Riset: Banyak Mahasiswi Jurnalistik Tetapi Sedikit Yang Mau Menjadi Jurnalis Perempuan

Mengapa ada banyak mahasiswi jurnalistik tetapi sedikit yang menjadi jurnalis perempuan? Sebuah riset mengenai ketertarikan mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik untuk bekerja di industri pers dilakukan oleh para peneliti Remotivi, Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro yang dilaunching 10 Juli 2021.

Riset soal banyaknya mahasiswi jurnalistik di universitas namun sedikit yang menjadi jurnalis ini, mengundang banyak atensi. Pasalnya selama ini, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia hanya sekitar 20-30%. Jumlah yang sangat sedikit mengingat jumlah media di Indonesia yang meningkat sangat pesat setelah masa reformasi hingga sekarang.

Peneliti media, Ignatius Haryanto pernah memaparkan di masa Orde baru jumlah media di Indonesia hanya sekitar 250 media, namun data Dewan Pers menunjukkan jumlah media atau pers di Indonesia di tahun 2019 meningkat tajam menjadi 47.000, belum lagi pengguna media sosial seperti website atau youtube yang sangat meningkat

Para peneliti Remotivi, Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro antaralain Muhamad Heychael, Winona Amabel, Lintang Ratri Rahmiaji, Nurul Hasfi, Sandi Jaya Saputro, Eriyanto dan Wisnu Prasetya Utomo kemudian menjawab pertanyaan tersebut, mengapa banyak perempuan mahasiswa atau mahasiswi komunikasi namun sedikit yang mau menjadi jurnalis perempuan?

Penelitian ini dilakukan pada para mahasiswa di program studi dan peminatan jurnalistik di berbagai universitas di Indonesia yang mayoritas diisi oleh mahasiswi. Riset ini dipaparkan dalam diskusi peluncuran hasil riset, 10 Juli 2021 secara daring

Pertanyaan penting dalam riset ini adalah mengapa kebanyakan mahasiswi jurnalis tidak berminat untuk memilih karir jurnalistik?

Riset menemukan data bahwa profesi jurnalistik bukanlah profesi yang menjadi prioritas mahasiswa dan mahasiswi Jurnalistik. Mayoritas responden juga tidak memprioritaskan profesi jurnalis sebagai pilihan utama pekerjaan pasca lulus dari universitas. Hal ini disebabkan karena partisipan laki-laki dan perempuan mengakui adanya hambatan dan stereotip gender  yang dialami calon jurnalis perempuan, baik di ruang kelas maupun tempat magang dan laki-laki cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk menduduki posisi pemimpin redaksi dibanding perempuan.

Penelitian yang dilakukan Remotivi ini menunjukkan bahwa 65% mahasiswa dan 63% mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik sebagai pilihan utama pekerjaan setelah lulus kuliah.

Riset juga menemukan bahwa meski kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi tidak memprioritaskan jurnalisme sebagai karier, mereka menilai pekerjaan jurnalis memiliki prestise (85,08%), mempunyai dampak sosial (85,44%), dan merupakan profesi dengan idealisme yang tinggi (72,24%).

Peneliti Remotivi, Muhamad Heychael mengatakan, alasan mahasiswa dan mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik, karena kompensasi yang diterima jurnalis tidak sebanding dengan beban dan risiko pekerjaan yang harus mereka ambil.

“Data ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah rendahnya penghargaan dan selaras dengan temuan lain penelitian ini, perempuan cenderung melihat profesi jurnalis sebagai profesi yang penuh risiko keamanan dan belum ramah terhadap perempuan.”

“Pengalaman belajar dalam kelas maupun magang mengajarkan perempuan soal nilai-nilai maskulin dari profesi jurnalis yang penuh risiko, memiliki beban kerja berat, dan sebagainya,” ujar Nurul Hasfi, Peneliti Universitas Diponegoro.

Dosen Komunikasi Universitas Indonesia, Eriyanto, menjelaskan 72,45% responden perempuan mengaku sering ditugaskan meliput isu fesyen, hiburan, wisata, kuliner, dan keluarga selama mengikuti kegiatan magang. Ketika ditanyakan mengenai seberapa sering ditugaskan untuk meliput isu politik, hukum, dan keamanan, hanya 28,57 persen dari total responden perempuan yang menjawab sering mendapatkan tugas tersebut.

“Ketika dieksplorasi lebih lanjut dalam sesi Focus Group Discussion/ FGD, baik partisipan laki-laki dan perempuan mengakui adanya hambatan dan stereotip-stereotip gender yang dialami calon jurnalis perempuan baik di ruang kelas maupun tempat magang,” kata Eriyanto.

“Dari banyaknya stereotip yang disematkan kepada jurnalis perempuan, anggapan bahwa perempuan dengan penampilan menarik lebih baik bekerja sebagai presenter televisi dibanding menjadi jurnalis lapangan paling sering terdengar responden perempuan (82,55%). Selain itu, 61,74% responden perempuan juga kerap menemukan adanya anggapan bahwa perempuan akan sulit menjadi ibu sekaligus jurnalis,” ucap Winona Amabel, Peneliti Remotivi.

Hal ini pada gilirannya berimbas pada kepercayaan diri mahasiswi untuk sukses dalam jurnalistik. Hanya 42% dari total responden perempuan yang percaya diri untuk menduduki posisi puncak di ruang redaksi sebagai pemimpin redaksi. Sementara itu, 56,25% dari total  responden laki-laki memiliki kepercayaan diri dapat menjadi pemimpin redaksi.

“Dalam sesi FGD, ditemukan bahwa penyebab mahasiswi cenderung kurang percaya diri dalam memproyeksikan jurnalistik adalah karena adanya pertimbangan peran domestik di masa depan.” kata Lintang Ratri, Pengajar Jurnalistik di Universitas Diponegoro.

Wisnu Prasetya, Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada yang berpartisipasi dalam penelitian ini mengatakan bahwa temuan ini mesti menjadi alarm bagi para pemangku kepentingan, yang dalam hal ini adalah lembaga pendidikan tinggi dan industri media.

“Pasalnya, mendorong semakin banyak perempuan berkarier di industri pers merupakan prasyarat penting untuk penghapusan penggambaran perempuan di media yang kerap diiringi seksisme dan bias gender,” ujarnya.

Dosen Komunikasi Universitas Padjadjaran, Sandi Jaya Saputra, yang juga bagian dari tim   penelitian, mengungkapkan bahwa tekanan sosial dan budaya yang dihadapi perempuan perlu jadi pertimbangan bagi institusi kampus dan tenaga pengajar, suasana dan proses belajar yang mengafirmasi atau meningkatkan.

Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief berharap hasil riset ini bisa memantik urgensi bagi manajemen media untuk menciptakan ruang dan budaya kerja yang ramah gender perempuan. Survei Aliansi Jurnalis Independen/ AJI menemukan hanya empat media yang memiliki  ruang menyusui. Belum lagi fakta bahwa 25 dari 34 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual, baik di tempat kerja ataupun selama liputan (AJI, 2021).

“Situasi ini harus berubah jika kita ingin lebih banyak perempuan di ruang redaksi,” tutup Yovantra.

Riset ini dilakukan terhadap mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik tingkat sarjana di empat kampus yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro dengan menggunakan metode survei dan Focus Group Discussion. Survei dilakukan menggunakan metode sensus yang melibatkan 222 responden (65 laki-laki dan 157 perempuan) dengan total response rate sebesar 65,7%.

Dalam diskusi terpapar, salah satu yang menurunkan minat mahasiswi adalah ketika melakukan wawancara pada narasumber, ada semacam ketakutan akan dilecehkan. Perempuan juga menghadapi tantangan ketika menjadi jurnalis yaitu mahasiswi punya hambatan dan tantangan. Maka mereka lebih menyukai isu hiburan, fesyen dan laki-laki punya kesempatan karir yang lebih besar daripada perempuan, perempuan yang tampil menarik lebih cocok bekerja di televisi menjadi presenter daripada bekerja di lapangan

Pemimpin redaksi Projectmultatuli.org dan aktivis Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Indonesia, Evi Mariani yang menjadi salah satu penanggap dalam diskusi ini menyatakan, bahwa riset ini telah banyak menggambarkan soal maskulinisme yang terjadi di media, misalnya soal aturan-aturan yang selama ini bias gender, terlalu berpihak pada laki-laki yang membuat mahasiswi berpikir dua kali untuk menjadi jurnalis.

Evi Mariani memaparkan, banyak jurnalis perempuan di media yang memang menghadapi problem ini, juga soal beban ganda yang dialami perempuan jurnalis yang membuat perempuan jurnalis sulit untuk menduduki posisi sebagai pemimpin di media

Evi memaparkan di luar semua ini, sebenarnya masih ada persoalan soal keberagaman, karena news room seharusnya tidak hanya memperjuangkan posisi laki-laki dan perempuan saja, namun juga kelompok minoritas lain di media, apakah news room sudah memberikan ruang untuk ini?.

“Ada problem media lain selain ini seperti problem keberagaman yang belum banyak dibahas di media dan harus diperjuangkan,” kata Evi Mariani 

Irwa R. Zarkasi, dosen Universitas Al Azhar Indonesia dan pengurus Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi/ Aspikom menyatakan bahwa riset ini memberikan banyak masukan bagi perguruan tinggi di Indonesia khususnya program jurnalistik dan memberikan pelajaran penting soal apa yang harus diperbaiki di perguruan tinggi, dan juga di media

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!