan. Penilaian laki-laki sebagai pihak yang dominan di masyarakat memunculkan dorongan psikologis untuk berbuat sebebasnya, terutama pada korban perempuan yang mereka pandang inferior dibanding laki-laki.

Perbedaan yang timpang antara superior dan inferior membuat korban tidak berdaya ketika diserang. Ditambah lagi, adanya tonic immobility, yaitu kelumpuhan reaksi pada tubuh manusia saat mengalami ketakutan luar biasa, dalam hal ini menjadi korban catcalling. Inilah yang menjadikan sebagian besar korban diam dan tidak dapat memberikan respon dalam bentuk apa pun.

Kasus catcalling merupakan contoh yang paling mudah dalam menjelaskan ketimpangan relasi kuasa ini. Saya melakukan wawancara dengan beberapa teman tentang pengalamannya saat menghadapi catcalling. Ada yangmenyatakan bahwa mereka hanya diam atau langsung menghindar ketika diserang catcalling di tempat-tempat umum, khususnya di tepi jalan. Namun satu dari beberapa korban tersebut ada yang menjelaskan bahwa ia melakukan perlawanan dengan berteriak balik kepada si pelaku.

Reaksi menyerang balik ini memberikan efek kejut dan tidak disangka oleh pelaku. Ia menyatakan bahwa saat melawan balik, justru si pelaku berbalik diam saja dan tidak bereaksi apa pun. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengulik bagaimana jika semua korban catcalling memiliki kekuatan dan kuasa untuk melawan balik, disamping mereka pada saat yang sama mengalami tonic immobility yang menyerangnya. Atau dalam hal lain, ini berarti memberikan dukungan pada setiap perempuan untuk memiliki kepercayaan diri agar melakukan perlawanan

Ada beberapa kasus pelecehan seksual di mana perempuan korban betul-betul tidak memiliki keberdayaan untuk melawan terhadap perilaku tersebut. Sebut saja kasus pemerkosaan yang melibatkan kontak fisik langsung antara pelaku (si superior) dan korban.

Namun berbeda dengan tindakan pemerkosaan, catcalling merupakan salah satu dari beberapa kasus pelecehan seksual yang memiliki peluang lebih terbuka bagi korban untuk melawan.

Agar pelaku catcalling merasa malu dan memberikan efek kejut dan jera kepada mereka, beranilah untuk melawan balik. Karena ketika respon kita sebagai korban diam, ini akan menambah kuasa superior pelaku. Kata-kata seperti “jangan berani-berani ya, ngatain saya!” atau “Lelaki seperti anda tutur katanya perlu diedukasi lagi nih!,” adalah beberapa contoh bagi diri kita untuk melawan.

Dengan memberikan respon atau perlawanan, kepercayaan diri perempuan akan meningkat. Saya berharap dengan adanya langkah perlawanan ini dapat memberikan dorongan bagi perempuan untuk mulai bangkit dari ketakutan akibat pelecehan seksual.

(Foto/ ilustrasi: Freepik.com)

Ayu Agustina

Sehari-Hari Bekerja Sebagai Freelance Writer
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!