ARMY BTS Lawan Stigma Fanbase Perempuan Yang Apolitis dan Cengeng

Walaupun sudah melakukan berbagai aktivitas kemanusiaan dan kampanye politik di media sosial, ARMY, fanbase BTS di Indonesia tetap dicap sebagai kelompok perempuan muda yang cuma bisa jadi tim hore dan follower yang apolitis

ARMY, fandom BTS di Indonesia, Sabtu minggu lalu memaparkan berbagai stigma yang ditempel ke mereka selama ini.

Stigma sebagai perempuan yang cuma jadi tim hore, cuma jadi fans, cuma ikut-ikutan nge-pop dan follower yang bodoh

Sebutan lain bagi ARMY yaitu sebagai fans yang cengeng, hanya ikut-ikutan politik, atau sebagai just follower bagi BTS yang cuma membuka pundi-pundi uang bagi BTS saja. Sebutan menyakitkan ini sudah sering mereka terima

Padahal sebagai bagian dari aktivisme fandom gelombang baru, ARMY sudah melakukan banyak hal, seperti melakukan aksi dengan membuka donasi untuk perempuan korban kekerasan seksual, melakukan aksi menanam pohon sebagai kontribusi penyelamatan hutan, berkoordinasi untuk lawan Corona dengan kampanye ajakan bagi masyarakat untuk vaksin Covid-19, melakukan sejumlah fundrising kemanusiaan, kampanye menyelamatkan terumbu karang, membuka ruang psikologi untuk curhat remaja atas persoalan yang mereka hadapi, sampai melakukan kampanye aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Namun waktu ada isu Omnibus law, ARMY yang anggotanya hingga 88 ribu orang di Indonesia dan ikut menyebarkan kampanye tolak Omnibus Law Cipta Kerja di media sosial, malah diejek sebagai orang yang tidak mengerti apa-apa, dianggap bodoh, tak tahu politik dan dianggap hanya ikut-ikutan dalam dunia aktivisme.

Setiap orang punya alasan untuk bergabung sebagai ARMY. Andrea Misus Yaya misalnya, ia bergabung menjadi fanbase ARMY sejak tahun 2019 karena pernah stres dan kemudian ketika bergabung dengan fanbase BTS, ia melihat bahwa hidupnya menjadi beda, BTS sangat menginspirasi hidupnya untuk cepat move on dan melakukan sesuatu

“Banyak yang sudah dilakukan ARMY dan BTS. BTS menginspirasi saya untuk nge-dance, dan saya kemudian bisa membuat project, mereka menginspirasi saya berdonasi, galang konservasi alam terumbu karang, ARMY juga menanam pohon dan memberi kontribusi dalam isu perubahan iklim, banyak melakukan donasi-donasi untuk kemanusiaan, ini menjadi trending di twitter. Banyak isu yang diboomingkan ARMY yang kemudian menjadi isu yang penting.”

Diskusi tentang apa yang telah dilakukan ARMY dalam BTS and the new wave fandom activism di Indonesia ini diselenggarakan oleh Suara Peranakan pada Sabtu, 28 Agustus 2021 secara online

Sharon, adalah seorang pegiat di komunitas ARMY Help center Indonesia dimana komunitas ini membuka ruang psikologi. Komunitas ini kemudian menjadi pendengar dan teman bicara bagi para ARMY dan remaja umumnya.

Tidak hanya dari Indonesia, saat ini sudah ada 15 akun di berbagai negara mendengarkan curhat fanbase BTS. Selain itu, di Indonesia mereka juga berkolaborasi dengan Organisasi Into The Light untuk kampanye isu kesehatan mental.

Selain itu, BTS ARMY juga pernah diundang Kantor Staf Presiden/ KSP sebagai anak muda yang potensial dan diajak diskusi soal harapan anak muda

“Sudah mulai Februari 2018 dengan berbagai volunteer setelah BTS di nominasikan di Bilboard music award, kita bangga dan terinspirasi, banyak dukungannya dan luar biasa. 3 tahun perjalanan ini kegiatan yang sudah dilakukan, umur 3 tahun ini dan banyak dukungan. Sudah ada kolaborasi dengan into the light untuk isu kesehatan mental. Ketemu staf presiden untuk diskusi soal harapan dan mimpi anak muda ke depannya.”

Karlina Octaviany, adalah antropolog digital dan seorang ARMY. Selama ini ia banyak melakukan penelitian soal aktivitas ARMY dengan studi komparatif musik dalam kritik sosial dalam lagu BTS.

Karlina menyatakan, lirik lagu BTS selama ini banyak mengkritisi kesenjangan ekonomi, juga isu kesehatan mental dalam album mereka, inilah yang menginspirasi para fanbase

Karlina memetakan, ARMY di Indonesia merupakan kelompok yang beragam, ada yang sarjana dan sudah berkeluarga, juga ada yang sudah punya anak. Rata-rata ARMY aktif di media sosial. Karlina menemukan, walaupun sudah aktif di kampanye-kampanye sosial, namun stigma terhadap ARMY tak pernah habis, ada bias gender dalam stigma-stigma tersebut, juga bias rasial, bias algoritma, dianggap cengeng, bodoh, dll.

Padahal ARMY telah melakukan aksi seperti kampanye stop rasisme, kampanye Hak Asasi Manusia (HAM), juga melakukan kritik terhadap media yang sensasional dan kampanye stop beli produk yang melakukan pelanggaran

“ARMY tetap solid melakukan aktivisme di media sosial, secara transnasional, lintas isu, ARMY mengelola isu aktivisme misalnya ngomongin soal diskriminasi yang diterima dan ARMY lain kemudian menyatakan suaranya, juga soal rasisme dan HAM. Akun Fan base sudah punya kekhususannya masing-masing dengan budaya populer. ARMY juga melakukan kritik terhadap media dan tidak membeli produk-produk yang melakukan pelanggaran.”

Dalam Greatmind, Karlina menuliskan temuannya: ia menuliskan, bahwa ada stereotipe penggemar perempuan kerap dipandang sebagai remaja histeris yang tidak paham musik berkualitas, hanya tertarik tampang, dan dieksploitasi secara ekonomi. Di era modern, Indonesia masih memiliki stereotip maskulinitas yang melanggengkan toxic masculinity. Boyband itu stigma dari barat, kalau sudah dapat stigma, maka segala sesuatunya jadi sulit, jadi ada bias dalam penilaian ini

Tanggapan Terhadap Kritik

Sharon misalnya menyatakan stres ketika menerima kritik ini

 “Awalnya stress dengan apa yang kita lakukan dan apa yang kita sukai, tapi ini sudah lama kiranya bisa memberikan stand baru,” menurut Sharon

Andrea, sering membuat video tapi semangat saja jika dikritik. Pokoknya jika ada kritik, aktivitas membuat video tetap jalan

Sharon melihat, bahwa hubungan antara BTS dan ARMY ini seperti hubungan sesama manusia dengan kegiatan yang dikerjakan secara bersama-sama, jadi masa bodoh saja jika dikritik

Karlina menyebut, kehadiran ARMY justru makin mewarnai gerakan, karena dengan mereka berbagi pengetahuan dan share, ini sudah menunjukkan aktivisme sendiri, tidak harus turun ke jalan atau dengan mengikuti webinar

“Orang-orang memandang kegiatan kita tak berguna, kalau mau aktivisme, hayuk tapi kalau santai tidak apa-apa, kita saling belajar dan ini memang beranjak dari budaya pop, tidak masalah.”

(Foto: Twitter @bts_bighit)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!