3 Strategi Yang Bisa Dilakukan Untuk Bantu Perempuan Dan Warga Afghanistan

Banyak penduduk dan perempuan Afghanistan merasa takut terhadap apa yang akan terjadi setelah Taliban mengambil alih kendali negara. Krisis kemanusiaanpun kini menghantui

Konflik yang memburuk di Afghanistan setelah Amerika Serikat (AS) menarik pasukannya menimbulkan banyak gelombang eksodus. Banyak penduduk setempat yang merasa takut terhadap apa yang akan terjadi setelah kelompok teroris Taliban mengambil alih kendali negara. Krisis kemanusiaanpun kini menghantui.

Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) memperkirakan, sekitar 270.000 warga Afghanistan harus mengungsi di dalam wilayah negara itu sejak Januari 2021 – sebagian besar di antaranya karena faktor keamanan dan kekerasan. Per Agustus 13, angka itu meningkat menjadi hampir 400.000 penduduk. Angka tersebut menambah total jumlah warga yang tercerabut dari tempat tinggalnya hingga 3,5 juta orang.

Peningkatan jumlah pengungsi dan pencari suaka Afghanistan membuat perhatian tersorot ke Indonesia. Negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini telah lama menjadi negara singgah bagi pengungsi yang ingin mencapai tujuan terakhir, yaitu Australia.

Artikel ini akan menjelaskan tiga strategi yang perlu Indonesia lakukan untuk memainkan peran penting dalam mencegah terjadinya bencana kemanusiaan.

Lebih dari ‘pembicaraan damai’

Indonesia telah memainkan peran diplomatik dalam berbagai upaya perdamaian dan resolusi konflik. Salah satu di antaranya adalah menjadi mediator antara pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).

Namun, dengan terhambatnya upaya negosiasi dan jatuhnya pemerintahan Afganistan sokongan AS ke tangan Taliban, sekarang saatnya bagi Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, untuk menangani krisis yang lebih mendesak.

Negara-negara tetangga Afganistan telah menolak memberikan perlindungan bagi para pengungsi. Bahkan, mereka ‘membentengi’ wilayah perbatasannya. Iran sebenarnya telah membangun kamp-kamp pengungsian di sepanjang perbatasan, namun bantuan itu masih belum mencukupi.

AS, negara yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kekacauan yang sedang terjadi, telah meminta beberapa negara untuk menampung sementara warga Afganistan yang terancam keselamatannya.

Beberapa negara lain telah mengumumkan rencana menerima pengungsi. Kanada dan Inggris menjadi dua negara pertama yang menawarkan hingga 20.000 kuota suaka kepada warga Afganistan.

Sementara, Australia – negara tujuan akhir pengungsi yang terdekat dari Indonesia – sudah dikenal dengan kampanye “stop the boats”. Negara itu menerapkan mekanisme penahanan wajib di fasilitas pemrosesan pengungsi lepas pantai, yang menempatkan pengungsi dalam bahaya.

Kebijakan suaka Australia yang ketat dalam beberapa tahun terakhir memaksa pengungsi untuk tinggal di Indonesia dalam situasi tidak pasti yang berkepanjangan. Pasalnya, prosedur pemrosesan pengungsi di Negeri Kangguru itu amat lamban, memakan waktu hingga 20 tahun atau lebih.

Melihat cepatnya perubahan situasi politik di Afganistan, Indonesia kemungkinan akan kedatangan pengungsi Afganistan dalam jumlah yang besar.

Indonesia dapat melakukan tiga cara untuk mencegah terjadinya bencana kemanusiaan.

Pertama, pemerintah harus memberikan hak-hak pengungsi secara penuh selama mereka berada di wilayah Indonesia. Dalam pelaksanaannya, negara harus memperkuat koordinasi terkait penanganan pengungsi dengan badan-badan internasional dan lembaga masyarakat sipil di lapangan.

Saat ini, terdapat sekitar 13.000 pengungsi di Indonesia. Lebih dari separuhnya berasal dari Afghanistan.

Meski begitu, kebanyakan warga Indonesia tidak melihat warga Afghan sebagai pengungsi jika dibandingkan dengan warga Rohingya – warga Muslim yang dipersekusi di Rakhine, Myanmar.

Media lokal Indonesia kerap menggambarkan Rohingya sebagai “manusia perahu” putus asa yang melarikan diri dari tiran-tiran yang beragama Buddha.

Sebaliknya, pengungsi Afghan biasanya dianggap sebagai imigran “ilegal” yang bergerak dengan membayar penyelundup dan memalsukan dokumen perjalanan.

Orang-orang Hazara, yang mewakili mayoritas warga Afganistan di Indonesia, juga mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan dalam masa “singgah” karena beraliran Syiah. Warga etnis Hazara adalah penduduk asli wilayah pegunungan Hazarajat di Afghanistan tengah.

Minimnya perlindungan hukum juga memperburuk kondisi warga Afghanistan selama berada di Indonesia.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menerbitkan peraturan presiden mengenai penanganan “pengungsi dari luar negeri”. Namun, beberapa hak mendasar seperti akses ke pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan bergerak, masih belum terpenuhi.

Kondisi pengungsi Afganistan di Indonesia sangat memprihatinkan hingga mereka terjebak dalam situasi keputusasaan. Laju bunuh diri di antara pengungsi di Indonesia telah meningkat sejak 2014. Sepuluh dari 13 orang memilih kehilangan nyawanya adalah warga Afghanistan.

Kedua, pemerintah perlu bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara lainnya untuk mempersiapkan strategi evakuasi bagi warga Afganistan yang melarikan diri. Memastikan perjalanan pencarian suaka yang aman amat penting untuk mencegah lebih banyak korban jiwa.

Ketiga, pemerintah harus mendesak Australia agar mempercepat proses pemukiman kembali ribuan warga Afganistan di Indonesia yang telah mendaftarkan diri sebagai pencari suaka.

Pembicaraan mengenai kebutuhan membuka perbatasan dan menerima gelombang pengungsi baru juga perlu dilakukan.

Penderitaan warga Afganistan perlu dilihat sebagai keprihatinan dan ujian bagi penegakan prinsip kemanusiaan di dunia.

Situasi bisa lebih cepat memburuk. Setiap negara – termasuk Indonesia – dapat dianggap bertanggung jawab apabila mereka gagal bertindak cepat.

(Foto/ ilustrasi: Canva)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Annisa Dina Amalia

Staf pengajar, Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!