Petaka Bagi Warga, Perempuan Wadas Tolak Pembangunan Tambang Dan Bendungan

Para perempuan Warga Wadas melakukan penolakan atas pembangunan bendungan dan tambang andesit yang akan menjadi petaka bagi perempuan dan warga disana.

Awal September 2021 lalu, para perempuan di Wadas, melakukan open mic secara online bersama para perempuan aktivis lingkungan, mereka menolak pembangunan tambang dan bendungan

Bagi perempuan Wadas, tanah adalah ibu, darah daging mereka: sumber kebahagiaan, sumber keselamatan dan sumber kebijaksanaan hidup. Maka, proyek penambangan batuan andesit dan Bendungan Bener yang ditopang oleh UU Omnibus Law yang membuka keran investasi besar-besaran, bisa menjadi petaka.

Dikutip dari laman resmi kppip.go.id, investasi total bendungan yang menyuplai air di kabupaten Purworejo, Kebumen serta Kulon Progo itu mencapai Rp 2.060 triliun. Bendungan ini direncanakan memiliki kapasitas sebesar 100,94 meter kubik. Targetnya, bendungan ini dapat mengairi lahan seluas 1.940 hektare, menyediakan air baku sebesar 1.500 liter per detik, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 6 Megawatt (MW). 

Penanggung jawab proyek adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Proyek mulai konstruksi 2018 dan rencananya mulai beroperasi 2023. Sementara, sejumlah perusahaan pelat merah yang terlibat dalam proyek ini mulai dari PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT PP (persero) Tbk, dan PT Brantas Abipraya (persero). 

Pada 14 September 2021, Koalisi Advokat untuk Keadilan melayangkan kasasi atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang atas gugatan pada proyek ini. Pendamping hukum warga Wadas itu, tidak puas dengan putusan yang merugikan warga Wadas atas upayanya mempertahankan ruang hidup atas pembangunan yang merugikan mereka.  

PTUN Semarang dinilai telah gagal memahami persoalan yang diperjuangkan oleh masyarakat. Sebab, Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo malah diloloskan. Sementara,  para penggugat malah dihukum dengan  membayar biaya perkara sebesar Rp 480 ribu. 

Gugatan warga Wadas ini, berkaitan dengan izin penetapan lokasi proyek Bendungan Bener, yang menjadi pintu masuk penambangan batuan andesit. Tak hanya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), warga menilai proyek itu juga berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan hingga keselamatan utamanya bagi perempuan.

Puluhan sumber mata air yang tersebar di Desa Wadas terancam hancur. Penopang kehidupan warga setempat itu, bisa saja tergusur. Tak hanya merusak kekayaan alam seperti bambu yang berlimpah, ancaman gangguan pernapasan, kebisingan hingga bencana alam pun tak terelakkan. 

Itulah mengapa, sedari awal para perempuan Wadas menyatakan sikap keberatan dan menolak pembangunan atas nama proyek strategis nasional itu. Namun, upaya para perempuan termasuk melalui rekomendasi Komnas Perempuan pun, diabaikan. 

“Pembangunan yang patriarkis akan mengakibatkan menguatnya kekerasan dan ketidakadilan bagi perempuan,” ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura, melalui keterangan tertulis yang diterima Konde.co, Senin (20/9/2021). 

Pembangunan bendungan Wadas yang ditopang oleh UU Omnibus Law dengan investasi besar-besaran ini, Dinda menilai, bisa jadi petaka seperti munculnya kasus kekerasan sebagaimana yang terjadi dalam setiap konflik agraria. Solidaritas Perempuan mencatat, bentuk-bentuk kekerasan konflik agraria selama ini meliputi intimidasi, pernyataan misoginis, dan serangan terhadap seksualitas perempuan. Cara-cara inilah, yang menurutnya juga digunakan aparat terhadap warga Wadas yang menolak proyek. 

“Omnibus Law Cipta Kerja, akan memasifkan proyek-proyek yang menghancurkan dan menyingkirkan masyarakat atas nama pembangunan dan investasi, sehingga kekerasan terhadap perempuan juga akan semakin menguat,” kata dia.  

Proyek Wadas Dinilai Bermasalah

Kepala Divisi dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muh. Jamil berpandangan Hakim PTUN Semarang semestinya mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya sebagaimana asas in dubio pro natura.  Jatam menilai SK Gubernur Jawa Tengah cacat secara prosedur sekaligus substansi. Penambangan batuan andesit itu, juga dinilai ilegal karena tidak memiliki persetujuan lingkungan hidup dan tanpa izin dari menteri. 

“Petaka karena membahayakan lingkungan hidup dan seluruh kehidupan warga,” kata Jamil. 

Jatam tidak menemukan izin usaha pertambangan batuan andesit sebagai quarry. Pembahasannya proyek tersebut digabung dengan dokumen Amdal bendungan, padahal seharusnya terpisah dan berbeda. Selain itu, penambangan di lokasi yang berisiko bencana wajib mencantumkan dokumen analisis risiko bencana. Sesuai Undang-Undang Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007, pihak yang melanggar mendapatkan denda, pidana penjara, dan pencabutan izin. 

Berdasar catatan Jatam, proyek penambangan dan bendungan Bener ini sebetulnya bukan satu-satunya proyek strategis nasional yang bermasalah karena masih banyak proyek pemerintah yang lekat dengan konflik, koruptif dan merusak lingkungan hidup. 

Jatam menghitung 131 proyek strategis nasional yang bermasalah, misalnya rencana 56 proyek pembangkit energi kotor dan berbahaya batubara dengan total kapasitas rencana pembangkitan mencapai 13.615 megawatt. Contoh lainnya adalah penambangan pasir laut di kepulauan Kodingareng dan reklamasi Makassar New Port (MNP) di Sulawesi Selatan. Proyek itu membuat nelayan mengalami kriminalisasi, ruang hidup mereka dirampas, ekosistem laut rusak dan tercemar. Izin tambang bermasalah karena ada dugaan korupsi dan praktek ijon politik. 

Berbagai proyek strategis nasional bermasalah seperti kasus Wadas mendapat payung hukum, yakni Perpres 109 tahun 2020 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang dikeluarkan sejak tahun lalu. Proyek ini sejalan dengan UU Cipta Kerja Omnibus Law. 

“Proyek di Wadas dan yang bermasalah harus dievaluasi dan dibatalkan,” kata Jamil. 

Senada, Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia menyatakan Putusan hakim dalam kasus Wadas menggenapi fakta bahwa UU Cipta Kerja hanya untuk kepentingan investasi atas nama proyek strategis nasional. Jika ada celah yang tersisa yang bisa digunakan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan, maka Omnibus Law punya lebih banyak pintu untuk menutup celah itu. Pada akhirnya di tangan hakim-hakim lah celah itu ditafsirkan. 

“Sayangnya, putusan wadas menjadi lonceng kematian bagi warga wadas, di mana putusan pengadilan ikut pula mengabaikan aspek keadilan, lingkungan dan keselamatan masyarakat lokal hanya untuk atas nama proyek strategis nasional,” ujar Era. 

Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menambahkan putusan pengadilan pada kasus Wadas mengabaikan pertimbangan lingkungan hidup, sosial, dan perempuan. Putusan itu manifestasi Omnibus Law yang menunjukkan karpet merah bagi investasi. 

“Bagi kami regulasi seperti UU Cilaka adalah pengkhianatan tertinggi terhadap hak rakyat dan konstitusi,” kata Wahyu. 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Sasmito Madrim mengatakan AJI mendorong jurnalis untuk bersikap independen dalam menulis konflik Wadas dan mengutamakan pemenuhan Hak Asasi Manusia warga. Jurnalis juga tidak dibenarkan menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik. 

“Kami mendorong lebih banyak lagi media, termasuk media nasional untuk menyuarakan mereka yang terpinggir,” kata Sasmito. 

Jaringan masyarakat sipil, yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, Solidaritas Perempuan, Wahana Lingkungan Hidup, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa), dan Wadon Wadas ini sempat pula memprotes putusan Majelis Hakim tertanggal 24 Agustus 2021.

Mereka menilai proyek Wadas sebagai bentuk perampasan dan penghancuran ruang hidup yang merupakan bagian dari hak hidup. Perampasan hak hidup itu melanggar Pasal 6 Konvensi Hak Sipil dan Politik pada penjelasan umum PBB Nomor 36 Tahun 2018. Perampasan itu menyangkut segala tindakan negara baik langsung maupun tidak langsung yang mengancam kehidupan seseorang maupun kolektif. Tanah dan sumber daya alam merupakan sumber kehidupan warga Wadas. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!