Difoto Tanpa Izin dan Disebar ke Medsos: Mahasiswa Baru Jadi Incaran KBGO

Baru masuk kuliah, beberapa mahasiswa baru (maba) sudah menerima ini: difoto tanpa izin dan disebarkan ke media sosial. Mahasiswa baru menjadi incaran kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Pernah gak sih, kamu dengar cerita kalau ada maba (mahasiswa baru) yang fotonya disebar tanpa persetujuan dan dikomenin seksis di akun-akun gosip kampus?

Atau ada yang menandai maba yang dianggap menarik, dikepoin kontak personal mereka sampai dibikin nggak nyaman? 

Hati-hati! Itu termasuk modus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang lagi marak terjadi di kampus. Termasuk, saat masa orientasi yang korbannya banyak menyasar maba. Berdasarkan panduan yang dirilis Safenet, KBGO ini merujuk pada jenis kekerasan yang difasilitasi teknologi (ranah online), dengan maksud atau niatan melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. 

Beberapa aktivitas yang dikategorikan KBGO di antaranya, pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan termasuk menguntit atau stalking, perusakan reputasi dan kredibilitas hingga pelecehan di ranah online berupa online harassment, komentar kasar/seksis, ujaran kebencian, hingga penggunaan gambar tak senonoh. 

Saffanah Fajar dari P3 EM Universitas Brawijaya (UB) bercerita, selama masa ospek kampusnya tahun 2020/2021, setidaknya ada 20 laporan lebih kasus KBGO yang diterima lembaganya. Pelakunya berjumlah 7 orang yang merupakan bagian dari mahasiswa UB. 

“Pelaku sudah dilaporkan ke rektorat,” ujar Saffanah dalam diskusi KBGO pada Masa Orientasi MABA yang diselenggarakan Perempuan Mahardhika secara daring, Jumat (10/9/2021). 

Di Universitas Brawijaya, menurutnya memang sudah ada Peraturan rektor No. 70 tahun 2020 yang menjadi payung hukum untuk proses penanganan kekerasan seksual di kampus yang berada di Malang, Jawa Timur itu. Tapi, perjuangan belum berarti sudah selesai. Sebab, aturan itu mesti dikawal agar bisa diimplementasikan sampai level fakultas termasuk penyediaan unit khusus penanganan kekerasan seksual (KS). 

“Kita lagi proses sosialisasi dan konsolidasi ke BEM Fakultas untuk mendesak Kepala Dekan, segera membentuk unit itu,” imbuh dia. 

Sheila Rotsati dari GREAT Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga bercerita, KBGO memang menjadi salah satu ancaman serius isu KS yang terjadi di kampusnya. Laporan Pusat Krisis UPI per Mei 2020 hingga Januari 2021, ada total 41 kasus KS. Jenis yang paling banyak dilaporkan adalah pelecehan seksual dan KBGO. 

Untuk KBGO, pola yang banyak terjadi mayoritas kepada mahasiswi ini adalah revenge porn atau ancaman penyebaran konten intim agar korban melakukan apa yang diinginkan pelaku, hingga penyebaran foto tanpa izin di akun media sosial seperti IG. 

“Di akun-akun kampus cantik, misalnya UPI Cantik. Itu kecenderungan ada objektivikasi,” kata Sheila. 

Perhatian kampus terhadap isu KS di kampus UPI memang baru setahun ini ditanggapi serius dan per Mei 2020 baru memiliki mekanisme pengaduan kasus. Sheila bilang, pada tahun 2019 bahkan kampusnya itu, pernah ada upaya pemberhentian edukasi KS dari pihak kampus. 

“(Edukasi) menempel pamflet di tempat-tempat strategis, tapi pihak kampus sengaja mencopot paksa,” ujarnya. 

Baru pada tahun 2020, kesadaran soal isu KS termasuk KBGO semakin gencar. Salah satu buktinya, adanya booklet panduan penanganan KBGO yang disosialisasikan ke panitia ospek. Namun memang, sesama mahasiswa baru masih belum diedukasi dengan optimal. 

Pusat Krisis UPI mencatat, pada masa orientasi tahun ini, juga masih menerima laporan pola KBGO berupa foto tangkapan layar (screenshot) maba yang beredar tanpa izin. 

“Ini kecenderungan objektivikasi. Tidak ke maba edukasinya, tapi (masih) ke panitia saja,” kata Sheila. 

Serupa di UB dan UPI, Arinda Widyani dari BEM FAPERTA & Komite Anti KS Universitas Hasanuddin pun mengungkap hal serupa. Objektifikasi maba di kampusnya banyak terjadi dengan pola-pola pelecehan maba dengan difoto ataupun direkam video tanpa persetujuan saat zoom meeting, diviralkan di sosmed dan dikomentari tidak senonoh. 

“Banyak sekali kekerasan seksual di lingkup kampus dan belum ada lembaga secara khusus menangani hal itu,” ungkap Arinda. 

Berangkat dari situ, munculah Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin untuk menjadi lembaga independen yang menangani kasus kekerasan seksual termasuk KBGO di Unhas. Per Juli 2020 hingga Maret 2021, Komite telah menerima 9 kasus yang dilaporkan sesuai prosedur. 

“Korban mayoritas mahasiswa, pelakunya juga. KBGO di masa pandemi, berpotensi meningkat,” kata Arinda. 

Kampus dan Sederet Ganjalan Penanganan KS

Lingkungan kampus belum benar-benar menjadi ruang aman dari ancaman kasus kekerasan seksual. Proses penanganannya pun, masih banyak tantangan yang jadi ganjalan. Ekosistem kampus yang masih melanggengkan patriarki hingga seksisme tak dipungkiri jadi sebab utama. 

“Hanya beberapa lembaga yang tertarik bahas isu ini. Kampus belum merespons pengawalan isu kekerasan seksual,” ujar Arinda yang merupakan mahasiswa kampus di Makassar itu. 

Ketidakseriusan kampus dalam menangani isu KS di kampus ini pun, diungkapkan oleh Adinda Adzima dari DEMA FISIP UIN Hidayatullah. Tidak adanya lembaga yang menaungi isu kekerasan seksual di kampus hingga langkah penyelesaian yang cenderung ditempuh dengan “cara kekeluargaan” jadi masalah lazim yang terjadi. Sementara, korban yang mengalami trauma mendalam dibiarkan menanggung derita sendiri dan terabaikan. 

“Pelecehan dan KS banyak juga yang tidak dilaporkan dan tidak diselesaikan dengan baik,” kata Adinda. 

Secara lebih luas, Veni Siregar dari Forum Pengada Layanan mengungkap masalah ketimpangan relasi kuasa di kampus yang juga jadi sebab. Sehingga, isu KS di kampus banyak yang mangkrak atau bahkan tak terendus sama sekali.

Di sisi lain, ketimpangan dalam melihat kebutuhan korban juga masih jadi kendala. Seperti, impunitas atau kekebalan pelaku KS sampai pemulihan korban yang begitu minim. 

“KS tidak dikenali, jaminan lemah oleh negara, potensi kriminalisasi, dan dilakukan mandiri (pemulihan),” terang Veni. 

Mendorong KBGO dalam RUU PKS

Maria Ulfah Anshor dari Komnas Perempuan mendorong agar KBGO yang marak terjadi di era serba daring ini juga menjadi bagian dari perhatian RUU PKS.

Di samping berbagai poin-poin penyempurnaan yang juga belum masuk dalam RUU PKS seperti penegasan tindak kekerasan seksual di luar hubungan seksual, perlindungan hak korban hingga perumusan ketentuan delegatif. 

“Merumuskan lagi, KBGO yang belum masuk (RUU PKS),” ujar Maria Ulfah kepada Wakil Ketua Badan Legislatif/ Baleg DPR RI, Willy Aditya, yang juga hadir dalam forum itu. 

Menanggapi itu, Willy tak menampik bahwa isu KBGO menjadi keniscayaan atas perkembangan era digital ini. Dimana kasus kekerasan seksual juga merambah ke ruang-ruang daring. 

“Tentu ini menjadi concern (perhatian),” kata Willy. 

Di ranah pembuat UU, menurut Willy, memang terdapat tantangan tersendiri yang terjadi kaitannya untuk pengesahaan RUU PKS. Terjadi ‘pertarungan politik’ yang juga tidak mudah. 

“DPR itu bukan ruang kosong, ada 9 fraksi, Nasdem salah satunya, yang 59 anggotanya menandatangani untuk mengusulkan UU ini (RUU PKS) tetap masuk Prolegnas. Kendalanya? Ya ini ruang politik,” kata dia. 

Pihaknya bilang, saat ini tengah berupaya melakukan langkah-langkah seperti simulasi, harmonisasi dan penyisiran terhadap aturan-aturan untuk upaya penanganan isu kekerasan seksual ini. Selain itu, juga membangun komunikasi dan kerja sama seperti dengan Polri dan Kejaksaan. 

“Tidak hanya sosialisasi, mereka bisa melayani korban, pencegahan dan bagaimana dukungan layanan,” katanya. 

“Teman-teman civil society juga perlu membangun narasi (mendesaknya RUU PKS), (seperti) Marah Rusli bagaimana menggugat, Siti Nurbaya, ternyata kawin paksa ini seperti ini,” katanya

Untuk terus mendorong RUU PKS bisa disahkan, Willy juga mengajak agar publik bisa berpartisipasi dalam menciptakan narasi-narasi yang bisa menggugah urgensi pengesahan aturan yang berpihak pada korban kekerasan seksual ini.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!