Sulitnya Membela Buruh Perempuan Di Masa Pandemi; Cerita Aktivis Terkena Covid

Para buruh perempuan masuk kerja offline setiap hari, akibatnya banyak yang kena Covid-19. Lalu PHK juga datang bertubi-tubi. Setelah mendaftarkan gugatan buruh ke pengadilan, kami para buruh perempuan yang mengadvokasi kasus buruh perempuan terkena Covid

Situasi yang terjadi pada buruh perempuan di masa pandemi seperti situasi yang tak terhindarkan, mau tidak mau kita harus terperangkap dalam situasi sulit: masuk kerja offline tiap hari, bisa di PHK setiap saat, harus mengadvokasi kasus ke pengadilan. Saya dan sejumlah aktivis buruh terkena Covid setelah mendaftarkan gugatan atas buruh-buruh perempuan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK

Padahal sebelumnya saya sudah hangat hati-hati. Aktivitas yang sangat padat untuk menyelesaikan persoalan buruh perempuan membuat saya harus sangat hati-hati berada di luaran, mulai dari mengenakan masker, jarang menginjakkan kaki keluar rumah kecuali saat – saat tertentu seperti olahraga di pagi atau sore hari, menulis di kafe yang sepi dan tentu saja dilakukan secara sendiri. Namun, tentu saja ada yang longgar. Di sekretariat buruh dimana kami biasa rapat dan berkumpul, saya masih jarang mengenakan masker.

Hingga tiba waktunya, saya menyempatkan diri ikut ke Bandung untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial/ PHI Bandung, bersama 4 kawan buruh yang lain.

Mengingat sudah lama tidak ke Bandung, terpikirlah dalam benak saya untuk mampir ke tempat adik saya. Sebenarnya, ia sempat mengingatkan bahwa pacarnya sedang sakit dan beristirahat di kosnya, karena belum sempat periksa apakah terpapar covid 19 atau tidak, ia sempat meminta saya untuk tidak perlu mampir ke kosnya. Namun, tentu saja saya nekat.

Saya hanya pergi berdua ke tempat kos adik saya, dengan salah satu kawan dari Lembaga Bantuan Hukum/ LBH Bandung. Kala itu saya berpikir, toh cuma sebentar dan masker tidak akan pernah saya lepas.

Singkat cerita, kami berdua ke kos adik. Terlihat pacar adik saya sedang demam dan terbaring sakit. Keduanya tidak mengenakan masker, sementara saya kadang melepas masker karena harus minum air dari botol yang saya bawa. Sedangkan teman dari LBH Bandung sama sekali tidak lepas masker dan tidak meminum air botol. Sepertinya, ia lebih peka dari saya.

Sekitar 1,5 jam kami mengobrol santai. Sejak pandemi, baru kali ini saya bisa ke Bandung dan bertemu dengan adik. Sebenarnya, adik saya juga orang yang cukup berhati – hati dengan Covid, ia tak pernah nongkrong di luar, kecuali piket sekolah yang mengharuskan dia masuk ke sekolah.

Adik saya adalah guru sekolah swasta dan meski kegiatan belajar mengajar berubah menjadi metode daring, namun para guru diwajibkan piket bergantian ke sekolah. Beberapa rekan kerjanya terpapar Covid-19, termasuk kepala Yayasan sekolah

Setelah ke rumah adik, kami berdua kembali ke sekretariat kawan di Bandung. Beberapa teman aktivis Bandung sedang berkumpul di sekretariat dan kami berlima numpang istirahat sampai malam. Saya tidak tidur, hanya 3 kawan yang tidur, dua diantaranya karena harus menyetir dan belum sempat istirahat. Sedangkan kawan kami yang lain harus begadang mengerjakan gugatan. Hingga saat malam menjelang, kami berpamitan pulang, Sebelumnya, kami mampir dulu ke Lembang, ke tempat seorang kawan.

Mulai merasa aneh dan demam

Hari Senin, tepatnya 14 Juni 2021, adik saya menelpon dan memberitahukan bahwa ia dan pacarnya positif Covid-19. Kabar itu membuat saya segera memutuskan untuk mengosongkan sekretariat buruh dan segera meminta semua kawan, terutama yang ikut ke Bandung untuk tes Swab PCR.

Sepertinya semesta sedang menegur kami. Satu kawan yang turut ke Bandung positif. Esoknya, semua pengurus dan organiser full time, ada 8 orang, melakukan tes swab PCR di Puskesmas Cilincing, Jakarta. Kami memilih yang gratis karena itu yang paling mungkin. Harga biaya test swab PCR adalah Rp 800.000, angka yang lumayan mahal bagi kami. Bohong, bila saya bilang tidak khawatir.

Sepanjang hari itu saya meminta teman – teman yang ada di sekretariat bersama di Bandung untuk test swab PCR juga. Bersyukur tidak ada yang positif. Esok harinya, sehari setelah tes swab PCR di puskesmas Cilincing, hasilnya bisa dilihat secara daring. Saya dan salah satu kawan positif terpapar Covid-19.

Segera, kami semua yang positif ada 3 orang akhirnya, mempersiapkan diri untuk isolasi mandiri. Kami menyediakan vitamin dan obat – obatan rekomendasi dari salah seorang teman yang pernah menjalani isoman. Jujur saja, saya masih percaya diri sanggup mengatasi semuanya sendiri dengan isolasi mandiri.

Satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, kami bertiga yang positif saling mengecek kondisi masing – masing. Saya sendiri dan satu kawan menjalani isolasi mandiri di sekretariat. Beryukur, ada salah satu kawan yang bersedia berkeliling mendistribusikan vitamin dan obat – obatan. Satu kawan yang bersama saya di sekretariat di hari ke tiga sudah membaik, hanya batuk sedikit. Sementara, saya di hari ke tiga dan ke empat sudah tidak demam. Namun, perut perih, nyeri otot seluruh tubuh, batuk dan flu, lemas masih mengepung seluruh persendian.

Di hari ke lima, saya malah demam lagi di angkat 38,7. Rasanya jangan ditanya, meski saya tidak kehilangan indra penciuman dan perasa, namun saya mengalami demam berkepanjangan, nyeri otot berkepanjangan, batuk berkepanjangan, lemas berkepanjangan cukup membuat rasa percaya diri saya turun.

Awalnya, saya rasa tidak perlu 14 hari “merayakan” tubuh bersama covid, nyatanya, realita bicara lain. Kepala terasa berat untuk sekedar berpikir. Sekedar berkomunikasi saja, saya membutuhkan loading yang lama untuk terhubung. Saya merasa sulit berpikir, susah konsentrasi apalagi fokus. Butuh beberapa lama untuk mencerna informasi yang masuk ke dalam otak.

Di sisi lain, saya mengamati proses membaik terjadi pada adik saya dan pacarnya, dan salah satu teman yang isoman bersama saya di sekretariat dan satu lagi teman yang isoman di kos.

Baiklah, saya memahami sekarang, bahwa respon tubuh saya terhadap covid membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih. Desakan kawan, tubuh yang tidak bisa lagi ditolerir akhirnya cukup mendorong saya menyetujui supaya dirujuk ke rumah sakit. Tapi semua ruangan isolasi penuh di rumah sakit, Instalasi Gawat Darurat/ IGD pun tak kalah padat. Ini momen ledakan covid-19 yang cukup membuat merinding, adalah beruntung jika akhirnya bisa mendapatkan kamar perawatan.

Dirawat di Wisma Atlet

Dengan bantuan banyak kawan di organisasi Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Perempuan Mahardhika serta seorang kawan yang pernah bekerja di Wisma Atlet, akhirnya saya bisa memperoleh kamar di Wisma Atlet.

Seumur hidup, baru kali itu saya diantar pergi dengan mobil ambulance. Membayangkan sakit dan dirawat inap saja tidak pernah terbersit barang sekali. Malam itu jarum jam menunjuk angka 9. Tepat pada jam 3 dini hari, saya sudah memperoleh kamar. Kepala terasa berat, demam naik lagi, linu, perut perih dan batuk menerjang bersamaan. Namun, segera setelah memperoleh kamar, saya tertidur karena lelah.

Malam itu adalah hari ke lima saya berperang melawan Covid dan merupakan malam pertama menghabiskan malam di Wisma Atlet Kemayoran.

Wisma Atlet terdiri dari 8 tower. Tower 1 – 7 terletak di Wisma Atlet Kemayoran, sedangkan tower 8 terletak di Wisma Atlet Pademangan. Saya sendiri menempati tower 6, di lantai 13 dan di kamar 16. Saya tidak sendirian, seorang perempuan muda menempati kamar yang sama.

Peperangan melawan virus terus dimulai nyaris tanpa istirahat. Tercatat, saya mengalami demam sampai hari ke 8 di wisma atlet, namun saya merasa bersyukur karena nyeri otot sudah berhenti di hari ke 7 dan perut perih berhenti dirasa di hari ke 6. Tersisa dua gejala yaitu demam dan batuk yang terus mengganggu dan mebuat saya sulit tidur, terutama di malam hari. Tubuh terasa lemas dan kepala pening.

Pernah suatu kali, saya ikut senam di pagi hari, namun setelah mengikuti dua lagu senam, demam kembali menyergap dan tubuh jadi lemas. Oh, baiklah saya belum bisa terlalu aktif bergerak dan diam – diam merasa iri dengan mereka yang sudah bisa lincah bergerak atau mungkin mereka memaksakan diri. Entahlah.

Hari – hari di Wisma Atlet adalah hari- hari mengembalikan kepercayaan diri. Kalau memang harus 14 hari berjibaku dengan covid, baiklah tak apa. Menikmati saat sekarang, mengamati saat sekarang adalah ‘gift’, ‘present’ yang patut disyukuri. Tak apa. Toh, saya tetap makan dengan baik, minum obat dan vitamin dengan baik. Kalaupun demam, maka saya tak perlu bertanya lagi mengapa, cukup minum paracetamol. Begitu juga dengan batuk yang terus mengganggu tiap malam.

Kamar yang kutempati menjadi beraroma minyak kayu putih karena sudah tak terhitung berapa tetes minyak yang dihirup, berapa tissue yang dihabiskan, dan berapa kali mengukur suhu dengan thermometer.

Rasa frustasi bukan tanpa menghampiri, ketika kamu melihat orang – orang di sekitar mu sudah mulai membaik tanpa gejala hanya dalam hitungan hari, sementara saya masih berjibaku dengan demam yang tak kunjung turun dari angka 38 atau 38,7 dan batuk yang jarang berhenti. Virus ini terasa menjengkelkan.

Pada hari ke 8 di Wisma Atlet, akhirnya demam saya turun di angka 37, tepat sehari sebelum saya menjalani tes swab PCR kembali. Hari itu adalah hari yang membanggakan karena tubuh tidak lagi demam dan saya bisa tidur agak lelap. Meski demam sudah turun, kepala masih terasa berat dan saya masih bego buat berpikir. Mungkin kepala ini terlalu lama merasai panas akibat suhu yang meningkat berhari – hari, total saya mengalami demam selama 11 hari.

Apa yang dirasakan, tak ingin saya ulang kembali, pun tak ingin terjadi pada orang – orang yang saya sayangi di sekitar.

Tinggal di Wisma Atlet, bohong bila saya bilang tidak pernah sekalipun kesepian, namun banyak hal membuat saya bisa membunuh sepi. Selain ada teman sekamar, kiriman berbagai kebutuhan dan makanan membuat saya tidak merasa sendirian. Setidaknya, saya merasa disayangi.

Ada saat – saat dimana saya merindukan kampung halaman, sentuhan lembut mama yang akan merawat dengan segala ketulusan dan kasih sayang. Membuatkan teh hangat di pagi hari, ramuan herbal, masakan rumahan yang tak kalah lezat dari segala restoran di dunia. Saat – saat itu membuat saya mengutuk rindu, sekaligus tak mau melepasnya pergi. Saya ingin memeluk rindu itu seerat mungkin menemani rasa sakit. Rasa rindu itu membuat saya bertahan.

Akhirnya tiba dimana saya merasa lebih fit dibanding biasanya. Hari itu, cukup sehari saja saya bisa ikut senam secara penuh, tidak ada lagu yang terlewat. Hari itu adalah hari merayakan ketiadaan demam. Rasanya sudah seperti menikmati kemenangan telak dan hanya tersisa batuk membandel yang bertahan dengan militan mengganggu lalu lintas pernafasan.

Hari ke 9, pagi hari, saya ditelpon perawat dan diminta ke ruang tes Swab PCR. Tepat sehari setelah demam saya hilang. Esoknya, hasil tes swab PCR menyatakan saya masih positif dengan CT value 26. Normalnya, CT value adalah 35 – 40 hingga tidak bisa menulari orang lain lagi. Baiklah, ini adalah masa penyembuhan dan katanya virus yang terdeteksi adalah virus yang sudah mati.

Setelah menunggu selama satu hari, akhirnya pada 30 Juni 2021, saya diperbolehkan pulang dan melanjutkan isoman sampai gejala saya hilang. Satu gejala yang tak kunjung hilang, batuk. Dalam riwayat hidup saya, saya punya pengalaman tidak baik dengan batuk. Di masa kuliah saya pernah batuk selama dua tahun, selama tinggal di Jakarta saya pernah batuk selama setahun. Di dua pengalaman batuk itu, saya melalui proses rontgen yang menyatakan paru – paru saya masih bersih. Terakhir, saya batuk selama sebulan akibat ISPA.

Sungguhpun demikian, saya merasa bersyukur diperbolehkan pulang. Kabarnya, dulu dibutuhkan syarat CT value 35, supaya boleh pulang. Sekarang mungkin karena antrian pasien yang mengular membuat pasien harus bergiliran menggunakan kamar isolasi.

Di Wisma Atlet, hingga saya keluar, ruang IGD sudah sangat penuh dan jalan lorong di lantai bawah pun digunakan sebagai ruang IGD. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa beristirahat di tengah lalu lalang orang.

Rasanya tidak lengkap bila tidak mengucapkan terimakasih sebesarnya pada tenaga kesehatan yang selama 8 jam harus mengenakan hazmat tanpa makan, minum, hingga buang hajat. Tingginya angka covid 19 membuat tenaga kesehatan yang merupakan ujung tombak perjuangan merasakan kelelahan tiada tara. Di hari ke empat, saat saya berada di Wisma Atlet, saya tidak pernah lupa dengan bunga ucapan bela sungkawa terhadap salah satu perawat yang meninggal akibat Covid 19.

Virus ini bisa bahaya bagi manusia. Mungkin sebagian tidak merasakan gejalanya, tapi bagi saya dan teman – teman lain yang merasakan gejala sedang saja tak tertahankan sakitnya. Terlebih buat sesama kita yang merasakan gejala berat serta memiliki penyakit bawaan. Karena itu, vaksin bisa bermanfaat ibarat helm sebagai pelindung. Vaksin bisa saja tidak membuatmu tidak terpapar Covid tapi mampu meringankan gejalanya.

Sekarang, saya kembali melanjutkan isolasi mandiri di sekretariat, berjuang supaya gejala batuk bisa segera hilang dan bisa melanjutkan aktivitas seperti biasa. Membantu apa yang bisa dibantu, memperjuangkan apa yang bisa diperjuangkan di tengah situasi yang berat ini.

Saat saya menutup tulisan ini, seorang kawan buruh yang menjemput saya dari Wisma Atlet kemarin akhirnya juga terpapar Covid-19, padahal, ia sudah mengenakan Alat Pelindung Diri/APD lengkap, katakanlah dengan jas hujan, sarung tangan dan masker. Namun, apa daya, virus ini memang bisa menyelinap ke dalam tubuh tanpa diketahui sang tuan rumah. Saya tidak akan lupa, setiap hari dari pagi menjemput pagi, bunyi sirene ambulans selalu menemani hari – hari saya di Wisma Atlet.

Kepada gelapnya malam, terangnya pagi, saya memanjatkan harap agar teman – teman yang terpapar Covid bisa sembuh. Agar teman – teman yang masih terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari bisa selalu dilindungi semesta dan lolos dari mahkluk tidak terlihat ini.

Kepada teman – teman yang sama – sama berjuang melawan Covid, mari berjuang bersama menghalau pandemi ini

Dian Septi Trisnanti

Aktivis buruh, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!