16 Catatan Yang ‘Hilang’ Dan ‘Kurang’ Dalam RUU PKS Versi Baleg DPR

LBH Jakarta menyoroti 16 ketentuan yang ‘hilang’ dan ‘kurang’ dalam draf Rancangan Undang- Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dikeluarkan Baleg DPR RI. Hilangnya 16 substansi ini mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum

LBH Jakarta menemukan 16 ketentuan yang ‘hilang’ dan ‘kurang’ dalam draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dikeluarkan Baleg DPR RI pada 30 Agustus 2021.

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BALEG DPR-RI) menggelar rapat pleno penyusunan draf RUU PKS di tanggal itu

Berdasarkan draf RUU PKS versi 30 Agustus 2021 yang diterbitkan oleh BALEG DPR-RI, LBH Jakarta menyoroti ketentuan yang ‘hilang’ dan ‘kurang’ sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum.

Hal tersebut sekaligus mempertanyakan kepada pembentuk undang-undang, mau dibawa ke arah mana perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual.

LBH Jakarta dalam pernyataan pers yang diterima Konde.co 3 September 2021 memberikan 16 (enam belas) catatan penting terhadap draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI, antaralain:

1.Pertama, hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas.

2.Kedua, dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual

3.Ketiga, dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan.

4.Keempat, ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan.

5.Kelima, tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran.

6.Keenam, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri.

7.Ketujuh, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online.

8.Kedelapan, menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak. 9.Kesembilan, tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku.

10.Kesepuluh, tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas.

11.Kesebelas, hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab

12.Kedua belas, tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum.

13.Ketiga belas, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.

14.Keempat belas, arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan.

15.Kelima belas, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakkan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban.

16.Keenam belas, menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!