“Tes Keperawanan” Membuat Kami Mengalami Trauma Panjang

Human Rights Watch (HRW), melakukan wawancara terhadap para perempuan penyintas “tes keperawanan” di lingkaran kepolisian. Mereka mengungkapkan pengalaman dan rasa traumatis mereka yang tak hilang

Suatu hari di tahun 2008, satu per satu perempuan masuk ke dalam sebuah ruangan. Saat telah berjumlah 20 orang, mereka pun diminta membuka baju dałam hitungan tiga menit. Bagian tubuh mereka lalu diperiksa, mulai dari mata, hidung, mulut, dan lainnya. Kondisi kesehatan ambeien pun diperiksa. Mau tak mau, mereka harus membuka celana, dengan posisi nungging. 

Belum usai sampai di situ, mereka diminta memasuki sebuah ruangan lagi. Dua peserta berjalan beriringan. Lalu, tibalah keduanya menjalani proses selanjutnya yang disebut, “tes keperawanan”.

Dokter seolah tanpa risih, lalu memasukkan dua jarinya ke vagina dengan memakai gel. Rasanya sakit sekali, mereka hanya sanggup mengeluh. Tak tahan, sebagian mereka, bahkan ada yang  sampai pingsan. 

“Rasa saya… sangat malu sekali karena di dalam ruangannya tidak tertutup. Teman-teman kita yang 20 orang bisa melihat kita. Padahal pribadi sekali, bahkan sudah merasakan mału, merasakan sakit lagi,” ujar salah seorang perempuan yang mendaftarkan diri sebagai Polwan di Makassar di 2008.

Pengakuan ini tertulis dalam laporan Human Rights Watch (HRW), dipublikasikan 17 November 2014. 

Perempuan berusia 24 tahun itu, berpendapat peraturan “keperawanan” sebenarnya tidak perlu. Baginya, tes untuk penyakit dalam akan lebih bermanfaat karena pendidikan Polwan yang memang begitu keras. Sedangkan, “tes keperawanan” tidak ada kaitannya sama sekali. 

Seorang perempuan lainnya berusia 19 tahun yang melakukan “tes keperawanan” di Pekanbaru tahun 2014 mengatakan pula pada HRW, bahwa pengalamannya tesnya pernah dilakukan di aula Sekolah Kepolisian Negara.

Kala itu, tesnya dilakukan dengan memasang tirai supaya orang luar tidak bisa lihat ke dalam. Jumlah orang di dalam ruangan itu pun sama, sekitar 20 orang yang diminta masuk ke aula dan membuka baju, termasuk BH dan celana dalam. 

“Sangat memalukan. Hanya yang sedang menstruasi bisa tetap pakai celana dalam,” ujar perempuan itu. 

Kala itu, dia kebetulan mendapatkan giliran paling akhir. Pegawai medis yang sudah tampak begitu capek, lalu memerintahkan mereka duduk di meja khusus perempuan melahirkan. Dokter perempuan lalu melakukan “tes keperawanan” dengan tes dua jari. 

“Saya tidak mau ingat lagi, pengalaman buruk itu. Memalukan. Mengapa kita harus buka baju di depan orang yang tidak dikenal? Ya… (penguji “tes keperawanan”) maman perempuan, tapi kami tidak saling kenal. Itu diskriminasi. Saya rasa itu tidak perlu,” ungkapnya.

Kejadian serupa juga sempat terjadi di Bandung. Salah seorang perempuan berusia 18 tahun pada 2014 mengaku pernah menjalani “tes keperawanan” sebagai syarat masuk kepolisian. Panitia mengatakan, di dalam tes kesehatan ada tes Bagian dalam.

Betapa kagetnya, ternyata tes yang dimaksud itu adalah “tes keperawanan”. Tak hanya dia yang mengalami shock, ada temannya juga yang sampan pingsan akibat stres. 

“Saya merasa malu, deg-degan, tapi saya juga tidak bisa menolak. Kalau saya menolak, saya tidak bisa mengikuti tes polwan,” katanya. 

Urgensi “Tes Keperawanan” Dihapuskan

Sederet cerita di atas, menggambarkan betapa pengalaman “tes keperawanan” bagi perempuan utamanya di kepolisian, menimbulkan berbagai masalah: trauma berkepanjangan dan merendahkan harkat martabat perempuan.

Andreas Harsono, seorang peneliti di Human Rights Watch (HRW), pernah melakukan wawancara terhadap perempuan penyintas “tes keperawanan” di lingkaran kepolisian mengungkapkan pengalaman traumatis mereka. 

Kala itu, ada seorang perempuan yang pernah menjalani “tes keperawanan” dan baru saja menikah. Bulan madu di Bali yang semestinya indah, diceritakannya malah menjadi ‘petaka’ karena rasa trauma yang masih terasa

“Saya tidak bisa berhubungan seksual dengan suami saya. Saya trauma dengan sinar lampu yang diarahkan ke selangkangan saya,” kata Andreas menirukan ucapan perempuan itu kala hadir dalam Konferensi Pers Penghapusan “Tes Keperawanan” Angkatan Bersenjata: Kemenangan untuk Perempuan, Rabu (1/9/2021).    

Ada pula, perempuan pensiunan TNI yang pernah menjalani “tes keperawanan” terisak dan menangis saat mengingat kembali dan menceritakan kejadian kelamnya itu. Meski sudah terjadi bertahun-tahun silam, namun rasa sakit itu masih membekas. 

“Saya ingin melupakan ini semua. Sekali saja, saya cerita,” kata Andreas. 

Selain menyakitkan, Andreas menilai “tes keperawanan” ini merupakan praktik yang merendahkan dan diskriminatif terhadap perempuan. Apalagi, secara ilmiah kesehatan pun juga tidak dapat dibuktikan. Termasuk, sekelas organisasi kesehatan Dunia seperti WHO. 

“Omong kosong lah, kalau katanya ada tes laki-laki, akan kami tes. Itu balon-balon (bakal calon). Saya gak percaya,” katanya. 

Berdasarkan laman resmi HRW, lembaga itu pernah melakukan wawancara terhadap para polwan maupun pelamar polwan di enam kota di Indonesia yang telah menjalani “tes keperawanan”. Dari situ diketahui, pelamar yang terbukti “tidak perawan” bukan berarti tidak bisa masuk kepolisian, tapi semua narasumber menjelaskan, tes itu begitu menyakitkan dan menimbulkan trauma. 

Antara Mei Hingga Oktober 2014, HRW mewawancarai delapan polisi dan pensiunan polisi, maupun para pelamar polwan, plus dokter polisi, tim evaluasi seleksi polisi, anggota Komisi Kepolisian Nasional, serta aktivis perempuan. Wawancara dilakukan di Bandung, Jakarta, Padang, Pekanbaru, Makassar dan Medan. Semua perempuan yang telah menjalani tes mengatakan, rekan mereka satu angkatan juga melewati tes serupa. 

Tes Keperawanan” adalah Praktik usang

Pemberlakukan “tes keperawanan” berlandaskan pada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 36 menyebutkan calon anggota perwira perempuan harus menjalani pemeriksaan “obstetrics dan gynaecology” (rahim dan genitalia). 

Peraturan itu, memang tak secara gamblang menyebutkan “tes keperawanan”. Namun, penelusuran HRW terhadap dua polwan senior mengatakan “tes keperawan” sudah menjadi praktik lama.

Tes dilakukan pada awal proses seleksi kesehatan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaan rahim dan genitalia termasuk “tes dua jari” untuk menguji “keperawanan” pelamar polwan.

Seorang pensiunan polwan itu menyatakan saat seleksi angkatan 1965 mereka juga menjalani tes keperawanan— dan dampak traumanya bisa berkepanjangan.

Yefri Heriyani, direktur Nurani Perempuan di Padang, yang kenal dan sering bekerja sama dengan banyak polwan selama 12 tahun terakhir, pun mengatakan hal serupa bahwa “tes keperawanan” memang bisa menimbulkan trauma. 

“Saya banyak kawan dari kepolisian yang menceritakan sekian puluh tahun lalu mereka menjalani tes keperawanan. Menurut mereka, sangat menyakitkan sebetulnya. Negara tidak meyakini mereka orang yang baik-baik dan akan bekerja dengan baik. Mereka mengalami trauma ketika menghadapi tes keperawanan, merasa tidak nyaman, dan upaya pemulihan tidak dijalankan. Ini berdampak pada kehidupan mereka jangka panjang,” kata Yefri kepada HRW.   

Komisaris Besar Sri Rumiati, yang juga seorang psikolog polisi dan pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Jakarta, menyampaikan dirinya masuk polisi pada tahun 1984. Saat itu, dirinya juga mesti menjalani “tes keperawanan” di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Antara tahun 1965 sampán 2002, polisi dan militer memang berada dalam satu kesatuan. 

Sebagai psikolog, Sri juga terlibat dalam serangkaian proses seleksi polisi. Secara internal, dia pernah memprotes terhadap “tes keperawanan” bagi calon polwan itu. 

“Saya cinta institusi saya. Saya ingin, Kepolisian Indonesia menjadi penegak hüküm yang berwibawa. Banyak peraturan di Indonesia—Undang-undang Dasar 1945, UU 1984 ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan UU HAM tahun 1999— melarang diskriminasi terhadap perempuan. Bagaimana kepolisian bisa menegakkan hukum di Indonesia kalau mereka sendiri tidak mematuhi hukum negara?” Ujar Sri kepada HRW. 

Pada tahun 1997, dirinya pernah mengikuti dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat, membahas praktik “tes keperawanan” bersama seorang pengacara, Nursyahbani Katjasungkana. Sayangnya, mereka tidak sepenuhnya berhasil mendesak Dewan menghapus “tes keperawanan” itu. 

Satu dekade lebih setelah itu, pada 2010, Brigadir Jenderal Sigit Sudarmanto, Asisten Kepolisian Bidang Sumber Daya Manusia, mengadakan rapat teknis seleksi calon polisi baru. Di momen itu, dia meminta agar semua tim menghentikan “tes keperawanan”. Namun rekan-rekannya, termasuk yang bekerja untuk Pusat Kedokteran dan Kesehatan, menentangnya. 

“Apakah kita mau pelacur masuk polisi?” ujar mereka. 

Sigit tak patah arang, dia terus mendesak dan mempertanyakan soal penelitian ilmiah mana yang menyatakan bahwa perempuan yang tidak perawan akan kurang produktif dibandingkan perawan. 

“Apakah ada penelitian ilmiah yang menyatakan perempuan yang tidak perawan pasti lebih buruk dibandingkan yang masih perawan?” tegasnya.

Kesimpulan pada pertemuan itu, Jenderal Sigit sebenarnya telah memerintahkan “tes keperawanan” dihentikan. 

“Saya tidak tahu mengapa, itu masih berlangsung sampai sekarang?” Katanya.

Veryanto Sitohang, Direktur Eksekutif Aliansi Sumut Bersatu —Sebuah organisasi non-pemerintah di Medan— dan anggota eksternal untuk merekrut polisi di Sumatera Utara tahun 2006-2008 mengatakan, dirinya bekerja untuk hak asasi perempuan dan anak saat Kapolres Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, meminta dirinya menjadi tim dari para dokter, psikiater dan akademisi. 

Saat itu, dia sudah mengetahui bahwa akan ada “tes keperawanan” dalam proses perekrutan (khusus perempuan). Tes itu dilakukan di Rumah Sakit Polisi Bhayangkara di Medan, dengan pengawasan dokter polisi di Bhayangkara. Dia sempati mengusulkan kepada tim internal, yang beranggotakan para polisi, untuk tidak melakukan “tes keperawanan”.

Tim internal bilang bakal mempertimbangkan usulan Veryanto. Tapi, mereka juga tak bisa berbuat banyak, sebab “tes keperawanan” itu merupakan salah satu syarat yang ditetapkan oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Mereka lantas tetap melakukannya. 

“Saya tulis keberatan saya. Namun, dia tidak bisa menghentikan tes memalukan itu,” ujar Veryanto. 

Human Rights Watch mendokumentasikan “tes keperawanan”  di beberapa negara lain, termasuk Mesir, India dan Afghanistan. Human Rights Watch juga kritik “tes keperawanan” bagi anak sekolah di beberapa daerah di Indonesia. Tes tersebut melanggar hak asasi, penilaiannya subjektif dan sama sekali tak ilmiah.

Menuntut Jaminan “Tes Keperawanan” Dihapuskan

Kepala Pusat Kesehatan TNI Angkatan Darat memastikan tidak ada lagi “tes keperawanan” atas perempuan yang mendaftar jadi kandidat anggota Korps Wanita TNI Angkatan Darat (Kowad). 

“Ini diatur dalam penyempurnaan petunjuk teknis pemeriksaan uji badan TNI Angkatan Darat nomor B/1372/VI/2021 tanggal 14 Juni 2021,” ujar Mayjen TNI dr. Budiman dalam diskusi daring ole change.org Indonesia, Rabu (1/9/2021). 

Berdasarkan instruksi Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Andhika Perkasa, menginstruksikan agar materi uji badan harus disesuaikan dengan dinamika serta perubahan zaman yang ada. Menurutnya, hymen atau “selaput dara” tidak lagi jadi tujuan pemeriksaan uji badan personel TNI AD. Kata hymen itu juga akan dihilangkan dalam formulir pemeriksaan uji badan. Selain itu, pemeriksaan kesehatan pun akan dilakukan dengan menghargai privasi. 

“Di dalam ruangan itu terbatas hanya dokter pemeriksa, seorang dokter obgyn dan satu orang bidan serta salon yang akan diperiksa,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Budiman pun menyampaikan pihaknya telah menyediakan ‘hotline’ yang bisa diakses secara terbuka bagi masyarakat yang ingin melaporkan adanya pelanggaran termasuk soal “tes keperawanan” apalagi di lapangan masih ada yang menjalankan. Hal itu, menurutnya bisa menjadi bentuk jaminan dari pihaknya. 

Namun begitu, pensiunan perwira tinggi polisi wanita, Brigadir Jenderal (Purn) Sri Rumiyati menekankan perlunya “hitam di atas putih” untuk memastikan “tes keperawanan” itu benar-benar tidak lagi akan dijalankan di lingkungan kepolisian. Sebab menurutnya, pemberlakuan “tes keperawanan” ini sangatlah tidak adil bagi perempuan: tidak bisa dipakai mengukur moralitas seseorang. 

“Tidak ada penelitian yang menunjukkan, kalau sudah rusak hymennya sudah tidak perawan, berarti rusak moralnya. Karena itulah, kita harus memberikan seluas-luasnya kesempatan kepada anak bangsa untuk akut mengabdi kepada negara,” ujarnya.

Di satu sisi, Dokter dan Penggerak Isu Kesetaraan Gender, dr. Putri Widi juga menegaskan, menjaga agar “tes keperawanan” tidak lagi muncul dałam seleksi kepolisian adalah hal penting. Sebab, jaka terus terjadi pembiaran maka institusi negara baginya telah melakukan Bentuk kekerasan seksual secara sistematis terhadap perempuan karena diskriminatif terhadap gender tertentu. Sementara, dari sisi medis, “tes keperawanan” juga tidak bisa dibuktikan.

“Melanggar kesehatan reproduksi berbasis gender, kenapa hanya perempuan? Ini karena kecenderungan sosial dan kultural (patriarki),” pungkas Putri.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!