Stop Label Buruk Pada Perempuan Karena Anak Terkena Stunting

Sepertinya perempuan adalah orang yang selalu disalahkan jika anaknya terkena sesuatu. Walaupun hamil dalam kondisi tak sehat, kurang bergizi, dan suami pergi tak pernah menunggui, namun perempuan selalu menjadi tumpuan kesalahan ketika ada anaknya yang bermasalah, seperti terkena stunting

“Baru tahu hamil [si kembar] waktu sudah tiga atau empat bulanan, waktu diperiksa bidan. Terus dibilang, ‘ini yang terakhir yo mbak’, langsung sudah terakhir dan disteril…tahu kenapa harus disteril karena sudah anak ke-4 dan karena itu…[tidak meneruskan kata-katanya]…ini saya belum menikah tapi sudah jadi ibu!”

Ibu Y, ibu tunggal dari anak kembar mengalami kejadian stunting. Stunting adalah sebuah kondisi anak yang mengalami masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama. Ibu Y mengalami tekanan psikologis akibat relasinya dengan ayah biologis dari anaknya.

Ia juga merasakan tekanan berat karena pandangan negatif masyarakat terhadap kondisi dirinya, ekonomi dirinya dan keluarganya yang berkekurangan. Y menyadari keterbatasan pengetahuannya mengenai kesehatan reproduksi dan seksual.

Sebagai ibu dari anak yang mengalami stunting, Y telah berupaya berbagai hal untuk mengatasi, seperti bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari, mengelola keuangannya, menghemat pengeluarannya, memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya, mencari tahu tentang gizi dan nutrisi yang baik bagi anak balita, berinisiatif membuat kolam lele sebagai salah satu cara memenuhi kepeluan gizi, dan menata hidupnya di tengah masyarakat yang bias gender dan menghakiminya secara tidak adil.

Stunting bukan hanya perkara medis, namun berkorelasi erat dengan ketimpangan gender dan stigma yang dilekatkan pada perempuan. Dalam rumah tangga, perempuan mesti menanggung beban ganda dalam peran pengasuhan dan kemiskinan, ancaman kekerasan, hingga pelabelan stigma-stigma sebagai perempuan. 

Posisi perempuan, dianggap sebagai agensi ganda. Di satu sisi, perempuan bisa menjadi mediator kejadian stunting pada anak. Namun juga, sekaligus menjadi pengentas stunting dalam keluarga. 

Perempuan lain yang mengalami kejadian yang hampir mirip bernama Rohimah, bukan nama sebenarnya. Rohimah memiliki anak kedua yang juga mengalami stunting. Anak laki-lakinya itu berumur sekitar 4 tahun dengan berat badan saat lahir 1700 gram dan panjang 42 cm. 

Dibandingkan balita seusianya, anak Rohimah memang terlihat kecil dengan kedua kakinya yang tampak kurus. Sejak lahir dia tetap berada di bawah garis merah. Sampai usia balita ini, dia juga hanya mengalami pertumbuhan berat badan 1-2 ons saja setiap penimbangan. 

Anak balita itu, begitu masih minim bicara. Dalam kondisi stunting, pernah sekali anak Rohimah menderita bronchitis berupa batuk-batuk selama sebulan lebih. Sempat dibawa ke Puskesmas hingga rumah sakit, dia pun dirawat jalan hingga dinyatakan sembuh.

Ditinggal merantau suami, Rohimah bersama dua anaknya, menumpang di rumah kedua orang tua. Di usia lanjut, orang tuanya menanam tanaman empon-empon, jagung atau ketela sebagai sumber makanan keluarga. Sumber pemasukan lainnya, mereka dapat jatah hasil panen sawah yang dikelola oleh sang Kakak. 

Untuk kebutuhan sehari-hari, Rohimah mengandalkan kiriman dari suami sebagai office boy di rantau. Setiap bulan, dia hanya mendapatkan Rp. 500 ribu. Jumlah uang itu, dicukup-cukupkan untuk mengurus anak dan bantu-bantu merawat orang tuanya.

Keluarga Rohimah tinggal di salah satu desa di kabupaten Magelang, DIY. Dari kantor kelurahan memerlukan waktu hampir sejam menggunakan sepeda motor. Jalan masuk rumahnya, naik turun tajam dan berkelok-kelok. 

Dari jalan utama padukuhan, dia harus melewati jalan setapak 300 meter. Melewati rimbun pohon bambu, kebun cengkeh, dan petak tanaman cabe dan empon-empon. Tidak mudah untuk mengakses pelayanan publik seperti pendidikan dasar, bidan, kelurahan dan Puskesmas, dia harus berjalan kaki cukup jauh

Jika dirunut dari sebelum hamil anak yang stunting ini, Rohimah memang sempat mengalami kesulitan makan. Dia selalu muntah tiap kali mencoba memasukkan makanan. 

Kondisi suami yang hanya pulang sekali tiap bulan, menjadikan Rohimah hanya dua kali saja memeriksakan kehamilan di Puskesmas. Tidak adanya kendaraan dan orang yang mengantar, ditambah sulitnya akses menjadi penyebab. 

Keuangan yang tidak baik, juga menjadikan Rohimah kesulitan membeli bahan-bahan makanan yang bergizi seperti protein dari hewan baik daging sapi, ikan atau susu. Dia lebih sering mengkonsumsi sayuran apa saja yang bisa dipetik dari ladang. Lebih seringnya juga dia mengonsumsi buah-buahan di sekitar seperti mangga muda dan pepaya. 

Kondisi serupa dialami oleh Siti. Dihimpit keterbatasan ekonomi dengan beban pelabelan stigma masyarakat, juga mesti disandang oleh Siti, bukan nama sebenarnya. Perempuan 34 tahun itu, memiliki anak 4 yang semua anaknya berstatus gizi buruk ketika balita. Anaknya pertamanya kelas 6 SD, keduanya kelas 4 SD dan dua anak terakhir merupakan kembar berusia 2 tahun. 

Bayi kembarnya memang sudah memiliki masalah kesehatan sejak usia 10 bulan. Mereka sering mengalami diare, muntah-muntah, dan sulit makan, sehingga berat dan tinggi badannya tidak terlalu baik. 

Pada usia 17 bulan, mereka hanya memiliki tinggi 78 cm, padahal tinggi normal seharusnya 81,2 cm. Setelah teridentifikasi Stunting, anak-anak Siti mendapat pemantauan selama 7 minggu. 

Siti mengandung si kembar dalam status tidak menikah. Guncangan psikologis terjadi pada Siti selama masa kehamilan, dikarenakan ayah si kembar tak menghendaki kehamilannya. Ayah si kembar ternyata sudah beristri. 

Tak punya biaya serta jarak jauh ke Puskesmas, menjadi masalah bertubi yang mesti ditanggung Siti. Dia jadi tidak pernah melakukan USG dan hanya mampu konsultasi dengan bidan terdekat dari rumah. 

Berbagai jenis pekerjaan dilakukannya. Seminggu tiga kali dia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga/ PRT dengan tugas membersihkan rumah. Perbulan dia diupah Rp. 350 ribu. Pernah juga, Siti menerima tawaran sebagai buruh murah pengeleman perca menjadi kain ukuran 120×150 cm dengan upah Rp. 700 per lembar. 

Di masa pandemi ini, pengepul perca tak lagi datang. Siti pun ‘memutar otak’ mencari pekerjaan lain. Dia mulai belajar menganyam tas dari tali daun pandan atau eceng gondok. Hasil kerjanya masih harus dilihat apakah sudah memenuhi standar, makanya Siti belum mendapat upah. Dia juga belum tahu, kapan akan mulai mendapatkan pesanan dan bayaran yang akan diterima. 

Siti masih tinggal serumah bersama kedua orang tuanya yang sudah lansia. Rumah mereka hanya berupa joglo ukuran 6×8 meter. Ruangannya hanya disekat dengan dinding kayu menjadi dua bagian. Jika semua pintu tidak dibuka, ruangan terasa begitu lembab dan pengap. Lantai rumahnya terbuat dari acinan semen.

Di bagian belakang rumah, terdapat bangunan dari bambu yang berfungsi sebagai dapur, kandang kambing dan ayam. Bangunan MCK telah dibangun, atas sumbangan pemerintah desa beberapa tahun lalu. 

Hamil Lagi, Perempuan Terkena Stigma dan Kekerasan

Setelah melahirkan si kembar, semua urusan pengasuhan kedua anak Siti seringkali dilakukan oleh orang tua Siti. Tetangganya menuduh, Siti memanfaatkan kedua orangtuanya. Apalagi dengan kondisinya memiliki anak tanpa suami. 

“Kulo koyo ra dianggep karo wong-wong. Tak gawe santai mawon, (Saya tidak dianggap sama warga, saya buat jadi santai saja), ujar Siti kepada pendamping lapangan dalam laporan Kalyanamitra, dikutip Konde.co, Sabtu (4/9/2021). 

Ia berusaha tidak mengambil hati, menurutnya tetangganya tidak memberi mereka makan. Jadi, tidak perlu dipikirkan. Sebagai orang tua tunggal, Siti sepenuhnya mesti memegang kendali ekonomi keluarga. Kedua orang tuanya menjadi pendukung utama peran Siti menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. 

Siti memang tidak pernah merencanakan memiliki anak-anak tanpa suami. Namun, dia berani menanggung semuanya. Meski, Siti juga mendapatkan tekanan dari pihak keluarga laki-laki yang menghamilinya agar tidak meminta pertanggungjawaban. Mereka berdalih: suami Siti seperti laki-laki yang melakukan transaksi berupa pemberian uang atas hubungan seksual mereka. 

Selama masa itu, tak terhitung pula berapa banyak gosip dan intimidasi yang Ia terima. Warga sekitar ramai-ramai menjadikannya bahan omongan. Rata-rata memberi komentar “hamil lagi”. Kata-kata muncul, dikarenakan Siti hamil sebanyak 3 kali, yang kesemuanya kehamilan tidak diinginkan.  

Sampai Kader Posyandu di padukuhannya menyampaikan perkataan, yang akan Siti selalu ingat: tidak boleh mengintimidasi perempuan hamil, apapun latar belakangnya. 

Salah seorang pendamping lapangan stunting di salah satu kawasan Kulon Progo, Joko Sulistyo mengungkapkan dirinya juga pernah menemukan kasus stunting yang erat kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan. 

Kala itu, dia sedang bertamu dengan ibu dampingannya yang memiliki anak stunting. Bersamaan dengan itu, sang suami baru bangun tidur dan langsung membanting gelas. Ironisnya, kekerasan-kekerasaan seperti ini, tak selalu perempuan sadari. 

“Ada kita aja seperti itu. Ibu ini mengalami KDRT. Tapi dia tidak menyadari, dampaknya ke tumbuh kembang anak juga,” ujar Joko ketika dihubungi lewat sambungan telepon oleh Konde.co, Kamis (2/9/2021). 

Ada lagi katanya, perempuan dampingannya yang juga mengalami kekerasan secara psikologis hingga berdampak dalam pengasuhan anak yang stunting. Hamil dengan kondisi psikologis tertekan, dia juga mesti menanggung beban pengasuhan anak serta orang tua kala ditinggal suami. 

“Anak stunting bukan hanya soal asupan makanan yang tidak seimbang. Budaya patriarki masih sangat tinggi, domestik dan pengasuhan masih dibebankan ke perempuan,” kata Joko. 

Menyoal itu, dia mencontohkan, tak banyak laki-laki atau suami yang bersedia mengantarkan anaknya ke posyandu. Belum lagi, aktivitas sehari-hari pengasuhan yang seolah menjadi tanggung jawab lebih kepada istri. Beban fisik dan psikologis tentu ‘mau tak mau’ harus dihadapi. 

Pendamping lapangan lainnya, Dianah Karmila juga menyampaikan kerentanan perempuan dalam kasus stunting anak memang tak bisa dipungkiri. Bukan saja secara ekonomi, namun juga mental. Hingga menyerang kesehatan fisik dan psikologisnya, hingga terjadinya stunting pada anak. 

Ada satu perempuan dampingannya yang menjadi istri kedua siri. Si suami itu melakukan kredit mobil bahkan dua sekaligus, dengan alasan akan digunakan usaha rental. Namun, kredit itu semuanya atas nama istri. 

Hingga suatu saat, perempuan tersebut hamil dan begitu memasuki jelang kelahiran, suaminya kabur meninggalkan tunggakan cicilan mobil. Sementara, kedua mobil sudah dibawa kabur. Dikejar-kejar debt collector, hingga jeratan rentenir, perempuan itu mengalami stres berat. Di situasi itu, perempuan itu pun melahirkan, kondisi anak dengan stunting.  

“Si ibu (perempuan itu) akhirnya meninggal. Jadinya anak (stunting) itu diasuh nenek. Di satu sisi, neneknya juga yang harus melunasi hutang-hutang sambil ngasuh,” katanya. 

Jerat Stunting dan Upaya Melepasnya: Pandemi Menambah Buruk Kondisi

Deretan kasus stunting tersebut, terjadi di Kulon Progo, Yogyakarta. Jika dilihat dari data, prevalensi balita stunting di Kulon Progo telah mencapai 3157 balita yakni 22,65% (Riskesdas 2018). Angka ini, sebetulnya menurun dibandingkan data pada 2013 yang mencapai 26,3%.

Namun tetap saja, angka itu masih jauh dari target. Presiden Joko Widodo menginstruksikan penurunan angka stunting nasional dari 27,67 persen menjadi 14%. Sementara, badan kesehatan dunia WHO menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20%. 

Studi kasus di tiga desa di kecamatan Kalibawang, Kulon Progo di Yogyakarta tahun 2019-2020, yang dilakukan oleh Kalyanamitra, menunjukkan masih ada banyak persoalan terkait stunting. Pemerintah hanya menggunakan pendekatan dari sisi medis, yang nyatanya belum bisa menghilangkan stunting. Apalagi kondisi di masa pandemi dimana akses terhadap gizi pada ibu hamil dan anak menjadi tantangan serius 

Dimensi gender, juga belum digunakan sebagai pendekatan untuk memotret indikasi dan faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya stunting di Kulon Progo. Maka dari itu, pemenuhan hak-hak perempuan dan anak harus dilaksanakan oleh negara, masyarakat, dan keluarga. 

Pemerintah pusat dan daerah harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar ibu dan anak guna mencegah munculnya kejadian stunting. Pemerintahan desa perlu memberdayakan puskesmas dan posyandu sehingga mampu memberikan layanan kesehatan bagi perempuan pada pra kehamilan, kehamilan, dan perawatan anak balita. 

Konseling dan intervensi gizi spesifik harus dilakukan oleh pemerintahan desa sebagai wujud bahwa negara hadir di tingkat desa, dan penangan masalah stunting perlu diatur secara spesifik dalam peraturan-peraturan desa.

Kaitannya dengan ini, Joko sebagai pendamping lapangan stunting menyampaikan, pihaknya pernah melakukan eksperimen di lingkup desa dalam penanganan anak stunting. Pertama, memberi uang tunai yang setelah dievaluasi tidak tepat sasaran. Kemudian, membelanjakan bahan makanan yang juga belum optimal karena konsumsi tidak hanya pada anak, tapi anggota keluarga lainnya. 

Hingga akhirnya, ada inisiasi pos gizi. Mekanismenya, 10 hari makan bersama bergizi dan 10 hari setelahnya makan bergizi di rumah. Dengan selang-seling itu, ternyata anak-anak stunting mengalami dampak kenaikan berat badan yang signifikan. 

“Ternyata setelah dievaluasi ada perkembangan. Anak-anak mau pada makan kalau kumpul,” ujar Joko. 

Selain itu, inisiasi lainnya juga dilakukan berupa kelas ibu hamil sebagai upaya pencegahan stunting lebih dini. Materi tentang pengasuhan yang setara antara kedua orang tua sampai rencana untuk membidik edukasi remaja soal kehamilan tidak diinginkan (KTD). 

“Upaya yang sedang kita siapkan,” imbuhnya. 

Dianah juga menyampaikan memang penting menyasar edukasi pada pola asuh pasangan suami istri. Ini berkaitan pula dengan keikutsertaan laki-laki dalam pengasuhan dan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 

Di samping, akses makanan bergizi untuk menangani anak stunting juga penting. Seperti misalnya, pada program inisiasi ladang tak terurus yang gotong royong dijadikan media menanam ladang gizi bagi anak sampai pembibitan ikan lele di kolam. 

Pengoptimalan lembaga, menurut Dianah juga perlu dilakukan. Pihaknya saat ini merintis keterhubungan posyandu dan PAUD sebagai sarana mengedukasi dan pencegahan soal stunting. Pengawasan gizi anak dilakukan di usia-usia potensi stunting bisa lebih riskan terjadi yaitu usia 6 bulan sampai balita. 

“Kami juga mendorong adanya modul pola asuh berkesadaran khusus untuk nanti. Ini bisa dicetak dan pas pembagian rapot bisa ada edukasi bagi orang tua,” terangnya. 

Dia pun menekankan, peran aktif desa melalui program-program nasional juga perlu dijalankan secara lebih efektif. Seperti halnya rembug stunting hingga optimalisasi pencairan dana desa dalam pencegahan stunting pada anak.

“Jangan sekadar program tanpa outcome,” pungkas Dianah. 

Kalyanamitra sebagai yayasan yang berfokus pada pengentasan ketimpangan gender kaitannya termasuk kepada kebijakan pemerintahan, menyampaikan beberapa rekomendasi dari laporannya berjudul “Dimensi Gender dalam Kejadian Stunting” (2019-2020). Diantaranya, pemerintah desa perlu membuat kebijakan, program, dan anggaran yang meningkatkan kesetaraan atau keadilan gender di tingkat rumah tangga di desa.

Apalagi di kondisi pandemi dimana akses gizi pada anak dan ibu hamil pasti lebih sulit. Menganggarkan dana desa menjadi salah satu solusi yang bisa dilakukan

Pemerintahan desa juga harus membuat basis data kependudukan yang mampu menampilkan kebaruan data warganya setiap saat, khususnya yang terkait dengan data stunting dan kemiskinan. Apabila memungkinkan maka mengganti cara manual menjadi digital dengan aplikasi tertentu yang ramah untuk dipergunakan oleh siapa saja, sehingga ketersediaan dan keterbaruan data terjadi yang akan memudahkan semua pihak.

Selain itu, diperlukannya pula pendataan yang komprehensif dan terpilah sampai ke tingkat desa. Data terpilah ini menjadi penting sebagai landasan bagi pemerintah di tingkat kabupaten dalam menyusun kebijakan, program, dan anggaran. 

Untuk pengentasan stunting diperlukan kolaborasi antar lembaga dan multipihak dengan menggunakan perspektif gender dan anak. Dalam hal ini, sinergitas pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional harus diperkuat sebagai sebuah bidang yang terkoordinasi dengan fungsi masing-masing. 

(Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’ Konde.co yang didukung oleh Kalyanamitra. Hasil peliputannya dapat dibaca di Konde.co setiap Senin secara Dwi Mingguan)

 

 

 

 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!