Pilih Streaming, CD, Piringan Hitam? Cara Dengarkan Musik Bisa Berdampak Buruk Pada Lingkungan

Streaming, CD, atau piringan hitam? Cara kita mendengarkan musik bisa berdampak buruk bagi lingkungan

Meskipun mendengarkan melalui streaming internet saat ini adalah cara paling populer untuk mendengarkan musik, kaset dan piringan hitam belakangan ini kembali mengalami peningkatan penjualan. Peningkatan penjualan vinil mencapai 1.427% sejak 2007. Pada 2018, 4 juta keping piringan hitam terjual di Inggris.

Popularitas piringan hitam tidak menunjukkan tanda-tanda akan memudar. Artinya, produksi cakram yang tidak dapat didaur ulang akan semakin banyak. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap lingkungan.

Meskipun sampul album umumnya terbuat dari kardus daur ulang, piringan hitam pada awalnya terbuat dari lak sebelum digantikan dengan vinil, yang tidak dapat didaur ulang. Lak adalah resin alami yang dikeluarkan oleh serangga Kerria lacca betina, yang dikerok dari pepohonan untuk menghasilkan rekaman gramofon. Karena lak tidak berasal dari bahan baku fosil (bahan kimia, seperti etilena, yang digunakan untuk membuat zat seperti plastik), jejak karbonnya lebih rendah daripada piringan hitam modern.

Piringan hitam yang terbuat dari lak sifatnya rapuh dan rentan rusak, sehingga piringan hitam PVC dikembangkan karena bertahan lebih lama. Dalam kondisi ideal (oksigen rendah, tidak berpindah tempat), PVC yang dibuang bisa memakan waktu berabad-abad untuk terurai. Namun, tempat pembuangan akhir memiliki tingkat keasaman tanah dan suhu yang bervariasi sehingga piringan hitam PVC yang dibuang di sana melepaskan plasticizer (pelarut yang ditambahkan pada plastik untuk membuatnya lebih fleksibel dan tahan banting). Bahan kimia placticizer ini dapat bertahan lebih lama dari tempat pembuangan itu sendiri atau bisa mencemari lingkungan sekitar tempat pembuangan.

Piringan hitam modern biasanya mengandung sekitar 135 gram bahan PVC dengan jejak karbon 0,5 kilogram (kg) CO₂ (berdasarkan ukuran 3,4 kg CO₂ per 1 kg PVC). Penjualan 4,1 juta keping piringan hitam akan menghasilkan 1,9 ribu ton CO₂–tanpa memperhitungkan faktor transportasi dan pengemasan. Itu setara dengan jejak karbon hampir 400 orang per tahun.

Di tahun 80-an, piringan hitam digantikan oleh CD, yang menjanjikan daya tahan dan kualitas suara yang lebih baik. CD terbuat dari polikarbonat berlapis dan aluminium, yang dampaknya terhadap lingkungan lebih sedikit daripada PVC, dan proses produksinya menggunakan bahan yang lebih sedikit dibanding piringan hitam.

Namun, CD tidak dapat didaur ulang karena terbuat dari bahan campuran yang sulit untuk dipisahkan yang tidak ekonomis untuk didaur ulang. CD juga terbungkus sampul polikarbonat yang rapuh. Bahan ini tidak umum didaur ulang. Mereka juga tidak mudah dihancurkan, yang artinya CD akan akan berakhir di tempat pembuangan sampah.

Dengan berubahnya format musik dari masa ke masa–pertama piringan hitam, kemudian kaset, CD, dan sekarang layanan streaming–ada siklus limbah akibat penggantian teknologi. Kita tidak berpindah dari piringan hitam atau kaset ke CD atas pilihan sendiri–itu merupakan keputusan perusahaan pada saat itu. Walaupun CD berkualitas tinggi dapat bertahan selama 50 hingga 100 tahun dalam kondisi ideal, namun hal ini tidak berlaku untuk banyak CD murah berkualitas rendah. CD berkualitas rendah mudah rusak oleh paparan langsung sinar matahari dan panas, bengkok oleh suhu yang berubah dengan cepat, gravitasi, goresan, sidik jari dan noda–yang akhirnya mengakibatkan mereka dibuang.

Dilema digital

Teknologi digital saat ini memberikan kita kualitas musik terbaik tanpa kita harus menanggung risiko akibat kerusakan fisik dari kaset, piringan hitam atau CD. Musik mudah disalin dan diunggah, dan dapat disiarkan secara online tanpa harus mengunduh. Karena musik digital tidak berbentuk fisik secara nyata daripada vinil atau CD, seharusnya musik digital lebih ramah lingkungan bukan?

Layanan musik _streaming_mungkin merupakan pilihan format musik yang paling tidak ramah lingkungan. lOvE lOvE/ Shutterstock

Meskipun format baru ini tidak berbentuk fisik, tidak berarti mereka tidak memiliki dampak lingkungan. Fail elektronik yang kita unduh disimpan di server yang aktif dan didinginkan. Informasi tersebut kemudian diambil dan dikirim melalui jaringan melalui router dan wifi ke perangkat elektronik. Ini terjadi setiap kali kita memutar musik format digital yang ternyata membutuhkan energi. Piringan hitam sendiri setelah dibeli dapat diputar berulang-ulang tanpa menimbulkan dampak lingkungan. Namun, jika kita mendengarkan musik streaming yang berkualitas baik, kita menggunakan listrik kira-kira 107 kilowatt jam per tahun.

Jadi, pilihan mana yang lebih hijau? Hal ini tergantung pada banyak hal, termasuk berapa kali Anda mendengarkan musik Anda. Jika Anda hanya mendengarkan lagu beberapa kali, maka streaming adalah pilihan terbaik. Jika Anda mendengarkan berulang kali, salinan fisik adalah yang terbaik; streaming sebuah album melalui internet lebih dari 27 kali kemungkinan akan menggunakan lebih banyak energi daripada yang diperlukan untuk memproduksi dan memproduksi CD yang sama.

Jika Anda ingin mengurangi dampak pada lingkungan, piringan hitam antik bisa menjadi pilihan fisik yang bagus. Untuk musik online, penyimpanan di ponsel, komputer, atau jaringan lokal membuat data lebih dekat dengan pengguna akan mengurangi kebutuhan streaming dari jarak jauh yang membutuhkan energi lebih tinggi.

Di dunia di mana semakin banyak hubungan ekonomi dan sosial kita terjadi secara online, piringan hitam dan format musik lama lainnya, melawan tren itu. Sebagai gantinya, kebangkitan format musik lama menunjukkan harapan yang kita miliki–untuk memiliki pengalaman yang bernilai. Format musik yang lama memiliki arti penting dan permanen yang melekat padanya sebagai milik pribadi yang tidak bisa dilakukan belanja virtual.

Tampaknya apa pun formatnya, memiliki sendiri salinan musik favorit, dan memutarnya berulang-ulang, merupakan pilihan terbaik bagi lingkungan kita.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Sharon George, Lecturer in Environmental Science, Keele University dan Deirdre McKay, Reader in Geography and Environmental Politics, Keele University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Sharon George

Lecturer in Environmental Science, Keele University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!