Merayakan Feminisme: Meluruskan Pandangan Yang Salah Tentang Feminisme

Ada sejumlah miskonsepsi atau pandangan yang salah kaprah tentang feminisme. Feminisme dianggap anti laki-laki, anti agama, melawan kodrat, menolak pernikahan. Persepsi ini tersebar dan masih terjadi. Inilah pentingnya meluruskan pandangan yang salah tentang feminisme

Banyak orang merefleksikan kemerdekaan dengan kebebasan, salah satunya perempuan. Kalyanamitra bersama Konde.co melakukan refleksi terhadap perjuangan perempuan dalam gerakan feminisme sehari jelang hari kemerdekaan Indonesia, 16 Agustus 2021 kemarin

Listyowati, Direktur Kalyanamitra menyatakan ada sejumlah kesalahan atau persepsi salah kaprah tentang feminisme selama ini. Feminisme dianggap anti laki-laki, anti agama, melawan kodrat, menolak menikah dan menolak punya anak. Persepsi ini tersebar dan sampai sekarang masih banyak terjadi.

Di zaman sekarang pun, orang masih dicekoki kata-kata: feminisme itu paham dari barat, sedangkan kita ada di Indonesia, seharusnya menggunakan paham dari timur.

Persepsi salah ini membuat sejumlah orang kemudian menjadi anti pada feminisme. Beberapa yang belum tahu juga menelan mentah-mentah persepsi ini.

Padahal feminisme sejatinya adalah sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik. Feminisme memperjuangkan keadilan, bukan ideologi yang menebar kebencian pada laki-laki, anti perkawinan atau paham barat. Perjuangan feminisme berasal dari lingkungan kita sehari-hari, oleh orang atau masyarakat yang melihat ketidakadilan terhadap perempuan.

Kami merangkum hasil diskusi dari 3 narasumber dalam merefleksikan soal feminisme:

Kalis Mardiasih: kampanye feminisme di media sosial adalah jihad intelektual

Di Indonesia, kampanye soal feminisme di media sosial dalam waktu 10 tahun ini berkembang pesat. Kampanye feminisme yang dilakukan para feminis muda melalui media sosial menambah maraknya sebaran informasi dan pengetahuan soal feminisme.

Perjuangan untuk stop kekerasan berbasis gender online juga menambah kuatnya gerakan feminisme di internet yang dulu belum dilakukan, dan bahkan saat ini dicatatkan sebagai gerakan feminisme gelombang keempat. Keprihatinan atas situasi dunia juga mendapatkan respon cepat dalam kondisi ini.

Penulis dan aktivis media sosial, Kalis Mardiasih berefleksi dalam diskusi, bagaimana feminisme kemudian mempengaruhi hidupnya.

Kalis bercerita, dulu ia pernah mengalami masa dimana menerima saja konsep-konsep yang masih bias yang lazim terjadi di masyarakat dan belum punya pertanyaan apa-apa soal ini. Namun lambat laun, perubahanpun terjadi. Ada beberapa peristiwa, bacaan yang membuatnya berubah

“Saya orang desa yang sekolah ke kota, selayaknya orang yang lain.”

Kalis kemudian mulai membaca buku-buku soal feminis Timur Tengah, seperti tulisan Fatima Mernissi, Nawal Saadawi, yang begitu mengguncang pemikirannya. Buat Kalis,  Fatima dan Nawal adalah 2  perempuan yang berani melakukan sesuatu yang berbeda, bisa nakal dan bisa memilih jalan hidup yang lain.

“Dari situ saya berpikir bahwa asyik juga ya, ini perempuan-perempuan ini, bisa nakal dan bisa berpikir berbeda. Ini yang kemudian membuat saya belajar soal penindasan terhadap perempuan. Dari situ ada kesadaran tentang dunia yang lain yang bisa melawan. Kemudian saya berpikir, oh, ada ya, dunia yang seperti ini ya, dan ada ya, perempuan yang boleh berpikir berbeda dan melawan di dunia ini.”

Nawal El Saadawi adalah seorang penulis, feminis, dokter dan psikiater asal Mesir. Nawal selalu menulis novelnya dengan sangat tajam dan mengajak pembaca untuk kritis tentang pergulatan perempuan.  Ia juga dikenal sebagai pejuang yang melawan praktik mutilasi kelamin perempuan, sesuatu yang sulit diperjuangkan di masa itu di Mesir dan Arab.Karya-karya Nawal sangat memukau dan menyadarkan banyak orang bahwa ada kekejaman yang terjadi pada banyak perempuan di dunia ini.

Beberapa buku lain yang merupakan tulisan Nawal antaralain “Perempuan dalam Budaya Patriarki”, lalu “Catatan dari Penjara Perempuan”, “Memoar seorang Dokter Perempuan”, “ Matinya Seorang Laki-laki”, “Tak Ada Kebahagiaan Baginya,” dan beberapa novelnya yang lain. Hingga akhir hidupnya, Nawal disebut sebagai feminis yang berani dan berbahaya di Mesir dan Arab

Novel-novel yang ditulis Nawal Saadawi inilah yang mengubah pemikiran Kalis. Kalis kemudian bergabung dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

“Saat itulah saya mulai menunjukkan bahwa saya boleh berubah, boleh berpikir berbeda, dalam konteks berkeluarga dan berpasangan, ternyata ini boleh dipertanyakan dan ternyata ada ilmunya. Dan ada banyak yang memperjuangkan ini dan berjejaring sosial dengan cara global. Saya melihat banyak sekali perempuan memperjuangkannya.”

Kalis Mardiasih kemudian merasa bahwa ia tak sendiri dan merasa ada banyak sekali perempuan yang menjadi pendahulu dan sudah memperjuangkan para perempuan lain

“Dari sini saya belajar tentang kalau penindasan itu bisa kita lawan, ada banyak pemikir perempuan, teman-teman perempuan dan kitab yang kita boleh berpikir berbeda dan saya punya banyak kawan untuk itu.”

Perubahan inilah yang menjadikannya percaya diri, karena ia pernah merasa tak bisa memenuhi tuntutan atau persyaratan lingkungannya seperti beauty standar yang selama ini diyakini masyarakat

“Saya kan miskin, perempuan, tidak cantik, aku marjinal, aku subordinat, ibuku beban ganda, lama-lama saya jadi berpikir, oke, aku akan jadi martir dalam hidupku ini. Saya kemudian melakukan kerja-kerja melalui akun feminisme di media sosial seperti jihad intelektual, akun saya kemudian menjadi jangkar yang selama ini tidak bisa terjangkau oleh organisasi feminis yang geraknya terbatas. Banyak ibu rumah tangga yang menulis soal lterasi media yang sulit dipahami. Ada yang terkena infeksi saluran kencing, menjaga kehormatan keluarga dan merembet ke organ yang lain. Saya merasa mempunyai banyak teman di luar sana yang merasa saya kawani ketika saya melakukan sesuatu di media sosial.”

Marina Nasution: feminisme di media sudah diperjuangkan sejak masa kolonial

Lalu bagaimana kondisi perempuan dan perjuangan feminisme di media? Para perempuan Indonesia sudah lama memperjuangkan feminisme, ini bisa kita telusuri dari naskah-naskah, buku, artikel yang ditulis oleh Kartini, SK Trimurti, juga perjuangan masyarakat yang tertindas sejak masa kolonial hingga sekarang.

Hal ini juga bisa dilihat dari media perempuan yang lahir di masa kolonial seperti Poetri Hindia, Soenting Melayu, 8 media perempuan di Medan, dll

Marina Nasution, managing editor Konde.co melihat, isu feminisme justru telah banyak dituliskan di masa kolonial, lalu hilang di masa orde baru

Di masa orde baru, media misalnya malah menguatkan tulisan-tulisan soal beauty standar, media juga sering sekali sekali salah kaprah dalam menuliskan soal gerakan feminis. Salah satunya soal Suara Ibu Peduli (SIP) yang ‘hanya’ dianggap sebagai perkumpulan ibu-ibu, padahal dalam SIP tersembunyi perjuangan dan perlawanan dari para perempuan dan ibu

“Di Medan, koran-koran perempuan di masa kolonial, ada 8 media perempuan yang mengajak orang untuk mengakses pendidikan. Namun justru di masa orde baru dan reformasi, belum terjadi perubahan sigifikan pada isu perempuan di media.”

Salah satu feminis, Ita F. Nadia yang hadir dalam diskusi menyatakan bahwa isu feminisme banyak dituliskan dalam penerbitan media di masa dulu.

“Perempuan di tahun 1950,1960,1970 itu luar biasa sekali dan banyak sekali pejuang perempuan yang tidak ditulis namanya.”

Di masa orde baru hingga sekarang, Marina belum melihat perubahan yang signifikan. Riset Konde.co terhadap isi pemberitaan isu kekerasan seksual di media online nasional di tahun 2020 misalnya menyebutkan, bahwa media belum konsisten dalam menyajikan pemberitaan tentang kekerasan seksual yang berperspektif keadilan bagi korban.

Temuan ini juga membuktikan bahwa jika ada peristiwa yang dikawal publik seperti melalui media sosial dan lembaga-lembaga yang mengadvokasi isu kekerasan seksual seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka berita akan menuliskan secara positif (walau jumlahnya hanya minim dan baru sebatas berita hard news dan normatif). Namun jika tidak dikawal publik seperti isu kekerasan seksual pada umumnya, maka media masih melakukan kekerasan dan sensasionalisme pada perempuan korban kekerasan seksual. Ini seperti dituliskan dalam kalimat-kalimat di media seperti “ disetubuhi”, “pelaku punya ilmu hitam”, “dicabuli”, “digilir”, dll 

Myra Diarsi: feminisme adalah ruang perjuangan dan kegembiraan

Myra Diarsi, feminis yang lahir di tahun 1960, melihat feminisme merupakan kawah candradimuka. Myra Diarsi pernah menjadi salah satu pendiri Kalyanamitra yang merupakan salah satu organisasi perempuan pertama di Indonesia. Lalu Myra Diarsi menjadi komisioner Komnas Perempuan di masa reformasi

Myra telah banyak mengalami dan bertemu banyak orang yang salah mempersepsikan soal feminisme dan menolak feminisme

“Saya adalah feminis, feminisme adalah ruang gembira, yang salah itu adalah orang yang tidak bisa atau salah mempersepsikan soal feminisme. Mereka merasa gatal dengan apa yang diperjuangkan para feminis yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.”

Padahal Myra menyatakan, titik kesalahannya justru pada rezim yang menjual sensasi ketidaksetaraan, menjadikan perempuan sebagai obyek fantasi dan ini berjalan secara sistematis

Maka Myra Diarsi menyatakan, segala penolakan terhadap feminisme harus dilihat bahwa gerakan feminisme ternyata mendapatkan tempat, karena orang-orang yang tidak setuju dengan keadilan dan kesetaraan melakukan perlawanan.

“Jadi memperjuangkan feminisme harus dilihat sebagai ruang perjuangan yang gembira, kita boleh berpikir berbeda dan menjadikan ini bagian dari perjuangan.”

Acara diskusi ini diakhiri dengan launching video “Misconceptions and Facts About Feminism” yang diproduksi Kalyanamitra, Konde.co bersama Voice dan The Women’s Legal&Human Rights Bureau/ WLB Philippines

(Foto/ ilustrasi: Canva)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!