Atlet Perempuan Butuh ‘Spotlight’ Patahkan Mitos dan Body Shaming

Para atlet perempuan banyak alami body shaming dan mitos olahraga adalah milik laki-laki. Beberapa atlet perempuan membentuk gerakan 'spotlight' untuk membangun persepsi positif

Sudah banyak olimpiade atau pertandingan olahraga dunia dilakukan, tapi herannya atlet perempuan masih dianggap tidak pantas dan dianggap tidak cukup mampu berlaga di pertandingan olahraga. 

Mitos maskulinitas yang menganggap laki-laki lebih kuat dan dapat diandalkan masih sangat kuat, ini berimbas pada kesempatan di dunia olahraga bagi atlet perempuan yang makin terbatas.  

Kaitannya dengan pertandingan misalnya, masih lebih banyak aksesnya untuk laki-laki. Sederet persiapan laga hingga sorotan pentas olahraga masih didominasi oleh laki-laki. Padahal, perempuan nyatanya tak bisa disepelekan karena prestasi yang banyak dilakukan 

Atlet bola basket perempuan, Priscilla Annabel Karen mengatakan prestasi pada atlet perempuan sebetulnya bisa bersaing dengan laki-laki. Tak jarang lebih bisa unggul. Artinya laki-laki dan perempuan punya peluang yang sama

“Apalagi di basket putri, perempuan itu yang lebih bisa memberikan (prestasi). Sea Games terakhir, putrinya bisa ngasih perunggu, laki-laki gak dapat apa-apa,” ujar Karen saat berbincang virtual dalam sebuah diskusi tantangan sebagai atlet perempuan yang diselenggarakan Perempuan Mahardhika, Sabtu, 7 Agustus 2021 

Menjadi seorang atlet perempuan, Karen tak menyangkal banyak tantangannya. Selain mesti berhadapan dengan pandangan soal basket yang selalu dianggap sebagai ‘olahraga cowok’ yang melihat fisik penuh, juga berkaitan dengan pengembangan potensinya.   

Perempuan kelahiran 1996 tersebut lantas bercerita pernah bersama para atlet perempuan lainnya membentuk sebuah gerakan untuk membangun persepsi tentang perempuan yang juga butuh ‘spotlight’ untuk pertandingan. Inisiasi ini terlintas kala di suatu kondisi, atlet perempuan merasa tidak mendapatkan kesempatan laga sebanyak yang laki-laki dapatkan. 

Bersama-sama atlet perempuan lainnya, Karen pun mulai mengkampanyekan sosialisasi di sosial media agar perempuan juga mendapatkan hak yang setara di gelanggang olahraga basket itu. 

“Kita kumpulin yang senior, yang memang sudah lulus, kita akhirnya bikin video dan lumayan didengar, dibicarakan,” katanya. 

Tak hanya di olahraga basket, seorang atlet polo air perempuan, Sarah Manzilina pun mengaku masih punya pandangan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah olahraganya laki-laki. Maka ketika dia bisa membuktikan diri sebagai pemain profesional polo air, dia pun merasa bangga karena bisa ‘mendobrak stigma’. 

“Untuk putri, polo air sendiri jarang. Aku bisa,” kata Sarah di kesempatan sama.  

Berkecimpung di dunia polo air, yang lekat dengan adu fisik dan ketangguhan saat berada di air sambil bekerjasama tim memasukkan bola, tentu bukan hal yang mudah bagi Sarah. Terlebih, mesti berhadapan dengan risiko pertandingan: luka memar hingga rasa sakit tak terbayangkan. 

“Aku lebih takut kalau ditendang di bagian vital kayak payudara. Karena kalau udah ketendang itu sakitnya gak bisa dibayangkan deh,” ujarnya. 

Lain lagi dengan atlet tenis meja perempuan, Gustin Dwijayanti yang juga menjadi dalam diskusi yang sama, meski tak sampai mengalami stigma atas mitos maskulinitas dari cabang olahraga, dia cukup berjasa membuktikan eksistensinya. 

Gustin pernah menjadi Juara 2 kategori ganda campuran senior, SEATTA, di Kamboja 2014 hingga juara 1 kategori Divisi 3 Kejuaraan Dunia, Liebherr World Table Tennis championships ITTF, di Halmstad Swedia pada tahun 2018. 

Atlet tim nasional Indonesia kejuaraan bergengsi Asian Games 2018, Jakarta-Palembang Indonesia ini, juga pernah berpengalaman menghadapi juara dunia tenis meja dari Tiongkok, Liu Shiwen dan Ding Ning.  

Perjuangan memboyong banyak prestasi itu, tentu saja tidak dilalui Gustin dengan semudah membalik telapak tangan. Dia sempat harus menjalani operasi usai cedera hingga berjuang menghadapi kesehatan mentalnya sebelum bertanding. 

“Waktu itu pertandingan open. Saya mau gak diberangkatkan, konsultasi ke dokter juga gak boleh. H-2 minggu saya pengen berangkat, dibantu psikolog, nangis-ngobrol-nangis-ngobrol setiap hari, tapi kemudian bisa berangkat,” ceritanya. 

Perjuangannya yang penuh kepayahan dan pantang menyerah itulah, yang kemudian mengantarkan Gustin bisa memenangkan pertandingan tunggal tenis meja perempuan kala itu. Kuncinya: tidak menyerah. 

Body Shaming Atlet Perempuan

Hal lain, yaitu perkara soal body shaming ataupun cara berpakaian memang sering dilekatkan pada atlet perempuan. Prestasi yang telah diraih pun, seolah tertiup angin alias lenyap kala seksisme dan objektifikasi terjadi hanya karena atletnya adalah seorang perempuan. 

Soal dugaan kasus body shaming atau pelecehan fisik misalnya saja terjadi pada atlet angkat besi yang baru saja membawa nama Indonesia tampil menjadi lima besar di Olimpiade Tokyo 2020, berinisial NA.  

Di sisi lain, aduan ke Komisi Penyiaran Pusat (KPI) pakaian atlet voli perempuan yang sempat ramai diperbincangkan pun, menjadi polemik tersendiri. Perempuan masih rentan jadi ‘sasaran tembak’ dari objektifikasi hingga misoginisme. 

Objektifikasi ini merujuk pada memperlakukan seseorang layaknya barang/objek tanpa mempertimbangkan harkat dan martabatnya. Sedangkan misoginisme lebih kepada prasangka buruk yang teramat pada kaum perempuan. 

Menyikapi itu, baik Karen, Sarah dan Gustin, mempunyai pendapat yang seragam: kepercayaan diri dan solidaritas perlu dibangun. 

“Ga banget sih (body shaming), aku juga ngerasain badan lumayan besar. Terus kayaknya kalau bully itu, aku mau ngomong, emang lo yang ngomong bisa apa?” ujar Sarah. 

Karen pun menambahkan, masih banyaknya masyarakat atau warganet yang hanya memandang atlet terlebih perempuan dari penampilan fisik itu, memang bisa bikin sakit hati. Termasuk, soal tuntutan berpakaian yang seolah harus diatur: itu sama sekali bukan sikap dewasa menurutnya. 

“Selagi membuat mereka (atlet) nyaman, kenapa harus dikomenin sih,” imbuh Karen. 

Soal cemoohan hingga stigma yang dilekatkan pada atlet perempuan, Gustin pun mengatakan bahwa kepercayaan diri, tanggung jawab dan komitmen menjadi penting dipegang. Selain tentunya, dukungan dan solidaritas sesame atlet. Ini seperti halnya yang dilakukan oleh Karen dan sesama pemain basket perempuan lainnya yang membuat aksi solidaritas agar ‘spotlight’ pertandingan bisa lebih adil. 

“Masuk olimpiade aja udah susah banget, orang ngomong gampang banget, kita kalah pun dihina, kalau menang aja baru dibangga-banggain. Makanya kitanya selalu support aja apapun kompetisi dan pertandingannya,” pungkas Gustin. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!