Gaya kekinian, tren outfit of the day, budaya konsumtif, mereka semua telah mengambil alih gaya hidup kita. Kemajuan teknologi dan media sosial, dimana kita saling memamerkan dan berkompetisi tentang gaya berpakaian. Salah satu penelitian di tahun 2015 yang dilansir Daily Mail, menjelaskan bahwa orang memakai pakaian sebanyak 7 kali sebelum akhirnya memutuskan pakaian tersebut sudah tua sampai mereka membeli baru. Hal ini yang menyebabkan industri fashion terus menggenjot produksi pakaian secara cepat atau disebut fast fashion.
Sebut saja beberapa merek fast fashion yang biasa kita lihat di mall. Merek fast fashion biasanya akan memproduksi pakaian mereka secara cepat, massal, harganya terjangkau, dan mengikuti tren sehingga akan terus berganti. Tanpa disadari, kita membeli dan menggunakan pakaian yang dihasilkan oleh beberapa merek fast fashion karena beberapa alasan utama, misal, pakaiannya up to date dan harganya masih terjangkau.
Lalu, ada apa dengan gaya fashion kita? Menurut edgexpo.com, limbah tekstil yang dihasilkan oleh industri fashion menjadi limbah kedua terbanyak yang mengotori lingkungan kita. Pertama, dilihat melalui sumbangan limbah air sebanyak 20% per tahunnya, yang menyebabkan kurangnya ketersediaan air bersih. Berikutnya, 10% gas emisi karbon yang disumbangkan dari total emisi karbon dunia. Tentunya ini menjadi salah satu penyebab perubahan iklim yang sedang terjadi.
Lebih dekat dengan kita, melalui berita CNN Indonesia, limbah tekstil banyak dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pada tahun 2018, Sungai Citarum diberitakan menjadi tempat pembuangan limbah dari 64 industri tekstil di sekitar sungai tersebut. Tindakan tidak bertanggung jawab ini tentunya akan membahayakan orang-orang yang menggunakan air dari Sungai Citarum sebagai kebutuhan mereka.
Alternatif Lain dari Fast Fashion
Beberapa jawaban yang sekiranya bisa kita mulai untuk mengurangi pencemaran lingkungan adalah mengurangi membeli pakaian baru. Gaya konsumtif kita jadi bensin utama bagi produsen untuk menghasilkan lebih banyak dan lebih baru lagi. Dengan menggunakan pakaian lama sampai memang benar-benar sudah tidak layak, diharapkan dapat memperlambat produksi.
Kita juga bisa membeli pakaian preloved atau bekas. Misalnya, di Instagram banyak yang menjual pakaian-pakaian second atau disebut thrift shop. Pakaian-pakaian yang dijual pun tidak kalah menarik dengan yang biasa kita lihat di mall dan kadang-kadang kita bisa menemukan pakaian bergaya vintage disana. Tentunya, dengan membeli pakaian bekas, kita harus memperhatikan apakah toko tersebut terpercaya dan pakaian yang dijual bersih.
Kegelapan Lainnya di balik Pakaian yang Kita Kenakan
Industri fast fashion tidak hanya dikritik dari segi lingkungan, tapi dari segi sosial juga. Kita tidak tahu bagaimana produksi di balik pakaian yang sekarang sedang kita kenakan. Di belakang produksi massal dan cepat, hiruk pikuk tren kekinian dan jadi orang ter-fashionable, ada buruh pabrik yang upahnya belum dibayar dan lain sebagainya. Sehingga, lebih bijaksana dan mulai mengurangi perilaku konsumtif menjadi bagian tanggung jawab kita. Kita yang memulai, kita yang bertanggung jawab.
(Sumber: https://plainmovement.id)