Memantau Akun Fake di Media Sosial Yang Mengancam Korban KBGO

Pelaku kekerasan berbasis gender online (KBGO) banyak membuat akun fake atas nama dan foto korban. Biasanya mereka mengancam akan menyebarkan ratusan foto dan video (nude) korban, jika korban macam-macam atau tidak menuruti keinginan pelaku.

Mona Ervita memiliki tugas baru beberapa bulan ini. Dia mesti rutin mengecek postingan akun instagram atas nama korban dampingan Kekerasan berbasis Gender Online (KBGO). 

Memantau, kalau-kalau akun instagram palsu (fake) buatan pelaku menyebarkan konten pribadi korban. 

Hadir sebagai pendamping dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), Mona Ervita sejak awal tahun 2021 lalu tengah menangani salah satu kasus KBGO yang membuatnya cukup pontang-panting. Proses pendampingan korban sampai ranah hukum mesti berkejaran waktu dengan ancaman pelaku yang dilakukan secara digital. 

Pelaku yang membuat akun fake atas nama dan foto korban itu, mengancam akan menyebarkan ratusan foto dan video (nude) korban, jika korban macam-macam atau tidak menuruti keinginan pelaku. 

“Dilema juga, belum di report (akun IG), pernah ditakedown bareng-bareng, tapi pelaku buat lagi, takedown bareng, dihapus akun, pelaku marah,” ujar Mona saat berbincang dengan Konde.co, Senin (7/3/2021).

Pelaku yang tidak diketahui identitasnya (anonim) itu pun, sempat menghubungi beberapa kawan terdekat korban dan melakukan ancaman untuk menyebarkan konten intim korban. Kondisi ini, yang membuat korban semakin terguncang secara mental. Rasa malu dan takut membayang-bayangi korban, apalagi jika sampai diketahui oleh pihak keluarga. 

Mona bercerita, kejadian KBGO yang menimpa korban telah terjadi sekitar setahun lalu. Sekitar enam bulan pada Januari 2021 lalu, korban akhirnya mempunyai keberanian melapor ke lembaga pendampingan KAKG. 

Selama enam bulan pertama sebelum mengadu, korban mengaku telah mengalami eksploitasi seksual secara digital yaitu dipaksa mengirimkan foto-foto hingga video intim kepada pelaku anonim yang disertai ancaman-ancaman. Korban yang ketakutan pun mau tak mau menuruti kemauan pelaku. 

Semua itu bermula, ketika pelaku KBGO memanfaatkan konten pribadi korban yang tersimpan di handphone (HP) mantan pacar korban yang diketahui sempat hilang. Pelaku lantas bisa mendapatkan nomor korban, akun sosial medianya hingga informasi sosmed teman korban.  

“Ketika ketemu sama seseorang ini (pelaku KBGO anonim), eh banyak nih nemu foto korban (nude). Jadi dia memanfaatkan korban dengan foto-foto di HP mantan pacarnya. Gak tau pelakunya siapa,” jelas pengacara publik itu.  

Jalan terjal pendampingan kasus KBGO yang dialami Mona belum sampai di situ. Selain bersandingan dengan rasa traumatis korban, Mona juga mesti memperjuangkan kasus KBGO ini bisa tertangani dengan baik di ranah hukum. 

Dia tak menampik, masih ada banyak hambatan yang menjadi penghalang untuknya sebagai pendamping hukum dan korban dalam memperoleh keadilan. Masalahnya kompleks yaitu soal substansi UU hingga budaya penegakan hukum.

Mona yang juga pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers itu bilang, secara substansi penegakan hukum untuk KBGO masih tersandung oleh potensi ancaman UU ITE hingga UU lain seperti UU Pornografi yang bisa jadi ‘bumerang’ bagi korban.    

“Bisa ngelaporin (balik) kasus KBGO menyebarkan konten seksual,” kata dia. 

Di sisi lain, sistem peradilan dalam lembaga penegak hukum bagi Mona juga masih menjadi tantangan. Masih belum banyak penegak hukum yang menurutnya memiliki perspektif gender yang baik. 

“Penyidiknya nanya, kenapa baru cerita sekarang? Kenapa kamu mau ngirim foto itu? Malah nyeramahin. Akhirnya gue bilang, korban butuh waktu karena adanya tekanan psikis dan rasa malu. Untuk cerita ke kita aja susah, apalagi untuk diproses hukum,” celetuk Mona dengan ekspresi sedikit kesal. 

Berdasarkan pengalamannya mendampingi kasus KBGO, sarana pelayanan hukum juga masih terbatas. Terlebih jika berada di luar Jakarta atau Jawa. Seperti, fasilitas ruang pemeriksaan yang terbuka, korban yang dimintai keterangan bukan oleh penyidik perempuan, hingga minimnya alat digital forensik. 

“Di daerah gak ada namanya digital forensik untuk mengetahui akun-akun pelaku yang menyebarkan konten-konten. Di kepolisiannya di daerah belum ada yang se-keren Jakarta,” sesal Mona yang kala itu mendampingi kasus KBGO korban di wilayah Palembang, Sumatera Selatan. 

KBGO Kian Mengintai

Pendamping korban kekerasan seksual dari LBH Apik Jakarta, Tuani Sondang Marpaung mengungkap selama masa pandemi ini terjadi peningkatan signifikan terhadap kasus KBGO. Data LBH Apik Jakarta berdasarkan hotline pengaduan terjadi peningkatan kasus tertinggi per 2 November 2020- 25 Juni 2021. 

KBGO menempati posisi kedua tertinggi kasus kekerasan yang ditangani oleh LBH Apik yaitu sebanyak 133 kasus. Di bawah KDRT dengan 143 kasus dan di atas Kekerasan dalam Pacaran (KDP) sebanyak 37 kasus. 

“Selama WFH (bekerja dari rumah), Kasus KBGO masuk dalam 5 kasus besar. Padahal sebelumnya, paling hanya sebanyak puluhan atau belasan, namun sekarang masuk ke peringkat kedua terbesar,” ujar Tuani dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bertajuk Mengenali dan Melawan KBGO secara daring, Selasa (3/8/2021). 

Tuani menjelaskan berbagai modus dalam KBGO seperti adanya manipulasi relasi dengan korban, eksploitasi seksual dengan diminta berhubungan seksual jika korban menolak foto atau video intim akan disebar kepada orang terdekat korban maupun masyarakat, hingga adanya pemerasan yang memaksa korban mengirimkan uang kepada pelaku.

“Ada pula cyber crime, antara lain meliputi kekerasan seksual online dan offline dengan berbagai modus,” kata dia. 

Serupa dengan Mona, pendampingan korban KBGO selama ini juga berada pada ‘jalur terjal’ sebab masih banyak tantangan. Di antaranya, hambatan dari minimnya alat bukti dengan pola kasus KBGO yang terbilang rumit. Selain itu, tim ahli juga masih terbatas yang bisa menangani spesifik pada KBGO dan UU ITE.  Belum lagi, forensik digital yang masih terbatas karena hanya ada di Polda Metro Jaya, korban yang mengalami ketakutan dan pelaku tidak dikenal hingga sidang kasus KBGO yang masih dilakukan tidak berperspektif korban. 

“Sidang kasus KBGO dilakukan secara terbuka, padahal, pasal dikenakan Pasal Kesusilaan,” katanya. 

Mencegah ‘Lingkaran Setan’ KBGO

Kepala Subdivisi Digital At Risks SAFEnet, Ellen Kusuma merekomendasikan agar masyarakat perlu memahami dalam perlindungan data agar KBGO bisa diminimalisir. Dia menyebutnya, manajemen tubuh digital fisik dan non-fisik. 

“Perangkat keras yang kita gunakan seperti laptop, HP, flashdisk yang memuat data pribadi di dalamnya itu penting diamankan, lalu non-fisik katak akun digital seperti email, akun sosmed, hingga cloud storage,” ujar Ellen di kesempatan sama. 

Guna melakukan pengamanan digital itu, dia menyarankan untuk rutin dalam melakukan pencegahan mengumbar data pribadi sensitif, melakukan cek dan hapus jejak digital di masa lalu, menyesuaikan pengaturan keamanan dan privasi dari tiap akun digital, mengaktifkan autentikasi 2 faktor, memastikan ada enkripsi hingga mengganti password yang kuat dan berbeda tiap akun. 

Sementara itu, bagi korban yang mengalami KBGO, Ellen juga menekankan agar melakukan berbagai upaya. Seperti, menyimpan barang bukti baik screenshot maupun copy URL, pemetaan risiko sampai mengecek prioritas kebutuhan dan keamanan.

“Susun kronologi bisa lihat contohnya di s.d/contohkronologi, laporkan ke platform digital hingga lapor ke polisi (dengan pendampingan),” kata Ellen. 

Di ranah media dan jurnalis, Widia Primastika dari Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Indonesia juga menyampaikan bahwa KBGO bisa juga terjadi. Seperti pada riset Kekerasan Seksual AJI Jakarta 2020, Tika menyebut adanya jurnalis yang mendapatkan KBGO berupa sexting tanpa persetujuan (consent) dari teman sesama jurnalis ataupun narasumber. 

Namun di sisi lain, jurnalis serta medianya menurutnya juga bisa berpotensi menjadi pelaku KBGO akibat pemberitaan yang tidak ramah gender. Dia mencontohkan pada pemberitaan seksis atlet olahraga yang baru-baru ini viral oleh pemberitaan salah satu media online nasional.  

“Jangan sungkan dan takut untuk melaporkan Dewan Pers,” kata Widia Primastika. 

Menyoal itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya, mengaku saat ini pihaknya tengah membuat beberapa usulan terkait pencegahan pemberitaan yang tidak ramah gender hingga berpotensi KBGO. 

Di antaranya, meramu konsep proses pengaduan dan penegakan etika pers, utamanya di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, agar ada jalur khusus bagi pengaduan bagi kaum perempuan dan rentan dalam KBGO. Dewan Pers katanya juga sedang mempelajari pandangan perlunya pedoman bagi KBGO khususnya penafsiran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 4 butir (d).

“DP mempertajam bahan-bahan pelatihan uji kompetensi wartawan soal kewajiban pers mencegah penyebaran dan pendistribusian gambar dan berita dan mengawal berlangsungnya RUU perlindungan data pribadi,” pungkasnya. 

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!