“Angkringan The Series” Dekonstruksi Maskulinitas Laki-laki yang Kuat dan Heroik

Jika laki-laki selama ini digambarkan sebagai orang yang kuat, heroik dan maskulin, web series “Angkringan the Series” justru menampilkan sebaliknya. Laki-laki digambarkan sebagai orang yang emosional, dan tak kuat menahan perasaan. Ini mendekontruksi maskulinitas laki-laki yang selama ini terjadi

Kira-kira ini awal mula cerita dalam “Angkringan the Series.” Dedi menyatakan bahwa untuk seorang bapak, tidak ada yang lebih berharga di dunia ini dari pada anak perempuannya sendiri.

Kata-kata itu menyentuh saya, saat menonton rentetan series web Indonesia “Angkringan The Series” yang ditayangkan di Mola TV Karya Adriyanto Dewo yang diproduseri Sheila Timothy yang tayang mulai 21 April 2021.

Bagi saya, kalimat itu bukan sekedar ungkapan yang hanya ditujukan kepada anak perempuan. Secara lebih bernilai, kalimat itu ingin menegaskan bagaimana eksistensi seorang bapak dalam keluarga yang secara sosial seringkali tereduksi oleh konstruksi maskulinitas.

Dikotomi ruang publik versus ruang domestik telah melahirkan dikotomi peran laki-laki dan perempuan. Tanggungjawab publik seolah-olah menjadi milik laki-laki sementara urusan domestik yang di dalamnya terkait pengasuhan menjadi tanggungjawab perempuan.

Dalam banyak kasus, dikotomi ini tidak hanya berdampak negatif pada perempuan terkait dengan eksistensinya sebagai individu, tetapi juga pada laki-laki secara kemanusiaanya. Dikotomi dalam banyak aspek mereduksi eksistensi seorang bapak dengan keluarganya. Urusan publik yang dibebankan kepada laki-laki menggerus ruang-ruang sosial yang terbangun dalam keluarga.    

“Angkringan The Series” menurut saya mengemukakan satu geliat eksistensi baru laki-laki. Geliat ini memberi daya tarik saya untuk menulis sekelumit serial ini dari perspektif maskulinitas.

Dinamika laki-laki dalam relasi sosial memang jarang mendapat perhatian khusus, kecuali pada aspek-aspek yang menguatkan keistimewaan maskulinitasnya, seperti kekerasan, superioritas, kekuasaan, politik, ekonomi, kegemilangan, tanpa tetes air mata dan lain sebagainya.

Serial  “Angkringan The Series”  ini justru sebaliknya. Menyaksikan enam serial dalam sesi pertama ini justru memberikan gambaran posisi laki-laki yang jauh dari hingar bingar. Laki-laki dalam serial ini adalah kenyataan sesungguhnya sebagai manusia. Menangis, mengungkapkan isi hati, mendengarkan bahkan satu penyesalan akan perilakunya mewarnai setiap serialnya.

Ini tentang suara hati laki-laki

“Angkringan The Series” merupakan serial produksi Lifelike Picture yang dibintangi Dwi Sasongko (dedi) sebagai aktor utama. Dedi adalah pemilik warung Angkringan Arumdalu yang buka setiap sore dan biasanya tutup menjelang dini hari.

Awalnya, Angkringan ini hanya berjualan di emperan, namun beberapa tahun terakhir Angkringan Arumdalu bisa menyewa ruangan. Selain minuman seperti kopi, jahe, teh, ronde angkringan ini juga menjual “nasi kucing”, mie instan, nasi goreng dan sejumlah sate telor dan gorengan. Lengkap sebagai menu angkringan.

Dedi seorang diri mengelola angkringannya. Sejak beberapa  tahun lalu ia harus kehilangan dua orang yang dicintai, istri dan anak perempuannya. Mereka meninggalkan Dedi karena aktivitasnya.

Kepergian Istri dan anaknya menjadikannya terpukul dan merasa penyesalan yang tidak terkira. Sehari-hari ia dihantui oleh rasa rindu pada istri dan anak perempuannya. Setiap malam Dedi bahkan dibayangi halusinasi istrinya lewat di depan warung, padahal itu adalah orang lain. Hari-harinya selalui dibayangi oleh keingininannya bertemu istri dan anaknya. Ia menyesal atas perilakunya di masa lalu.

Pengalaman masa lalu Dedi ini selalu menjadi refleksi bagi dirinya dan juga ketika ia harus bertemu dengan seseorang yang mempunyai persoalan seperti dirinya untuk berdiskusi. Dedi menjadi teman diskusi yang menarik dengan siapapun untuk berbagi cerita dan mengurai masalah. Hampir setiap cerita yang dia hadapi selalu berkaitan dengan persoalan kompleksitas keluarga, rumah tangga dan secara khusus berkaitan dengan kedudukan laki-laki. Cerita bisa berasal dari seorang perempuan atau laki-laki itu sendiri.

Sudut pengambilan gambar dalam film ini bervariatif bahkan detail pada beberapa bagian yang menarik, seperti proses pembuatan minuman, ngeprak jahe dan sebagainya yang bagi saya sangat menarik. Ada keindahan tersendiri yang bisa dieksplorasi oleh tim produksi, khususnya oleh para camera person. Namun demikian dengan setting yang sebatas pada ruangan tentu mempunyai tantangan tersendiri, karena aspek-aspek yang akan ditonjolkan dalam beberapa episode saja menurut saya sudah mengalami kejenuhan. Subjek gambar hanya berputar dengan sedikit modifikasi agar tidak terlihat seperti pengulangan. Tentu saja ini memerlukan kreatifitas tersendiri pada produksi-produksi berikutnya, jika tidak penonton akan lelah sebelum menyaksikan.

Setting “Angkringan The Series” dalam serial ini memang jauh diluar bayangan saya tentang angkringan yang selama ini saya kenal. Setting angkringan dalam serial ini lebih mirip sebuah Café dengan konsep angkringan, sekalipun di setiap episode, selalu ditunjukkan dengan segmentasi pengunjung masyarakat kelas menengah bawah, mahasiswa, sopir angkutan, preman dan sebagainya.

Setting angkringan ini terlalu berkelas menengah atas, ketimbang sebaliknya. Pilihan lagu-lagu yang diputar di radio,  pilihan membaca buku, apalagi setiap episode terlalu sepi pengunjung tidak mencerminkan angkringan yang selama ini ada.

Membaca buku dan mendengarkan lagu-lagu di angkringan ini juga tidak kontekstual, lebih banyak penjual angkringannya browsing dari sosmed. Lagu yang didengarkan juga tidak jauh-jauh dari alunan “Pamer Bojo” nya Didi Kempot atau “Kertonyono Medot Janji” nya Denny Caknan sekedar mengambil contoh. Sah-sah saja sebenarnya. Bisa jadi ini dipilih agar sutradara fokus pada substansi obrolan sehari-hari di angkringan ini.

Dalam enam episode, kita akan melihat enam persoalan yang berbeda-beda yang dialami oleh laki-laki secara langsung ataupun pengalaman perempuan dan relasinya dengan laki-laki. 

Serial pertama “Pahit Segelas Kopi”

Serial Angkringan di awali dengan judul “Pahit Segelas Kopi”. Cerita ini diawali oleh ibu Ratih (Dayu Wijanto) di tengah malam yang mampir ke Angkringan untuk memesan minuman hangat, dan pilihannya adalah Kopi.

Dari secangkir kopi ini, terjadi perbincangan ringan antara Dedi dan Ibu Ratih. Ia bercerita, mengapa memilih kopi, karena ia ingin mengenang almarhum suaminya yang suka minum kopi. Hampir setiap hari sang ibu selalu membuatkan kopi untuk suaminya.

Sekalipun ritual membuatkan kopi diceritakan penuh dengan romantisme, rupanya ritual membuatkan kopi bagi ibu Ratih ini bukanlah kenangan yang manis. Segelas kopi yang dibuatnya untuk sang suami menyimpan sejumlah luka dan trauma mendalam bagi sang ibu. Ini terungkap ketika sang ibu tiba-tiba membuang kopi yang hendak diseduh karena terlalu panas. Sang ibu mempunyai trauma akan kejadian kopi panas itu. Ia masih trauma sang suami melakukan kekerasan ketika suatu kali ia membuatkan kopi terlalu panas. Untuk itulah, kematian suaminya baginya adalah satu momen kebebasan bagi dirinya. Ia merasa kematian suaminya telah membebaskannya dari rasa ketakutan yang sehari-hari dialami. Ia kini merasa bebas tanpa suami, karena ia bisa menjadi diri sendiri.

Ibu Ratih memang bisa melepaskan dirinya dari rantai kekerasan, namun kita tidak pernah tahu seberapa kompleks sebenarnya yang terjadi pada laki-laki suami dalam series ini hingga ia melakukan kekerasan.

Saya menyakini, kekerasan yang dilakukan oleh suami sebenarnya bukanlah watak dasar laki-laki. Menurut saya, kekerasan yang dia lakukan karena dia tidak mengetahui bagaimana cara mengatasi persoalan yang dia alami. Bagaimana mengatasi egoisme yang sudah tertanam. Tidak semua laki-laki bisa mempunyai keterbukaan pikiran, karena egoisme yang seringkali lebih mendominasi. Bagi saya ia menjadi pelaku kekerasan karena kurang ruang untuk mengajaknya bicara. Tentu laki-laki juga ketika meninggal tidak ingin menyandang sebagai pelaku kekerasan kan?.

Dialog pada episode pertama ini menurut saya tidak terlalu kuat dan hanya sebatas cerita normative, apalagi untuk merefleksikannya disuguhkan dengan gambar yang standar. Sang ibu juga tidak terlalu sulit untuk akhirnya berdamai dengan kebencian kepada suaminya setelah ia mendengar kisah pengalaman Dedi yang juga mengalami persoalan kompleks tentang rumah tangganya.

Perbedaanya Dedi bisa mengelola persoalannya, tidak dengan suami ibu Ratih yang mungkin tidak terbiasa mengungkapkan perasaanya. Ketika Dedi menceritakan pengalamannya untuk meredam dendam, bagi saya inilah salah satu upaya penulis cerita memberikan gambaran tentang kompleksitas yang dialami laki-laki yang tidak mudah menghadapi sebuah masalah

Episode kedua “Campur Aduk STMJ”

Kompleksitas laki-laki juga terlihat dalam episode kedua yang mengambil tema “Campur Aduk STMJ.”

Ceritanya sederhana. Adalah dua orang laki-laki, yaitu Tono (Teuku Rifnu Wikana) dan Moko (Tumpal Tampubolon). Keduanya adalah sopir dan kernet sebuah mobil angkutan umum.

Tono, sebagai driver sedang menghadapi permasalahan keluarga. Sejak diceraikan oleh istrinya karena kegemarannya berjudi, hidup Tono merasa kurang. Ia dibayang-bayangi anaknya. Keinginan untuk bertemu anaknya juga tidak bisa terpenuhi, karena mantan istri Tono melarangnya.  Sekalipun sekarang sudah berkurang dalam berjudi, namun kebiasaannya selama  inilah yang membuat istrinya tidak mempercayai semua yang telah dilakukan Tono.

Keinginan Tono untuk bertemu buah hati yang tertunda sangatlah menyakitkan dan tidak bisa menutupi emosinya. Sampai akhirnya Dedi berusaha untuk mengajaknya bicara dari hati ke hati.

Tono mengungkapkan seluruh pengalaman hidupnya, hingga pahit yang dirasakan saat ini. Kenapa ia masih berjudi sekalipun intensitasnya berkurang, karena ia mempunyai beban sebagai ayah yang harus menghidupi keluarganya. Mencari nafkah baginya adalah tanggungjawab sekaligus beban, karena ia harus memenuhi, jika tidak ia akan dipertanyakan kelaki-lakiannya. Untuk itulah jalan pintas berjudi adalah pilihannya.

Dedi pun juga bertukar pengalaman atas apa yang dialami. Ia harus kehilangan istri dan anaknya yang dicintainya karena pergi atas perilakunya. Ada rasa penyesalan yang mendalam. Ia ingin memperbaiki hidupnya agar bisa bertemu dengan istri dan anak perempuan yang dirindukannya. Ini yang membuat Tono merasa terkesan. Hanya untuk meninggalkan Judi saja, ia sebenarnya sudah bisa berkumpul, tidak sesulit pengalaman Dedi.

Cerita singkat dalam episode ini bagi saya sangat menarik, karena laki-laki bisa berbicara dari hati ke hati, bertukar pengalaman yang dapat mengalahkan egoisme laki-laki yang menganggap apa yang dilakukannya selalu benar, sekalipun belum tentu bisa menyelesaikan masalah.

Dua hal yang bisa menjadi catatan penting dalam episode ini, pertama laki-laki adalah mahluk sosial. Ia juga membutuhkan apa yang dialaminya untuk didengar. Laki-laki juga membutuhkan teman untuk bisa bertukar pengalaman. Dunia laki-laki sebenarnya sama dengan mahluk lainnya, ia juga membutuhkan berbagi dalam menjalani kehidupannya. Penggambaran ini membalik pandangan selama ini jika laki-laki itu anti bicara, tertutup dan tak mau bertukar pengalaman.

Episode ketiga “Remaja Internet” 

Cerita episode ketiga “Remaja Internet”. Episode ini bercerita tentang asmara sepasang kekasih yang masih duduk di bangku SMA yang diperankan Amanda (Arwinda Kirana) dan Kevin (Dito Darmawan).

Sepasang kekasih ini sedang kebingungan karena Amanda sedang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Mereka berencana akan melakukan tindakan penghentian kehamilan tidak diinginkan, namun gagal.

Amanda tertekan, disamping harus menghadapai kehamilannya, ia juga menghadapi bagaimana reaksi orang tuanya. Sementara Kevin tidak mempunyai solusi atas masalah yang dihadapi dan cenderung bingung. Pertengkaran pasangan di dalam Angkringan yang menganggu pelanggan lain itulah yang membuat Dedi harus ikut campur mencari solusi.

Menurut saya, hal yang menarik dari episode ini ketika Dedi mengajak bicara secara khusus ke Kevin. Pada umumnya cerita tentang laki-laki dalam menghadapi persoalan ini maunya tidak mau ribet. Maunya simpel dan bila perlu mengorbankan seseorang.

Dalam serial Angkringan ini justru sebaliknya, Dedi mengajak Kevin untuk membincangkan persoalannya hingga memutuskan satu pilihannya.

Bagi saya menariknya bukan soal apa yang dibicarakan mereka berdua, namun proses untuk saling berbagi, berdiskusi untuk laki-laki agar juga memahami persoalan-persoalan yang ditimbulkan atas satu peristiwa. Ini adalah satu kekuatan sendiri dari cerita web series ini.

Cerita ini bagi saya semakin menguatkan bahwa tidak semua laki-laki itu menguasai semua masalah. Tidak semua laki-laki itu mampu menghadapi masalah dan memberikan solusi yang adil, yang setara. Laki-laki juga memerlukan teman.

Bagi saya beruntung Kevin bertemu dengan Dedi, sehingga bisa memberikan pandangan yang tepat. Jika tidak, bukan tidak mungkin kekerasan menjadi jalan penyelesaian atas masalah yang dihadapi sehingga korbannya adalah perempuan.

Episode keempat “Sesisir Pisang”

Selanjutnya yang tidak kalah menarik ada di episode keempat; “Sesisir Pisang” tentang pengalaman laki-laki yang hidup sebagai Transpuan.

Episode ini bercerita tentang Budi (Morgan Oey) sebagai Transpuan yang mengadopsi seorang anak perempuan bernama Alya (Alleyra Fakhira).

Cerita dimulai ketika Budi akan mengajak Alya untuk tinggal di rumah orang tuanya. Budi berniat menitipkan Alya ke orang tuanya karena ia tidak ingin melihat anaknya mendapatkan bully dari teman-temannya yang merendahkan profesi orang tuanya sebagai waria. Sayangnya Alya tidak mau. Alya tetap ingin tinggal bersama Budi. Disinilah cerita ini berawal.

Kompleksitas laki-laki dalam situasi ini memang tidak mudah. Sebagai waria, Budi selalu punya pilihan sulit ditengah masyarakat yang masih menganggap rendah waria

Cerita ini merujuk sebuah fakta bahwa konstruksi laki-laki dan perempuan secara gender ini menyumbang humanisasi individu untuk melakukan atau berperilaku secara manusiawi.

Konstruksi laki-laki yang selama ini dibangun tentu sangat menyulitkan bagi individu yang mempunyai pengalaman hidup seperti Budi yang lebih memilik sifat-sifat diluar konstruksi laki-laki selama ini. Tentu ini bagian dari kompleksitas laki-laki yang juga perlu mendapat perhatian.

Bagi saya, episode ini paling mencengangkan dalam semua peran dan dialog selama web series ini ditayangkan. Morgan Oey begitu menjiwai, memainkan karakter sebagai transpuan. Akting perannya dikombinasikan dengan naskah dialog-dialognya mengiris hati dan sangat menyentuh.

Saya menyaksikan totalitas aksi peran ini dalam membangun karakter, sehingga titik persoalan yang paling mendasar yang dialami oleh kelompok transgender menjadi jelas atas peran Morgan.

Episode kelima “Hangat Semangkuk Sekoteng”

Episode kelima Angkringan adalah: “Hangat Semangkuk Sekoteng”. Ini kisah tentang seorang anak perempuan yang masih duduk dibangku kelas 2 SMA, Ratu (Aurora Ribero) yang selesai mengikuti kontes menyanyi. Ia ingin menjadi penyanyi terkenal.

Hendak pulang tapi taksi online yang dia pesan mogok, jadilah ia order lagi dan menunggunya di Angkringan Arumdalu. Sambil menunggu dan memesan minuman, banyak hal yang dia ceritakan kepada Dedi. Termasuk soal ayahnya yang meningggalkan dirinya dan ibunya. Untuk itulah ia ingin menjadi terkenal, menghasilkan uang dan bisa membantu ibunya agar tidak bersusah payah bekerja.

Cerita Anak Ratih ini juga menyentuh hati Dedi. Ia bisa merasakan betul bagaimana seorang anak perempuan sangat merindukan dan membutuhkan ayah. Perasaan ini juga hinggap di Dedi. Perasaan bersalah kembali muncul. Rasa sesal akan masa lalu rasanya ingin ia tebus.

Cerita ini menarik. Inilah perasaan laki-laki sesungguhnya. Ia bukanlah individu yang seperti digambarkan selama ini yang dianggap tidak punya hati, tidak punya perasaan, tidak punya emosi. Cerita ini menjelaskan suasana hati laki-laki yang sangat dilematis.

Episode keenam “Sepiring Nasi Goreng”

Pada episode terakhir keenam Angkringan mengambil tema “Sepiring Nasi Goreng”. Diantara kelima cerita episode ini yang menghadirkan adegan perkelahian antar laki-laki, termasuk yang dilakukan Dedi untuk membela diri.

Timbulnya perkelahian di Angkringan diawali oleh kedatangan pelanggan laki-laki misterius David (Zack Lee) yang memesan makanan, sekalipun sudah mau tutup. David hendak pulang ke Sumatera namun kemalaman.

David adalah mantan narapida yang baru bebas dan ia akan balik ke Sumatera. Namun demikian bis yang ia hendak naik sudah habis. Menunggu besok pagi.

Saat David makan, ia didatangi oleh tiga orang yang merupakan kaki tangan seseorang yang mempunyai kekuasaan. Ketiga orang ini sengaja mencari David dan meminta kembali lagi ke bang Tagor-demikian mereka menyebut pimpinannya. Namun David  menolak dan terjadilah perkelahian.

Dedi terlibat dalam perkelahian ini dan membantu David karena mendapati lawan yang tidak seimbang. David tersabit pisau di perutnya. Ketiga orang dihajar oleh Dedi dan David, lalu ketiganya menyerah dan pergi.

Tinggalah Dedi dan David.  Sambil memegang perut yang terkena pisau, David menceritakan siapa dirinya. Keduanya saling bercerita tentang dirinya dan masa lalunya. David ingin pulang, sekalipun rumah baginya adalah cerita buruk dalam kehidupannya.

Ia sejak kecil dianggap tidak berguna oleh ayahnya dan juga keluarganya. Ia merasa lingkungannya tidak menghendakinya. Ia terus berusaha menjadi orang baik, namun terus saja kembali pada situasi-situasi kelam. Namun ia tetap ingin pulang, karena ia yakin kebaikan tidak mungkin tak punya ruang.

Bagi saya, perbincangan kedua lelaki ini menarik. Sekelam apapun perbincangan bisa mengurai kompleksitas hidup yang setiap individu alami.

Tidak banyak laki-laki yang ingin menguraikan pengalamannya sebagai sebuah refleksi, sehingga banyak laki-laki terjebak dalam situasi yang menjerumuskan keadaan.

Menjadi pelaku kekerasan salah satunya. Serial ini ditutup dengan kisah yang epic, bagaimana ruang perbincangan bagi laki-laki sangatlah produktif dalam melihat persoalan yang lebih memberikan harapan, keterbukaan, komunikasi bagi tatanan yang lebih manusiawi.

Dekonstruksi maskulinitas dalam web series

Aspek substansial di atas adalah alasan saya yang dalam waktu 8 jam di tengah proses Isolasi Mandiri (Isoman) menyelesaikan serial Angkringan dengan tuntas.

Saya tonton ulang film ini untuk mengkonfirmasi ulang sebagai bahan tulisan. Rasanya tidak menyesal saya menyaksikannya, karena secara tematik “Angkringan The Series” ini konsisten menjaga perspektifnya.

Jika ditarik benang merah dari keenam serial yang sudah tayang ini, dari perspektif maskulinitas, saya menyaksikan bagaimana sutradara dan penulis naskah mencoba menempatkan posisi laki-laki pada kedudukan yang lebih manusiawi dalam berbagai persoalan yang dihadapi.

Tentu saja kedudukan ini terlihat bertentangan dengan norma-norma sosial patriraki yang selama ini disematkan kepada laki-laki yang tidak mungkin membuat laki-laki menangis, bercerita, mau mendengar, ataupun menyesali perbuatannya. Laki-laki dianggap selalu benar dan hero.

Penempatan laki-laki dalam cerita ini menurut saya ada semacam upaya untuk mendekonstruksi nilai-nilai maskulinitas yang selama ini terbangun. Tentu saja ini satu terobosan, karena tidak mudah untuk melawan arus yang sudah terbentuk tentang laki-laki.

Langkah ini sebenarnya mengundang resiko bagi film itu sendiri dikarenakan; film-film yang laku keras biasanya mengikuti arus utama masyarakat. Mereka yang tidak mengikuti arus utama masyarakat, maka secara otomatis dan perlahan akan ditinggalkan, karena dianggap tidak menjadi bagian arus utama. Itulah mengapa bagi Erich Fromm (1995) sangat sulit mencari masyarakat yang “sehat”.

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak mengikuti arus sosial. Masyarakat modern, dalam terminologi Fromm adalah masyarakat yang takut dianggap tidak modern, sehingga ia mengikuti arus modernisasi.

Perilaku-perilaku sosial masyarakat tidak ditentukan oleh apa yang dibutuhkan oleh dirinya, namun lebih ditentukan oleh arus modernisasi. Konsumtif, individual, abai pada persoalan sosial, rasionalitasnya tersublimasi oleh rasionalitas  benda dan sebagainya. Mereka yang tidak mengikuti arus akan terpinggirkan. Masyarakat umumnya menjadi bagian arus modernitas besar yang lebih menikmati penindasan atas kebebasannya, ketimbang memilih bebas.

Begitu halnya dengan cerita yang diusung oleh “Angkringan The Series” ini. Arus Patriarkisme merupakan bagian dari konstruksi sosial yang berada dalam bangunan sosial besar. Ia telah mencipta struktur sosial masyarakat dalam kelas-kelas sosial berdasarkan gender. Mereka yang tidak berada dalam ruang sosial yang dibangun oleh patriarkisme, maka akan tersingkir. Akan terdiskriminasi oleh lingkungan sosialnya.

Begitu halnya dengan laki-laki. Konstruksi patriarki membuat laki-laki harus menghadapi persoalan eksistensi dalam kehidupannya. Pada satu sisi ruang sosial ini memang memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi laki-laki. Laki-laki mempunyai keistimewaan dalam melakukan apapun. Semua ukuran-ukuran sosial sangat ditentukan oleh laki-laki sebagai indikatornya. Posisi ini tentu lebih banyak merugikan perempuan. Konstruksi sosial membuat individu menjadi tidak setara. Sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, subordinasi, diskriminasi dan beban ganda yang dialami perempuan akibat konstruksi yang lebih memberi keistimewaan pada laki-laki. Bagi sebagian besar laki-laki, keistimewaan yang diberikan kepadanya masih dianggap sebagai legitimasi kekuasaan atas perempuan.

Menempatkan tokoh Dedi sebagai subjek refleksi atas persoalan yang dihadapi oleh laki-laki, bagi saya sangat tepat. Laki-laki yang sedang berhadapan dengan masalah seringkali tidak ingin terlihat oleh lawan jenis, karena akan dianggap lemah dan remeh. Laki-laki akan lebih mementingkan kedudukannya yang lebih tinggi dihadapan perempuan ketimbang upayanya mencari jalan keluar atas persoalannya. Pembicaraan dari hati ke hati diantara laki-laki akan dianggap oleh sesama laki-laki lebih secure, karena ia tidak mempunyai beban direndahkan secara psikologis.

Entah ini satu kesadaran atau memang ide yang menarik bagi tim kerja produksi “Angkringan The Series”, apa yang digambarkan dalam setiap episode memberi ruang bagi upaya merekonstruksi satu pandangan tentang laki-laki.

Pembicaraan dalam setiap episode hampir menyinggung laki-laki dalam sejumlah persoalannya. Yang ditawarkan bukan pada arus mainstream, namun lebih pada dekonstruksi. Bicara, mendengarkan dari hati persoalan laki-laki bukanlah kebiasaan konten dalam film-film selama ini.

Laki-Laki dalam paradoks pembagian kerja secara seksual

Kompleksitas persoalan laki-laki sejauh ini memang jarang menjadi satu pembahasan penting, kecuali untuk menunjukkan kekuatannya yang ilutif. Menyuarakan persoalannya sama halnya melemahkan posisinya sebagai laki-laki. 

Michael Kaufman (1999) menyebut, laki-laki harus menjalankan perannya yang tidak bisa terlepas dari lingkungan patriarki yang mengkonstruksikan laki-laki menjadi sosok yang serba sisa mengatasi sejumlah masalah.

Lingkungan Patriarki telah memberikan sejumlah fasilitas istimewa pada laki-laki asal dirinya mau untuk menjadi sosok yang menjalankan nilai-nilai patriarki, seperti harus kuat, harus mampu melakukan segalanya dan sebagainya.

Namun demikian, konstruksi nilai-nilai sosial ini pada kenyataanya tidak bisa selalu tampil seperti yang dikonstruksikan. Pada faktanya, berbagai aspek dalam lingkungan sosial menempatkan individu laki-laki maupun perempuan bergerak secara dinamis.

Kebutuhan individu menjadi relatif, tidak bisa dipastikan. Pembagian kerja secara seksual yang di konstruksikan pada kenyataanya memberikan beban kepada laki-laki dan perempuan, karena dalam situasi sosial, ekonomi yang dinamis, tidak bisa dipastikan bahwa peran-peran publik, pencari nafkah adalah milik laki-laki, begitu pula dengan peran-peran domestik tidak bisa hanya dilakukan oleh perempuan.

Dalam situasi yang dinamis ini, yang mereka temui adalah realitas objektif yang membuat setiap individu pada akhirnya merasa terbebani oleh konstruksi yang ada. Misalkan, karena laki-laki adalah pencari nafkah utama, maka ketika krisis ekonomi, tidak semua orang, khususnya laki-laki bisa dengan mudah mencari nafkah.

Jika situasi ekonomi tidak bisa berjalan secara normal, konstruksi yang dibangun juga mempunyai persoalan bagi laki-laki dan perempuan. Akibat dari krisis ekonomi, laki-laki banyak menjadi pengangguran yang pada akhirnya menjadi realitas objektif dalam ranah sosial.

Begitu juga dengan citra laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang dicitrakan sebagai sosok yang bertubuh tinggi, besar, berotot dan kuat menghadapi segala masalah, pada kenyataannya sosok laki-laki yang dicitrakan tidak sebanyak sosok laki-laki yang justru sebaliknya dengan situasi yang ada. Namun demikian, begitu kuatnya dominasi patriarki ini dalam mengonstruksi citra laki-laki, sekalipun faktanya banyak laki-laki yang tidak seperti yang diidealkan, namun masyarakat masih menganggap laki-laki yang tegap, berotot dan kuat adalah ciri laki-laki yang ideal.

Ini artinya antara konstruksi sosial yang ideal menyangkut nilai gender dengan realitas objektif yang ada tidak sejalan, dan akhirnya konstruksi sosial yang terbangun menjadikan beban sosial tersendiri bagi laki-laki maupun perempuan. Beban sosial yang dihadapi laki-laki yang terberat adalah harus menanggung beban privilege (keistimewaan sosial) ketika ia tidak bisa menjadi sosok yang diidealkan.

Apa yang selama ini dijadikan acuan dari masyarakat terkait dengan peran laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari sosialisasi yang dilakukan secara teguh. Keluar dari ruang lingkup peran yang sudah “digariskan” secara sosial, berarti seseorang harus menghadapi situasi yang sulit, karena jika laki-laki keluar dari peran yang digariskan, maka akan dipertanyakan kelaki-lakiannya secara sosial.

Pasca perang dunia kedua, di negara-negara Eropa Timur banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal dan itu banyak menimpa laki-laki. Pasca PHK massal tersebut, telah terjadi bunuh diri yang dilakukan oleh laki-laki.

Menurut data Bank Dunia di tahun 2002, dugaan menyebutkan, bahwa tindakan bunuh diri tersebut dikarenakan kebanyakan kaum laki-laki tidak sanggup menghadapi situasi sosial dimana ketika dia tidak lagi bekerja. Tekanan sosial itu bagi laki-laki sangat memberatkan, sehingga pilihan akan mengakhiri hidupanya sebagai pilihan terbaik

Tindakan yang sia-sia itu mungkin tidak akan terjadi jika mereka tidak memiliki beban sosial atas stereotipe yang dilabelkan.

Karena sejak kecil dibentuk dalam cetakan yang menganggapnya selalu kuat, rasional, perkasa, tabu untuk menangis, tidak emosional, maka ketika harus menghadapi masalah, laki-laki tidak mempunyai pilihan lain dalam mengungkapkan perasaanya. Dialog untuk menumpahkan curahan hati dianggap tabu bagi laki-laki, padahal melalui dialog itu, segala masalah yang sedang dihadapi dapat memberikan jalan keluar.

Dalam berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, salah satu faktor mengapa laki-laki banyak menjadi pelaku dikarenakan laki-laki tidak mempunyai pilihan dalam menghadapi masalah keluarga. Otoritas dirinya sebagai kepala keluarga yang diasumsikan sebagai orang yang harus ditaati dan ditakuti menjadi dasar laki-laki melakukan kekerasan, karena pemahaman tegas bagi seorang laki-laki adalah kekerasan. Beban tersebut secara psikologis berpengaruh pada diri laki-laki, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial.

Dalam situasi seperti ini, Michael Kaufman (1999) menyebutnya laki-laki sering menghadapi paradoks dalam kehidupannya. “Karena sebuah konstruksi gender, maka laki-laki seringkali dihadapkan pada paradoks yang menyebabkan laki-laki melakukan tindakan tidak seperti yang diinginkan dan bahkan merugikan hanya karena memenuhi tuntutan sosial” ujar Kaufman.

Bagaimana memanusiakan laki-laki

Dalam situasi yang paradoks, laki-laki yang ingin keluar dari cengkeraman maskulinitas patriarkis memang bukanlah pekerjaan mudah. Karena dengan begitu, yang dilakukan adalah mengubah tatanan yang membentuk konsep maskulinitas tersebut.

Internalisasi nilai-nilai maskulinitas patriarkis yang tertanam dalam pikiran laki-laki sejak usia dini, tidak serta merta bisa dibalikkan semudah membalikan telapak tangan. Tidak hanya melawan struktur sosial, budaya, namun juga kebijakan politik dan tafsiran agama yang sangat menguatkan nilai-nilai maskulin yang patriarkis.

Namun demikian, dalam perkembangannya, sekalipun belum bersifat massif, ketika beban sosial yang tinggi sementara kemampuan yang terbatas dimiliki oleh laki-laki untuk memenuhi standar, maka respon atas tekanan sosial yang terjadi adalah menciptakan kesadaran baru oleh sejumlah pihak sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai sosial yang ada.

Saya menyebutnya ini sebagai bentuk perlawanan, karena resiko sosial atas apa yang dilakukan akan berdampak secara psikologis. Hal lain, karena implementasi dari kesadaran tersebut terjadi ketika ada perubahan pandangan dan perilaku laki-laki dari tatanan umumnya.

Tuntutan idealitas menjadi laki-laki mengalami sejumlah perubahan mendasar sebagai bentuk kesadaran baru. Sejumlah laki-laki kini tidak lagi terbebani oleh sejumlah citra diri sebagai laki-laki yang bertubuh besar, berotot dan sebagainya. Laki-laki kini juga tidak terkungkung oleh peran-peran yang selama ini dianggap mampu yang sebenarnya tidak mampu. Termasuk juga berkaitan dengan peran domestik, sejumlah laki-laki justru mempunyai pandangan baru yang menempatkan dirinya pada peran-peran domestik.

Gambaran-gambaran tentang laki-laki (maskulin) yang selama ini disosialisasikan memang dalam banyak aspek menimbulkan masalah. Tidak hanya terkait dengan relasi perempuan, tetapi juga terkait dengan dirinya sendiri sebagai laki-laki.

Stereotipe laki-laki yang dibangun dan terus disosialisasikan dalam banyak aspek kehidupan mengalami sejumlah kegagalan secara sosial. Tindakan-tindakan asosial, anarkhis, sadistis, dominan, yang dilakukan laki-laki tidak lebih hanya ingin menampilkan dirinya yang gagal secara produk manusia.

Laki-laki menjadi kehilangan nilai kemanusiaanya karena sebab-sebab nilai-nilai maskulinitas yang tidak sempurna yang selama ini diteguhkan.                 

Dalam konteks itulah, “Angkringan The Series” menjadi penting menurut saya sebagai bagian dari gerakan perlawanan atas tekanan maskulinitas patriakhi yang dialami laki-laki dalam sebuah narasi film. 

“Angkringan The  Series” secara persuasif menyampaikan fakta-fakta lain yang sering diabaikan sebagai fakta maskulin, seperti mengurusi wilayah domestik, mudah terharu atau bahkan terisak tangis ketika hatinya merasakan kesedihan mendalam, terlibat dalam pengasuhan anak dan sebagainya. Fakta-fakta ini sebenarnya menjelaskan situasi bahwa konstruksi sosial itu bisa dipertukarkan dan bisa terjadi pada laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin).

Hal ini juga berarti bahwa dalam sifat-sifat maskulin tidak dibatasi adanya sifat feminin yang ada, meskipun kedua nilai tersebut membawa nilai-nilai positif dan negatifnya masing-masing, namun keberadaan sifat tersebut menjadi utuh ketika saling berdialektika dalam satu individu.

Maskulin dan feminin tidak diwakilkan dalam satu individu laki-laki atau perempuan. Setiap laki-laki dan perempuan mempunyai sifat-sifat maskulin dan feminin, karena hadirnya kedua sifat itulah setiap individu menjadi lebih humanis.

Tentu saja seperti yang saya sampaikan di atas, film ini walaupun punya nilai-nilai yang epic, namun beresiko pada selera mainstream masyarakat. Film ini melawan arus dari tatanan sosial masyarakat. Setiap adegan memang didominasi oleh pembicaraan-pembicaraan yang mungkin terlalu bertele-tele, namun bagi saya itulah poin pentingnya.

Film ini justru mengajak kita untuk mendengarkan suara hati laki-laki. Laki-laki bukanlah makhluk tangguh yang selama ini digambarkan. Laki-laki juga mempunyai hati, mempunyai perasaan, mempunyai keinginan juga untuk didengarkan apa yang dirasakan.

Ketika laki-laki ada ruang untuk mendialogkan persoalannya, laki-laki akan juga mengerti. Banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki dalam rumah tangga, seringkali didasari oleh ketiadaan ruang bagi laki-laki untuk berbagi persoalan. Sementara ia merasa mempunyai keistimewaan sebagai laki-laki, sehingga ketika ada masalah maka yang dilakukan adalah kekerasan.

Secara tidak langsung, dari perspektif gender, cerita yang ditampilkan di web series ini, bagi saya adalah cerita yang menggunakan cara untuk mendekonstruksi nilai-nilai maskulinitas ke arah yang positif. Maskulinitas yang tidak dominan, namun maskulinitas yang berbagi antar sesama manusia.

Series ini ingin mengembalikan eksistensi laki-laki kepada esensi kemanusiaannya. Series ini bagi saya menjadi dermaga bagi berlabuhnya hati laki-laki yang hilang selama ini.

Depok, 31 Juli 2021

(Foto: Youtube)

Eko Bambang Subiantoro

Dewan Redaksi Konde.co dan Pegiat di Aliansi Laki-Laki Baru. Lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!