Untuk Kamu Yang Sedang Dalam Relasi Toksik: Cinta Itu Seharusnya Merdeka

Untuk kalian yang sedang mengalami relasi toksik: kehilangan yang paling buruk adalah kehilangan diri sendiri, karena itu tidak bisa tergantikan oleh apapun. Karena cinta itu seharusnya merdeka

Kebanyakan orang berkata cinta itu sebuah pengorbanan. Apa yang sebenarnya dikorbankan? Waktu? Materi? Atau haruskah mengorbankan diri kita sendiri?

Sebuah hubungan romantis kerap kali tidak bisa lepas dari istilah kepemilikan. Hal ini bisa menjadikan hubungan romantis seperti berada di dalam penjara. Kepemilikan seperti apa yang bisa menuntun kita ke dalam penjara? Kepemilikan yang mendominasi, kepemilikan yang di mana salah satu bersikap bak majikan tanpa melihat adanya kesetaraan dalam hubungan.

Hal yang menjadi pertanyaan, mengapa hubungan yang seperti ini sering kali kita temukan? Jawabannya adalah karena hubungan ini bak candu. Sekali terikat, akan susah untuk lepas. 

Maka dari itu, memiliki kesepakatan mengenai boundaries dan red flags dalam sebuah hubungan romantis merupakan hal yang penting. Salah seorang teman pernah bertanya kepada saya, “Kok lo nggak mau lepas sih dari pacar lo? Padahal kerjaannya setiap hari nangis mulu” 

Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah bisa saya jawab pada waktu itu. Namun, jawaban dari pertanyaan itu akan menjadi isi dari tulisan ini.

Love is Blind Benar Adanya

Ketika kita berada di dalam hubungan yang tidak sehat, tentu kita tidak menyadarinya karena kita hanya akan fokus kepada kesalahan kita sebagai korban, atau bahkan, hanya fokus kepada kesalahan pasangan kita karena kita sebagai pelaku di sini. 

Ketika dulu saya menjalani hubungan dengan mantan pacar saya, saya tidak peduli berapa malam saya habiskan untuk menangis karena pertengkaran kita, atau saya bahkan tidak peduli harus kehilangan berapa teman agar saya bisa tetap bersama dia. Mengerikan, bukan? Namun itu bukan hal yang mengerikan bagi saya dulu, melainkan sebuah bukti pengorbanan saya, agar dia tahu bahwa saya mencintainya.

Lalu, apa dengan pengorbanan yang sudah saya berikan, hubungan kami berjalan dengan baik? Tentu tidak. Setelah itu, ada pengorbanan lainnya yang harus dilakukan. Tanpa disadari, kita sama-sama mengorbankan diri kita sendiri. Dalam hal ini saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mantan pacar saya, karena saya pun terlarut dalam hubungan yang tidak sehat ini dan pasti secara tidak sengaja juga sering menyakiti hati pasangan saya tanpa saya sadari. 

Saya mencintainya, hal apapun yang sekiranya dapat menyakiti saya akan saya tampung menjadi hal yang indah, karena saya mencintainya. Saya mencintainya, kesalahan yang diperbuat olehnya tidak pernah menjadi pengecualian untuk tetap bersamanya.

Apakah kamu pernah mengalami ini? Mencintai seseorang sejatinya bukanlah sebuah pembenaran untuk mendapatkan atau melakukan tindakan yang menyakiti dan tidak adil di dalam sebuah hubungan. 

Kadang, hal ini adalah awal mula dari terbentuknya sebuah hubungan yang tidak sehat, melakukan sesuatu hingga yang tidak masuk akal sekalipun atas nama cinta.

Saya memiliki pertanyaan yang mungkin bisa membantu kamu untuk menyadari apakah kamu korban atau pelaku dari toxic relationship.

1. Apakah kamu diperlakukan seperti anak kecil? Apakah kamu harus mendapat izin darinya ketika ingin melakukan sesuatu atau bertemu dengan orang lain? Apakah dia mengontrol gerak-gerikmu?

2. Apakah pasangan kamu sering mengabaikan pendapat, perasaan, dan saran kamu?

3. Apakah kamu sering mengamati suasana hati pasangan kamu sebelum membahas sesuatu untuk memastikan dia tidak akan marah kepada kamu?

4. Apakah kamu jarang menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman-teman kamu semenjak berada dalam hubungan ini? Apakah pasangan kamu pernah mengatakan tidak menyukai beberapa teman kamu sehingga kamu berhenti menemui mereka?

5. Apakah pasangan kamu mengancam kamu untuk mengakhiri hubungan jika kamu melakukan kesalahan?

6. Apakah pasangan kamu menuduh kamu melakukan perselingkuhan tanpa adanya bukti?

7. Apakah pasangan kamu sulit untuk mengatakan maaf jika sedang melakukan kesalahan dan membuat kamu untuk mengatakan maaf atas kesalahannya?

8. Apakah pasangan kamu memaksa kamu untuk melakukan aktivitas seksual tanpa ada persetujuan dan marah ketika tidak dituruti?

Jika kebanyakan jawaban kamu adalah “ya” dari pertanyaan di atas, kamu adalah korban dari toxic relationship. Namun jika jawaban dari pertanyaan di atas kebanyakan adalah “tidak”, tunggu.. apakah kamu pelaku dari toxic relationship?

1. Apakah kamu merasa memiliki hak penuh atas segala keputusan dalam hubungan?

2. Apakah kamu merasa superior dari pasangan kamu dan apakah kamu merasa lebih baik dari pasangan kamu sehingga sering meremehkan pasangan kamu?

3. Apakah kamu memberikan silent treatment kepada pasangan kamu ketika dia melakukan kesalahan?

4. Apakah menurut kamu pasangan kamu terlalu sensitif sehingga sering tersakiti oleh perkataan dan perbuatan kamu?

5. Apakah kamu sering mengalami perubahan suasana hati secara drastis? Terkadang kamu merasa sangat mencintai pasangan kamu lalu beberapa waktu kemudian kamu merasa jengkel dengan kehadirannya.

6. Apakah kamu marah ketika pasangan kamu tidak bisa menghabiskan waktunya dengan kamu karena kesibukannya yang lain? Apakah pasangan kamu harus menuruti semua kemauan kamu?

7. Apakah kamu berharap pasangan kamu memiliki pendapat yang sama dengan ada dalam pengambilan keputusan?

8. Apakah kamu marah ketika pasangan kamu menolak untuk melakukan aktivitas seksual?

Jika kebanyakan jawaban kamu adalah “ya” dari pertanyaan di atas, kamu adalah pelaku dari toxic relationship. 

Apakah sampai di sini saja? Tentu tidak. Toxic Relationship ini seperti pertukaran peran, seorang korban bisa menjadi pelaku, begitu pula dengan pelaku yang bisa menjadi korban.

Ketika kamu diperlakukan tidak adil oleh pasangan mu, ada sebuah keinginan untuk melakukan hal yang sama kepada pasangan kamu. Ketika kamu dilarang untuk bertemu dengan teman-teman kamu karena pasangan kamu tidak menyukainya, kamu akan mencari alasan untuk tidak menyukai teman-teman dari pasanganmu juga secara tidak sadar. Hal ini membuat kamu juga membatasi pasangan kamu untuk menemui teman-temannya.

Keluar dari Toxic Relationship? Apakah Mungkin? Menurut pengalaman saya, memang tidak mudah untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat. Karena itu seperti candu. 

Pernah beberapa kali saya mengakhiri hubungan, namun itu tidak bertahan lama. Kami selalu menemukan jalan untuk kembali lagi dan bersama lagi dengan harapan semua bisa berubah. Walau kenyataannya tidak. 

Kunci utama untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat adalah keberanian. Karena sebesar apapun keinginan kita untuk mengakhiri, ketika kita tidak memiliki keberanian, semua akan sia-sia. Keberanian seperti apa yang dimaksud? Keberanian untuk kehilangan sosok yang kamu cintai, keberanian untuk menghentikan luka akibat dari hubungan yang tidak sehat. Yang utama adalah keberanian untuk lebih mencintai diri kita sendiri. 

Seperti apa yang dikatakan Beverly Engel dalam tulisannya yang berjudul Loving Him Without Losing You, salah satu cara paling efektif untuk memastikan bahwa kamu tidak akan kehilangan diri sendiri dalam suatu hubungan adalah dengan menjadi diri sendiri.

Saya tersadar bahwa selama ini saya sibuk untuk mencintai pasangan saya sehingga saya tidak memperhatikan diri saya sendiri dan tidak menjadi diri saya sendiri. Kehilangan banyak teman, aktivitas saya terbatas, selalu merasa sedih dan bersalah, hingga saya sadar bahwa saya jadi manusia yang tidak berkembang. Saya kemudian sadar bahwa tidak bisa selamanya terjebak dalam hubungan ini.

Saya memberanikan diri untuk mengakhiri hubungan kami. Saya tidak pernah merasa sebahagia itu. Mungkin berat karena saya harus kehilangan orang yang saya cintai, namun akan lebih berat jika saya harus kehilangan diri saya secara terus menerus.

Untuk kalian yang sedang mengalami ini: kehilangan yang paling buruk adalah kehilangan diri sendiri, karena itu tidak bisa tergantikan oleh apapun.

(Artikel ini menjadi salah satu pemenang Lomba Pacaran Toksik yang Diselenggarakan Konde.co Dalam Acara Kartini’s Day 2021)

Lupyta Agra Divina

Gender Enthusiast, Bachelor of Governance Science Universitas Diponegoro
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!