Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual

Laki-laki juga bisa jadi korban kekerasan seksual. Mereka mengalami tantangan yang tak mudah jika menjadi korban, yaitu harus menghadapi persepsi sosial dan stereotipe tentang laki-laki yang harus maskulin.

Bisakah laki-laki menjadi korban kekerasan seksual? Jawabannya: bisa.

Komnas Perempuan dalam Instagram-nya @Komnasperempuan pada 7 September 2021 menulis tentang  laki-laki dewasa yang juga bisa menjadi korban kekerasan seksual, walaupun kasus mereka seringkali dibungkam oleh stigma dan stereotipe tentang maskulinitas.

Laki-laki dewasa mengalami tantangan yang tak mudah jika menerima kekerasan seksual, mereka menghadapi tantangan soal persepsi sosial, stereotipe tentang laki-laki  yang harus maskulin. Biasanya laki-laki dewasa akan malu atau ragu untuk bersuara karena ada kepercayaan jika laki-laki dewasa akan cukup kuat untuk melawan pelaku.

Apa saja dampak yang dialami laki-laki dewasa yang menjadi korban? Mereka akan mengalami kecemasan, depresi, stres pasca trauma dan juga gangguan makan.

Lalu gelisah, tidak bisa tidur, tidak bisa rileks, merasa bersalah karena tidak bisa memutus kekerasan yang ia alami, takut mengungkap karena ada rasa takut orang tidak akan percaya, lalu menarik diri dari hubungan pertemanan karena merasa kurang maskulin karena telah mengalami kekerasan seksual.

Salah satu penyebab laki-laki sulit sekali bersuara adalah: karena selama ini laki-laki  selalu dikasih pameo bahwa mereka tak boleh menangis, harus selalu kuat, harus selalu tangguh. Selain itu harus bisa tahan banting dan tak boleh mengeluh.

Ada  sekelumit lirik lagu berjudul ‘Superman’ milik The Lucky Laki, yang menggambarkan kondisi patriarki yang masih langgeng hingga kini. Termasuk dalam kasus kekerasan seksual: korban laki-laki disepelekan, dibungkam, dan diabaikan.

Kondisi ini mengingatkan saya pada korban, salah satu pekerja di KPI. Hampir sedekade lamanya, seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan laki-laki dewasa (sudah beristri, memiliki anak dan menjadi tulang punggung keluarga), diduga mendapatkan perundungan, kekerasan hingga pelecehan seksual oleh 8 orang rekan kerjanya, yang juga segerombolan laki-laki. 

Selama bertahun-tahun itu, korban mengalami trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Konstruksi sosial yang menuntut laki-laki menjadi sosok yang tak boleh mengeluh, juga semakin menekan korban. 

Lambatnya penanganan atas korban ini boleh jadi memang tak begitu mengagetkan, mengingat institusi kepolisian kita sampai saat ini, masih mengamini budaya patriarki. Barangkali, mereka antara percaya tak percaya, mengingat korban adalah laki-laki. Pemahaman patriarki yang selama ini mengakar, memposisikan laki-laki sebagai kelompok yang superior, yang kuat, dan yang tak mungkin untuk mendapatkan perundungan, apalagi pelecehan seksual.

Belum lagi, kurangnya kesadaran bahwa laki-laki nyatanya juga bisa jadi korban kekerasan seksual dan perundungan, menjadikan maskulinitas toksik (toxic masculinity) tetap langgeng. Laki-laki korban kekerasan seksual, seolah tak layak untuk membela diri, diremehkan dan dikondisikan tidak bisa melawan. Jika mengadu, dia dicap kurang jantan.

Mendesaknya RUU PKS

Kasus yang menimpa pegawai laki-laki di KPI, tentunya jadi preseden buruk bagi penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Utamanya di lembaga negara, yang tak lain adalah ‘anak kandung’ yang lahir di era reformasi.

Dengan mengusung semangat kerja berlandaskan hak asasi manusia (HAM), mestinya lembaga ini getol memperjuangkan penghapusan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tubuhnya sendiri. Apalagi sudah bertahun-tahun lamanya.

KPI sebagai lembaga yang seolah tampil galak mengawasi penyiaran televisi seperti sensor tubuh perempuan sampai bikini dalam film kartun pun kena blur, sungguh ironis melempem dalam penindakan kasus kekerasan seksual.

Jauh panggang daripada api pun terlihat dalam pengaplikasian aturan-aturan di tubuh KPI. Pasal-pasal dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), secara konsep, menjunjung tinggi penghormatan atas HAM, nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antargolongan, nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan, hak privasi, sampai pada pengaturan program siaran bermuatan seksual hingga kekerasan. Namun sayangnya, hal itu gagal diterapkan di internal KPI.

Maka rasanya tak berlebihan, jika mengatakan KPI itu ibarat ‘mengaum ke luar, mengeong ke dalam’. Apalagi, jika benar bahwa KPI sebetulnya telah mengetahui rentetan kejadian perundungan hingga pelecehan seksual yang menimpa korban tersebut, namun tidak ada tindakan tegas yang diambil.

Lemahnya pengawasan internal KPI, juga tercermin dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.

Dalam pasal khusus soal Tata Tertib Anggota KPI, tak satu pasal pun memuat larangan melakukan tindakan kekerasan apalagi kekerasan seksual. Paling jauh hanya ada pasal 33 ayat 5 berbunyi: Antar anggota KPI wajib saling menghargai dan menghormati pendapat masing-masing sesuai fungsi, wewenang, tugas dan kewajibannya.

Tak pelak, laki-laki korban kekerasan seksual tersebut, mesti melewati hari-hari di bawah rasa trauma dan ketakutan atas kejahatan seksual dan perampasan HAM, tanpa adanya perlindungan dan jaminan.

Apa yang dialami korban di KPI ini, boleh jadi dan sangat kuat kemungkinan hanya satu dari sekian kasus yang bagai puncak gunung es. Lemahnya penanganan dan penegakan hukum, hingga stigmatisasi yang kuat di tengah masyarakat kita, membuat banyak korban pelecehan justru memilih diam.

Krisis inilah yang kembali mengingatkan kita betapa pentingnya keberadaan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sudah sekian lama terbengkalai di gedung parlemen.

Ironinya, RUU PKS itu kini tengah memasuki babak baru di tangan DPR. Alih-alih didambakan segera berlaku, draf beleid ini justru tengah berubah lagi. Badan Legislatif DPR mengubah judulnya jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kata ‘penghapusan’ yang membawa semangat melenyapkan kekerasan seksual pun kini lebih dulu lenyap. Berikut 9 jenis kekerasan seksual yang turut hilang dan menyisakan 4 saja yakni pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, dan pelecehan seksual.

Perubahan yang terjadi itu, semakin mengecilkan harapan dan kian membuat terjal jalan penghapusan kekerasan seksual. Meski begitu, masih tersisa semangat kita untuk terus menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan seksual. Meski harus dibayar dengan penantian dan perjuangan yang lebih panjang lagi.

Teruntuk DPR, semoga tak sampai menunggu harus berjatuhan makin banyak korban!

Ajo Darisman

Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Saban hari timbul tenggelam dalam liputan ekonomi bisnis. Belajar di Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!