‘Kamu Harus Menuruti Semua Perintahku’: Hati-Hati Dengan Mantra Pelaku Toksik

"Kamu harus menuruti semua perintahku, jangan macam-macam ya, ini semua salah kamu!." Hati-hati, ini adalah magic word atau mantra yang selalu dikatakan pelaku relasi toksik.

Kalau kamu mendengar suara-suara yang seperti ini dari pasanganmu, hati-hati, kamu sedang berada dalam relasi toksik:

“Kamu pakai baju apa, sih? Itu dada kamu kelihatan, sengaja agar dilihat laki-laki lain, ya?” kata dia, si laki-laki posesif yang paling suka mengatur pakaian si perempuan.

Kalau kamu putusin aku, aku bakal ngelukain diri aku. Kamu tidak mau aku begitu, kan?,” kata dia.

Yang satunya lagi, si laki-laki yang paling jago memanipulasi pikiran si perempuan. “Ini semuanya salah kamu. Jangan berani macam-macam, ya! Mau aku cekek leher kamu lagi?!” kata dia, si laki-laki yang paling pandai memiting leher si perempuan.

Semua orang yang sedang menjalani hubungan pasti pernah mengalami gejolak naik- turunnya emosi. Satu hari bertengkar karena membahas menu makan malam yang berbeda selera. Satu hari lain digunakan untuk merenungi pertengkaran hari kemarin. Satu hari keesokannya lagi sebagai masa berbaikan dengan saling kompromi akan selera masing-masing.

Lalu dibuatlah solusi dengan menetapkan jadwal menu makan malam, agar tidak terjadi pertengkaran macam ini di masa mendatang. Namun, tidak semua orang seberuntung itu untuk berada dalam hubungan yang mau mengomunikasikan segala hal dalam dua arah. Tidak semua orang seberuntung itu memiliki partner yang mau memberi solusi terkait masalah yang dihadapi bersama. Malahan kadang ada juga partner yang suka kabur-kaburan, padahal masalah belum kelar.

Sebagian orang memang ada yang tidak seberuntung itu. Tidak beruntung karena lingkup hubungan mereka condong hanya bersifat satu arah, dengan salah satu pihak saja yang mendapatkan keuntungan sementara pihak lain dirugikan. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah toxic relationship atau relasi toksik

Merujuk pada tulisan Jamie Ducharme di majalah TIME Health, Dr Lillian Glass dalam bukunya yaitu Toxic People (1995) telah memberikan pengertian mengenai toxic relationship. Menurut Glass, toxic relationship dapat diartikan sebagai hubungan antarmanusia di mana mereka tidak saling mendukung, saling menyalahkan, terjadi persaingan tidak sehat, dan tidak menghargai satu sama lain.

Toxic relationship memang diibaratkan seperti lingkaran setan. Sekali terjebak bakal susah untuk keluar. Maju kena, mundur masih sayang. Lalu, kalau sudah begitu apa yang harus diperbuat?

Tipe para pelaku toksik

Seperti apa saja tipe para pelaku relasi toksik ini? macam-macam, ada yang posesif, jago manipulasi sampai melakukan kekerasan dengan berbagai bentuk:

Si dia posesif dan sangat mengaturmu

Malam itu, hati si perempuan yang tampil keren dengan kerudung warna merah muda dan cardigan bunga-bunga menutupi dada mencelos. Dia, si perempuan, tidak menyangka ujaran itu akan didapatnya dari lelaki yang sudah dua tahun belakangan menemani.

“Kamu pakai baju apa, sih? Itu dada kamu kelihatan, sengaja agar dilihat laki-laki lain, ya?” kata dia, si laki-laki posesif yang paling suka mengatur pakaian si perempuan.

Dia, si perempuan, selalu menuruti semua perkataan si lelaki yang kalau dipikir cuma bikin lelah hati. Dia, si perempuan, bahkan rela pergerakannya diawasi bak cctv. Lalu, dia kurang apa lagi? Semua kata sandi media sosial sudah ia serahkan. Kelonggaran ruang gerak untuk bermain dengan teman-teman juga sudah. Masa dia harus menyerahkan kebebasan berpakaiannya pula?

Terus, apa yang tersisa untuk dirinya sendiri kalau semua-muanya ia serahkan pada si lelaki? Say the magic word! “Aku ini pacar kamu, jadi aku berhak mengatur kamu dan melakukan apa saja yang aku mau. Kamu harus menurut.”

Lalu si perempuan akan tergugu. Termenung sembari membenarkan perkataan si lelaki. Dalam batin ia berdalih, pastilah si lelaki lebih tahu tentang apa yang terbaik buat dia ketimbang dirinya sendiri. Lambat laun karena terbiasa dimantrai, hilang sudah kepercayaan diri untuk beropini.

Jago manipulasi

Tengah hari, dengan seragam sekolah yang masih melekat di badan, si perempuan lagi-lagi mendengar frasa manipulatif itu. Bukan barang sekali dua kali si laki-laki mengancam akan mengakhiri hidup kalau permintaannya tak dituruti. Bukan barang sekali dua kali pula, si perempuan akhirnya mengalah dan ikut apa kata si laki-laki.

Mau bagaimana lagi, si perempuan takut bukan kepalang kalau sampai nyawa anak orang sungguhan melayang karenanya. Mau bagaimana lagi, si laki-laki terlalu mahir merangkai kata yang membuat si perempuan merasa selalu di posisi salah kaprah.

Say the magic word!

“Aku ini pacar kamu, jadi aku berhak mengatur kamu dan melakukan apa saja yang aku mau. Kamu harus menurut.”

Kemudian si perempuan akan mengangguk. Mengiakan seraya bergelut dengan rasa was-was di dada.

Dalam batin ia berdalih, pastilah si lelaki merasa kecewa karena kesalahannya, tapi si lelaki tetap bertahan hidup hanya untuknya. Ah, si lelaki cinta mati padanya, jadi tak apa walau sering di posisi tidak mengenakan, yang penting hubungan ini harus bertahan. Perlahan luluh hatinya karena terbiasa dimantrai, luluh lantah pula logika untuk mengkritisi.

Tukang Pemiting Leher

Larut malam, dengan mengenakan pakaian tidur santai, si perempuan bergidik ngeri diteriaki oleh si lelaki di depan rumah begitu.

“Ini semuanya salah kamu. Jangan berani macam-macam, ya! Mau aku cekek leher kamu lagi?!” kata dia, yang lainnya lagi, si laki-laki yang paling pandai memiting leher si perempuan.

Sebelumnya, sudah ada kunci motor yang teronggok di aspal. Hasil lemparan si lelaki yang tadinya menarget si perempuan tapi malah nyasar.

Sudah bukan barang baru kalau si lelaki hobinya main bentak dan marah-marah saat ada perkara. Meski suaranya memekakkan telinga dan menarik perhatian penghuni dalam rumah bahkan tetangga, si lelaki masih dengan percaya diri melanjutkan perhelatannya.

Tidak peduli mengganggu ketentaraman lingkungan rumah, si lelaki ingin unjuk diri kalau memang begitulah tabiatnya. Syukur kali ini hanya kunci dan kelingking kaki si perempuan yang jadi korban, bukan pipi atau leher seperti yang telah lalu.

Say the magic word!

“Aku ini pacar kamu, jadi aku berhak mengatur kamu dan melakukan apa saja yang aku mau. Kamu harus menurut.”

Pada akhirnya, si perempuan hanya bisa membeku. Memasrahkan dirinya jadi samsak sambil digerayangi rasa takut. Dalam batin ia berdalih, pastilah si lelaki tidak sengaja melakukannya, mungkin hanya reflek si lelaki karena dia terlalu bebal dibilangi. Pelan-pelan karena biasa dimantrai, pudarlah rasa berani dalam diri tergantikan oleh anxiety.

Berada dalam relasi toksik, kita harus cepat keluar dari situasi ini

Berada dalam toxic relationship tanpa disadari telah menimbulkan banyak dampak buruk baik secara psikis maupun fisik. Secara psikis sendiri dampak yang dapat dialami misalnya jadi mudah stress, merasa selalu lelah, kehilangan rasa percaya diri, dan sebagainya.

Sebenarnya ada banyak indikasi sebuah hubungan dikatakan tidak sehat, hanya saja beberapa orang kurang memperhatikan red flags tersebut. Beberapa orang juga tidak sadar bahwa susah menjadi diri sendiri saat bersama partner juga merupakan indikasi dari toxic relationship. Sesederhana digeluti perasaan tidak pernah cukup juga merupakan indikasi lainnya lagi.

Biasanya yang paling kentara sebagai tanda-tanda toxic relationship seperti kecemburuan berlebih, penyempitan ruang gerak dan pertemanan, serta selalu direndahkan dan tak pernah mendapat dukungan pun cenderung diabaikan. Padahal rasa abai tersebut, justru bisa menjadi pemantik timbulnya kekerasan.

Sumber kasus tersebut sebenarnya adalah muara dari adanya hubungan tidak sehat yang terjalin. Pemikiran seperti perempuan yang terjebak pada toxic relationship seperti, “Kamu itu tidak mengerti bagaimana posisiku, mending diam saja, deh!” atau, “Hubungan aku dan dia sudah lama terjalin, sayang sekali kalau harus putus di tengah jalan,” kerap kali kita dengar dari pihak si perempuan. Apakah perkataan barusan ada benarnya? Yes and no.

Yes, kita mungkin tidak mengerti bagaimana kalau berada di posisi perempuan. Tapi, apa hubungan tidak sehat dan posisi tidak mengenakan tersebut bisa diwajarkan? Tentu tidak.

Yes, hubungan yang telah lama terjalin memang sayang kalau berakhir di tengah jalan. Seperti kata orang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan tidak ada orang yang menginginkan perpisahan. Perpisahan memang menyedihkan, tapi perpisahan dengan si toxic pastilah menyenangkan. Jangan karena terjebak dalam ruang nostalgia semu, logika jadi kaku.

Mempertahankan hubungan itu memang harus, tapi jangan lupakan syaratnya juga, yaitu hubungan sehat yang memang pantas untuk dipertahankan.

Maka dari itu, untuk menangkis kutukan mantra dari si lelaki rapalkanlah mantra yang satu ini, “Kamu memang pacarku, tapi bukan berarti kamu berhak mengaturku. Aku punya kontrol atas diriku sendiri dan tidak harus menuruti kamu. Hubungan ini dijalani aku dan kamu, bukan kamu saja. Jadi, aku berhak bersuara juga.”

Mungkin memang ini hal yang sulit, tapi kalau tidak dilepas sekarang lantas kapan lagi? Jangan tunggu sampai jeratannya tambah kuat.

Girls, the freedom is yours! Be with someone who knows your worth. Jangan mau terkungkung dalam belenggu hubungan yang tidak membuat diri berkembang. Hidupmu adalah pilihanmu, bukan pilihan pasanganmu.

(Artikel ini merupakan pemenang Lomba Pacaran Toksik yang diselenggarakan Konde.co dalam rangka Kartini’d Day 2021)

Referensi:

Agnes, T., Dendi, V. and Bala, B.Y., Persepsi Generasi Milenial Terhadap Toxic RelationshipDari Pandangan Transactional Analysis.

Ducharme, Jamie. 2018. How To Tell If You’re In A Toxic Relationship And What To Do

About It. TIME Health. https://time.com/5274206/toxic-relationship-signs-help/ diakses pada 6, Maret 2021

Marchira, C., Amylia, Y. and Winarso, M.S., 2007. Hubungan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Tingkat Kecemasan pada Wanita. Berita Kedokteran Masyarakat, 23(3), p.119.

Kartika Elsa Pradita

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!