TikTok: Ruang Baru Ekspresi Identitas Keberagaman Gen Z Indonesia

TikTok menjadi platform baru yang disukai anak muda karena rekomendasi algoritmenya di halaman ‘For You’ menampilkan konten yang lebih beragam ketimbang platform lain

Minggu lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo kembali menjadi pembicaraan publik – termasuk di media sosial – karena pilihan pakaian adat yang ia kenakan dalam puncak perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Dalam berbagai peringatan nasional, jamak memang keragaman budaya lokal Indonesia ditampilkan lewat deretan penggunaan pakaian, lagu, dan atribut kedaerahan.

Perayaan nasional dan berbagai acara terkait memiliki fungsi tersendiri. Namun, keberhasilan Indonesia untuk membangun rasa kebangsaan yang kuat akan sangat bergantung pada bagaimana warga negara mengekspresikan, merayakan, dan menegosiasikan identitas-identitas lokal dalam ruang-ruang yang aman dalam kehidupan sehari-hari, tanpa prasangka.

Di manakah dan bagaimanakah proses ini terjadi pada Generasi Z, generasi yang saat ini berusia 8-23 tahun yang akan menjadi penerus bangsa?

Kami mengamati narasi mengenai identitas kedaerahan yang muncul sebagai konten di TikTok. TikTok adalah sebuah platform media sosial yang bertumpu pada format video pendek yang terus-menerus berganti; sebagian besar pengguna TikTok adalah anak muda.

Kami menemukan bahwa platform media sosial ini menyediakan ruang untuk mengekspresikan identitas lokal dan kedaerahan anak muda Indonesia.

Bentuk negosiasi identitas keindonesiaan

Rezim Orde Baru kerap menghalangi ekspresi-ekspresi kedaerahan karena dikhawatirkan akan mengurangi kekuatan identitas keindonesiaan. Ketika itu, rezim menganggap identitas keindonesiaan harus dibentuk dari elemen-elemen terbaik atau puncak-puncak budaya-budaya daerah.

Akibatnya kedaerahan tidak diekspresikan apa adanya, tapi melalui batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemerintah. Seringkali kebudayaan daerah yang tersisa untuk ditampilkan hanya lagu, tarian, dan baju daerah.

Namun media sosial dengan kebebasan dan kelenturannya kini membawa perubahan pada ekspresi-ekspresi kedaerahan ini.

Kami mengamati konten-konten di TikTok, salah satu platform media sosial paling baru. Kami terutama mengamati konten yang menggunakan tagar nama daerah, seperti #jawapride, #kalimantanpride, #papuapride, #sumaterapride, dan #sulawesipride sejak 1 Juni-8 Agustus 2021.

Selain itu, ada juga tagar-tagar dengan nama suku seperti #minangpride, #batakpride, ataupun #bugispride.

Dalam observasi kami terhadap video teratas yang menggunakan tagar-tagar tersebut, memang tidak semua video berkaitan langsung dengan identitas kedaerahan.

Pada tagar #kalimantanpride, misalnya, video teratas banyak terkait tentang video game. Sementara video teratas di #papuaparide banyak berupa video yang menggunakan lagu asal Papua, meski pesannya tidak berhubungan langsung dengan identitas.

Secara umum, kami mengamati setidaknya empat narasi dalam konten-konten semacam ini,

Pertama, narasi untuk melawan stereotip negatif yang berkaitan dengan suku atau daerah pembuat konten.

Sebagai contoh adalah unggahan dengan tagar #papuanpride dari akun @unaneseraif, sprinter peraih medali emas di SEA Games 2011.

Dalam video TikTok yang disukai 9.494 pengguna tersebut, ia menyampaikan pesan bahwa anak Papua tidak ada yang bodoh.

Di video yang sama, dia juga memamerkan prestasinya sebagai atlet.

Kedua, narasi yang menunjukkan kebanggaan pembuat konten akan identitas mereka sebagai anak daerah.

Konten semacam ini biasanya diwarnai foto-foto pembuat akun yang menampilkan baju daerah, suasana alam atau destinasi wisata daerah, makanan, tari-tarian, hingga swa foto pengguna akun yang ingin menyampaikan asal daerahnya.

Ketiga, narasi yang menyampaikan keunggulan daerah atau sukunya.

Akun @Ojankov misalnya, yang khusus membuat kumpulan video dengan tagar #minangpride, menyampaikan keunggulan orang Minang, di antaranya pandai berdagang dan pandai memasak.

Atau ada juga akun @fachrulbojes yang mengangkat tentang uang mahar untuk menikahi perempuan Bugis karena menurutnya perempuan dari sukunya banyak yang menawan.

Keempat narasi yang mengangkat pemasalahan daerah mereka. Salah satu yang menarik adalah akun Yuli Fonataba, @yuli_nella, yang juga Putri Papua 2018.

Dalam video berjudul “welcome to Papuan Club” dia bernyanyi sambil menyampaikan kritik bahwa tanah Papua kaya, namun bukan orang Papua yang menikmati. Dia juga membantah narasi yang mengatakan bahwa orang Papua tidak bersyukur atas jalan trans Papua yang dibangun.


Baca juga: Belajar dari Asia Tenggara, begini cara TikTok jadi wadah berpolitik


Mengapa TikTok?

Ruang bagi generasi muda menegosiasikan identitas mereka di media sosial terbuka luas di TikTok. Pengguna platform ini jauh lebih ramah.

TikTok juga telah menjadi platform bagi anak muda Amerika Serikat dan Asia Tenggara mengekspresikan pendapat politik mereka.

TikTok menjadi platform baru yang disukai anak muda karena rekomendasi algoritmenya di halaman ‘For You’ menampilkan konten yang lebih beragam ketimbang platform lain.

Di platform media sosial lain, misalnya Facebook dan Instagram, konten yang muncul biasanya dari jaringan pertemanan yang dimiliki oleh pengguna, sehingga seorang pengguna rentan terkungkung dalam gelembung informasi.

Selain algoritmenya, audiens TikTok yang berasal dari latar belakang yang sangat beragam, membuat diskusi pada kolom-kolom komentar juga tidak sepedas komentar di platform lain.

Platform yang dimiliki perusahaan ByteDance asal China ini bahkan menjadi tempat yang ramah bagi komunitas LGBTQ dan suku asli.

Di Indonesia, awalnya TikTok dikenal sebagai platform yang populer di kalangan kelas menengah ke bawah. Mereka membuat video yang sederhana dan tidak glamor seperti banyak video di Instagram.

Pengguna TikTok juga awalnya banyak anak kecil, sehingga pemerintah Indonesia juga sempat melarang.

Akan tetapi, pengguna TikTok yang mayoritas anak muda lekas belajar dari fitur-fitur di platform tersebut dan juga banyak menggunakannya untuk menuangkan kreasi dan ekspresi diri.

Yang menarik dalam pengamatan kami, jika ada komentar yang sifatnya merundung (bully) dan kental bernuansa dukungan politik pada sebuah tokoh publik, ada kecenderungan publik TikTok akan menyerang balik dan membela kebebasan berekspresi si pembuat konten.

Oleh karena itu, narasi-narasi yang sarat akan identitas lokal oleh anak muda cenderung lebih mendapatkan tempat di TikTok ketimbang platform lain.


Baca juga: Komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma


Ruang identitas

Identitas lokal penting diekspresikan dalam pengalaman sehari-hari warga negara untuk membantu menciptakan perasaan kebersamaan dan persaudaraan.

Terpaan informasi tentang identitas lokal di ujung barat Indonesia, misalnya, akan dapat membantu mereka yang tinggal di ujung timur untuk saling membayangkan bahwa mereka terikat akan kebangsaan yang sama.

Hari ini ruang-ruang diskusi di platform digital ramai dengan para pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer) berbasis ideologi dan partisan.

Kita memerlukan sebuah ruang yang dapat lebih mengakomodasi kesadaran akan keragaman warga negara, tempat identitas lokal dapat diekspresikan tanpa mengundang prasangka, atau justru untuk melawan prasangka.

Ekspresi-ekspresi ini merupakan bagian integral dari proses reproduksi dan negosiasi keindonesiaan bagi masyarakat yang beragam.

Gen Z tampaknya menemukan ruang tersebut di TikTok. TikTok menjadi arena bagi mereka untuk menyiasati perbedaan, memupuk respek dan rasa percaya diri dalam narasi-narasi identitas kedaerahan.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University dan Abdul Malik Gismar, PhD, Lecturer, Paramadina University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Ika Karlina Idris

An associate professor at Public Policy & Management, Monash University Indonesia. Her works focus on government communication, misinformation, and the internet’s impacts on society. Dr Idris declared no conflicts of interest in relation to this article.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!