Perempuan Pakai Fitur Blokir: Cara Cepat Usir Relasi Toksik

Sah-sah saja kalau kita pakai fitur blokir di ponsel. Saya pernah berurusan dengan penguntit di media sosial. Teman saya juga punya pacar yang sangat posesif dan marah setiap ia terlambat membalas pesan. Kalau gara-gara pakai fitur blokir lalu kami dibilang pengecut? Bodo amat!

“Kok diblokir, sih? Baper ya, lu? Gak bisa menerima perbedaan pendapat?”

“Pengecut. Namanya juga risiko main medsos!”

“Halah, dikit-dikit blokir. Gak bisa ngadepin dunia nyata lo!”

Saya melihat banyak perdebatan soal penggunaan fitur blokir dalam media sosial atau platform apa pun. Ada yang beralasan bahwa pemblokiran terjadi karena si pelaku terlalu pengecut untuk menerima perbedaan pendapat. Ada juga yang membela dengan alasan, sah-sah saja bila pelaku ingin lebih nyaman ber-media sosial.

Pengalaman saya, sebelum ada fitur blokir pada ponsel, dulu saya sudah pernah beberapa kali berurusan dengan penguntit.

Bayangkan, saya dihantui teror pengganggu tak dikenal selama berbulan-bulan. Ini terjadi, hanya karena nomor ponsel saya tanpa sengaja terlihat olehnya di layar komputer warnet beberapa tahun silam.

Tak berselang lama setelahnya, saya juga sempat punya masalah dengan seorang teman. Ini dulu sempat bikin stres karena setiap kali kami bertengkar, teman selalu membanjiri ponsel saya dengan pesan-pesan penuh kemarahan tanpa henti. Bahkan, dia pernah melakukan itu selama seharian penuh. 

Saya jadi ingat salah satu episode dalam serial TV berjudul “9-1-1” yang menunjukkan bahwa apa yang saya alami tersebut termasuk perisakan digital. Maddy Buckley –tokoh serial yang diperankan oleh Jennifer Love-Hewitt– pernah bertengkar dengan staf senior di tempat kerjanya. Maddy lantas mendapatkan perundungan bertubi-tubi lewat pesan penuh amarah oleh teman stafnya yang dipecat akibat pengaduan Maddy. 

Menerima perlakukan seperti Maddy yang dibombardir pesan penuh amarah oleh seorang teman, saya pun lantas mengaktifkan fitur senyap ponsel. Tak ada lagi kompromi. Ini sudah sangat mengganggu ketenangan saya. 

Mama yang melihat kegelisahan saya pun sempat bilang, “Kalau sudah tidak tahan, blokir saja. Bukan kewajiban kamu kok, untuk menyenangkan dia terus.”

Sempat terbersit keinginan itu beberapa kali. Namun, saya tak sampai hati. Saya masih memiliki rasa kasihan kepada teman saya itu. Dia sering curhat semua masalahnya, sehingga ada rasa tidak tega. Meski, sudah berapa kali pula dia sering menyakiti hati saya dengan sindiran hingga ucapan kasar. 

Menanggapi sikap dingin saya –dengan mengaktifkan mode senyap ponsel– membuat teman saya yang bermasalah tersebut akhirnya kesal dan berhenti menghubungi saya.  

Apa yang saya alami ini, kiranya masih cukup beruntung daripada yang terjadi pada salah satu sahabat perempuan saya yang pernah terjebak dalam hubungan beracun atau toksik.

Pacar laki-lakinya seringkali marah kala sahabat saya terlambat membalas pesan atau mengangkat telepon. Padahal, baru beberapa menit saja. Pacarnya berdalih, itu semua dia lakukan karena dia sangat mencintai sahabat saya. 

Akibat sikap posesif dalam hubungan pacaran itu, pernah suatu kali, saya jumpai sahabat saya itu sampai gemetaran setiap kali pacarnya menghubungi untuk mengajaknya ketemuan. Lebih tepatnya, dengan cara memaksa. 

Sengaja Punya Nomor Baru Hingga Akun Baru

Memang sih, fitur blokir tidak secara otomatis dapat membuat kita terhindar dari perundungan. Baik melalui ponsel maupun media sosial. Salah satu penguntit saya di masa lalu, pernah sampai punya dua nomor ponsel. Begitu sadar saya memilih cuek saja saat dihubungi, dia pun menggunakan nomor kedua untuk terus mengganggu saya.

Perihal penguntitan, saya juga melihat tak sedikit orang di sosial media sengaja pakai akun palsu (fake account) untuk mengganggu orang lain. Biasanya, yang mereka ganggu adalah influencer yang tidak mereka sukai, entah dari foto, video, cara berpakaian, berat badan, hingga saat mereka berbagi pendapat dan pandangan hidup. 

Bila si sasaran memblokir, mereka lantas mengganti akun dan mulai lagi merundung. Pelaku semacam ini juga dikenal dengan sebutan troll.

Lalu, bagaimana? Apakah berarti fitur blokir tidak berguna dan hanya untuk orang-orang pengecut yang katanya tidak bisa menerima perbedaan pendapat?

Salah satu influencer favorit saya, Tasyaa Sayeed, pernah membahas hal ini dalam salah satu konten Instagram-nya. Saya sepakat dengan Tasya, karena para pengganggu ini ibarat tamu tak diundang, lalu seenaknya mengatur-atur orang yang punya “rumah” (akun), dan marah-marah saat diusir atau kehilangan akses untuk mengintip (mencari-cari sesuatu yang bisa dikomentari). 

Bahkan, sepertinya mereka sudah menemukan kenikmatan dari menyakiti orang lain. Iya, sampai-sampai rela bikin akun baru berkali-kali, khusus mengganggu orang yang tidak mereka sukai dan sudah berani memblokir mereka.

Saya akui, saya sendiri juga bukan orang sempurna. Saya pun pernah menjadi perundung dan hingga kini masih menyesalinya. Namun, saya memutuskan untuk belajar berubah menjadi lebih baik.

Kita Berhak Hidup Damai

Memang, setiap orang berbeda dan punya pandangan hidup masing-masing. Kita tidak bisa mengubah mereka, sama seperti mereka tak berhak memaksa kita berubah sesuai kemauan mereka. Kita hanya bisa berusaha menerapkan batasan, demi kenyamanan dan kesehatan mental kita.

Dianggap pengecut hanya karena memilih memanfaatkan fitur blokir? Kenapa tidak? Ada orang yang menggunakannya karena ingin lari dari tanggung jawab dan kesalahan. Tapi ada juga yang menggunakannya karena malas berurusan dengan penggila drama, termasuk netizen julid yang entah kenapa selalu gemar mencari gara-gara.

Mereka yang menyebut kita pengecut bisa jadi cuma berusaha melakukan gaslighting, agar kita tetap membuka peluang bagi mereka untuk terus-menerus menyakiti kita.

Menurut situs Halodoc, gaslighting ini merujuk pada manipulasi seseorang untuk terlihat berkuasa dan dapat mengontrol orang lain. Caranya dengan membuat korbannya tidak yakin dengan dirinya.  

Perbedaan pendapat memang tidak bisa dihindari. Namun, siapa sih, yang tahan dirongrong tanpa henti, hanya gara-gara beda pendapat maupun pilihan?

“Gue santuy aja tuh, sama komen-komen julid mereka di medsos gue.” Nah tapi, masalahnya ‘kan, tidak semua orang punya kesabaran yang sama? Masa iya hal sesederhana ini harus diingatkan berkali-kali, sih?

Lagipula, bukankah kita masih punya banyak urusan lain yang lebih penting di dunia nyata?

Ruby Astari

Sehari-hari bekerja sebagai translator dan author. Ia juga seorang blogger dan banyak menulis sebagai bagian dari ekspresi dirinya sebagai perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!