Menikah Jadi Hambatan: Dunia Musik Belum Memperhitungkan Perempuan

Menikah menjadi hambatan perempuan dalam bermusik. Penyebabnya karena dunia musik belum memperhitungkan perempuan

Peran perempuan dalam ekosistem musik seperti menjadi manajer, direktur, atau pengarah musik ternyata masih minim. Selain itu, pernikahan yang dilakukan perempuan pemusik masih menghambat mereka dalam karir bermusik.

Hal lain yang menghantui perempuan adalah adanya pelecehan seksual di musik. Hal ini merupakan salah satu temuan dari kajian yang dilakukan Koalisi Seni yang melaunching sebuah riset tentang kondisi ekosistem seni di Indonesia pada 23 Agustus 2021.

Faktor lain yang menjadi penghambat perempuan di dunia musik adalah ketimpangan jumlah dan peran pelaku perempuan dan laki-laki di dalam ekosistem musik.

Penelitian ini menemukan bahwa beberapa pelaku perempuan, cenderung berhenti berkecimpung di dunia musik setelah menikah dan memiliki anak. Perempuan dianggap mampu melanjutkan karier di musik setelah menikah jika hal itu dapat menjamin pendapatan yang rutin.

Selain itu, posisi perempuan dalam musik pun rentan terhadap pelecehan seksual, terutama bagi mereka yang baru merintis karier, yang bekerja sebagai penyanyi di malam hari, dan yang harus melakukan tur ke luar kota

Penciptaan ruang aman, akses, dan program yang berpihak pada perempuan adalah mutlak harus diberikan kepada perempuan pemusik. Ekosistem seni akan diuntungkan ketika pelaku-pelakunya berhasil menciptakan ruang aman untuk perempuan, mempermudah akses bagi perempuan untuk masuk ke dalam ekosistem seni, dan mendukung keanekaragaman gender lewat program yang berpihak.

Hal lain yaitu meningkatkan inklusivitas sebuah ekosistem, akan berpengaruh positif terhadap jumlah dan keberagaman ide, produk, dan peran yang muncul di ekosistem tersebut. Orang-orang yang terlibat di ruang sosial, salah satunya seperti “tongkrongan” pada konteks keseharian masyarakat Indonesia, dapat melahirkan pelaku-pelaku baru di dalam ekosistem. Meski begitu, mereka yang berada di sana perlu juga memeriksa ruang tersebut dan mendorong terciptanya ruang yang aman bagi perempuan untuk bisa hadir dan terlibat.

Kehadiran perempuan perlu dilihat bukan semata karena adanya pasangan atau anggota keluarganya yang lelaki, melainkan karena perempuan itu sendiri adalah bagian dari pelaku yang perlu dilihat secara setara.

Selain menjadi ruang aman bagi perempuan, ruang sosial tersebut juga perlu dibangun agar menjadi ruang yang egaliter dan ramah sekaligus mampu mendorong keterlibatan perempuan dengan beragam latar mereka, baik itu yang lajang maupun telah berkeluarga, dalam proses pengambilan keputusan di dalam ekosistem seni.

Koalisi Seni merekomendasikan adanya ruang dan program yang lebih berpihak kepada perempuan. Sehingga, lebih banyak perempuan, apapun latar belakang dan status pernikahannya, terlibat dalam proses pengambilan keputusan di dalam ekosistem seni.

Riset praktek pendanaan

Riset ini sebenarnya merupakan bagian dari riset tentang praktek pendanaan dalam ekosistem seni. Riset merupakan salah satu upaya Koalisi Seni dalam memotret pendanaan yang dihubungkan dengan keadaan ekosistem seni di Indonesia berdasar perspektif pelaku seni dan data empiris. Riset dilakukan terhadap ekosistem musik di Kota Bogor dan Kota Makassar pada tahun 2019-2020 dengan periset antaralain Harits Paramasatya, Ratri Ninditya, Andana Kusuma, Zulkhair Burhan

“Dari penelitian di kedua kota itu, ada pendanaan dari swadaya, swasta, dan pemerintah. Peran dan praktik tiga pendanaan itu berbeda-beda,” ujar Harits Paramasatya, Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, pada 23 Agustus 2021.

Hasil riset menemukan, dalam ekosistem musik diperlukan pendanaan yang lebih beragam. Sebab, praktik pendanaan kini belum cukup mendukung ekosistem seni, termasuk ekosistem musik.

Ekosistem seni merupakan istilah yang sering sekali muncul di berbagai diskursus mengenai seni budaya Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini dipinjam dari ilmu biologi guna menggambarkan kait kelindan peran para pemangku kepentingan sektor seni dalam mempengaruhi satu sama lain, yang pada akhirnya menentukan kondisi umum dari kehidupan seni di suatu wilayah, sebagaimana interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Dalam berbagai kerja advokasinya, Koalisi Seni menggunakan istilah ekosistem seni untuk meyakinkan seluruh pemangku kepentingan bahwa kemajuan seni tidak hanya berada di pundak para pegiat seni. Perlu gerak bersama seniman, negara, pelaku usaha, lembaga pendidikan, masyarakat, hingga gerakan masyarakat sipil agar seni di Indonesia bisa semakin berkembang.

Hanya saja, di Indonesia istilah ekosistem seni tersebut masih ditafsirkan secara lepas. Belum terdapat upaya mengkaji secara komprehensif apa yang dimaksud dengan ekosistem seni secara utuh

Kajian tersebut menemukan sebagian narasumber memulai karir musiknya secara swadaya, dan sebagian besar acara musik sebelum pandemi pun mereka biayai sendiri. Perusahaan swasta selama ini berperan membiayai acara musik berskala besar. Sedangkan kafe, restoran, dan bar jadi tempat munculnya pelaku musik baru.

Adapun dana publik hadir hanya secara terbatas, terutama melalui institusi pendidikan negeri. Pada 2019-2020, acara musik yang dibiayai pemerintah cuma 7,6% di Bogor dan 10% di Makassar. Jumlah acara musik terdata pada periode ini ialah 105 pada 2019 dan 52 pada 2020 di Bogor, serta 95 pada 2019 dan 35 pada 2020 di Makassar.

“Begitu pandemi datang, dana swadaya dan swasta berkurang. Untuk menjaga kesehatan ekosistem, perlu ada diversifikasi praktik pendanaan, terutama dana dari pemerintah. Misal, Dana Perwalian Kebudayaan yang telah dianggarkan sebesar Rp.2 triliun tahun ini. Kalau badan pengelolanya segera dibentuk dan dana disalurkan dengan tepat, ekosistem seni akan sangat terbantu,” tutur Ratri Ninditya, Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni

Selain itu, perlu ada upaya meningkatkan daya tawar pegiat musik terhadap pemodal swasta. Ini bisa dilakukan melalui kebijakan kerja sama yang lebih pro-musisi dan peningkatan kapasitas bisnis para pelaku musik.

Kota Bogor dan Kota Makassar tidak memiliki ruang publik yang secara khusus didedikasikan untuk penyelenggaraan pertunjukkan musik, terutama di dalam ruangan (indoor). Kalaupun ada, akses tersebut berhadapan dengan perizinan yang sulit atau kondisi ruangan yang tidak memadai. Seperti yang telah ditunjukkan pada data acara musik di Kota Bogor, ekosistem musik di Kota Hujan itu bergantung pada ruang-ruang milik swasta untuk penyelenggaraan acara musik di dalam ruangan.

Kota Bogor juga memiliki perizinan yang berbelit untuk penyelenggaraan acara musik di taman kota. Sedangkan di Kota Makassar, gedung-gedung pertunjukkan milik publik berada dalam kondisi buruk atau perizinan yang tidak jelas untuk pemanfaatan atau pemakaian gedung. Itu mengakibatkan sulitnya penyelenggaraan acara musik di dalam ruangan di kedua kota tersebut.

Penelitian kemudian merekomendasikan adanya diversifikasi pendanaan. Pelaku ekosistem musik dihimbau melakukan diversifikasi pendanaan karena masing-masing jenis pendanaan memiliki fungsi yang berbeda dalam mendorong perpindahan peran, ide, produk, dan uang.

Walaupun pendanaan secara swadaya itu mandiri dan bebas dari berbagai tuntutan pemodal swasta atau publik, keberlanjutan pendanaan swadaya masih sulit menandingi pendanaan lainnya, baik itu swasta maupun publik, dalam hal keberlanjutan jumlah uang. Kedua, peningkatan daya tawar terhadap pemodal swasta.

Pendanaan swasta bisa mengisi ruang-ruang kosong yang tidak mampu diisi oleh pendanaan secara swadaya ketika pendanaan oleh publik, masih minim. Inisiatif pengembangan ekosistem yang dibiayai lewat pendanaan oleh swasta, dapat diputar dengan konsep bisnis yang inovatif. Misalnya, dengan menyisihkan dana yang didapat dari perusahaan tertentu, pelaku dapat memanfaatkannya sebagai modal pendirian toko merchandise, label rekaman, kursus musik, dan sebagainya.

Selain tantangan pendanaan dan pandemi, ekosistem musik di kedua kota terhambat pula oleh kurangnya akses ke ruang publik, ketimpangan jumlah dan peran pelaku perempuan, serta efek samping sejumlah peraturan daerah. Sementara itu, faktor pendorong ekosistem musik berupa lingkungan sekitar pegiatnya, keberadaan institusi pendidikan formal, serta posisi Bogor sebagai kota satelit Jakarta dan Makassar sebagai ibu kota provinsi dan “gerbang” Indonesia Timur.

Bagi tiap kota lokasi riset, Koalisi Seni juga memberikan sejumlah rekomendasi. Untuk Bogor, perlu ada lebih banyak dialog antar pemangku kepentingan, penyederhanaan mekanisme perizinan penggunaan ruang publik, pembangunan infrastruktur musik berdasar kebutuhan pelaku musik, serta pemberian insentif bagi pendonor swasta. Bagi Makassar, perlu ada program pemulihan ekosistem seni pasca-pandemi di tingkat kota, peningkatan fungsi dewan kesenian, dan revitalisasi gedung pertunjukan.

Rekomendasi terhadap Kota Bogor berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, secara khusus, harus ada dialog antar-pemangku kepentingan yang diperbanyak. Dialog tentang pemajuan seni yang lebih holistik dengan Pemerintah Kota Bogor, perlu dimulai untuk menciptakan rencana pembangunan seni yang relevan dengan ekosistem musik.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Bogor belum menjadikan seni musik, terutama seni musik modern dan kontemporer, sebagai fokus pembangunan seni. Padahal, Kota Bogor memiliki beberapa organisasi pelaku seni, salah satunya Rembug Kreatif Bogor.

Mobilisasi organisasi-organisasi pelaku seni itu dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas ekosistem musik di Kota Bogor dan menjadi wadah penyampaian aspirasi ke pembuat kebijakan. Kedua, penyederhanaan mekanisme perizinan terhadap ruang publik.

Advokasi terhadap penyederhanaan mekanisme perizinan penyelenggaraan acara di ruang-ruang publik Kota Bogor, terutama taman kota, perlu dilakukan. Agenda revitalisasi taman kota yang merupakan agenda unggulan dari Walikota Bima Arya, seharusnya dapat dilakukan dengan disertai oleh reformasi kebijakan untuk penggunaan taman oleh masyarakat.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!