Sekolah Tatap Muka Dibuka, Anak Bukan Hanya Tanggungjawab Perempuan

Sekolah tatap muka sudah dimulai di Jakarta pada 30 Agustus 2021. Aktivis perempuan, Budhis Utami mengingatkan bahwa tanggungjawab mengantar jemput anak dan memastikan kesehatan anak selama sekolah, bukan cuma tanggungjawab perempuan

Ayu merasa senang ketika Gendis, anak perempuannya sudah mulai masuk sekolah tatap muka di salah satu SMP di Jakarta Selatan.

Gendis (12 tahun) sangat antusias karena sudah merasa jenuh belajar secara daring, salah satunya dikarenakan selama ini tidak bisa bertemu dengan guru dan teman-teman barunya yang selama ini baru berkenalan melalui zoom saja.

Setelah ikut vaksin, Ayu yakin Gendis bisa sekolah dengan tetap menjalani Prokes. Gendis juga merasa antusias karena akan bertemu teman-temannya yang baru.

Kemarin mulai 30 Agustus 2021, Gendis masuk seminggu sekali setiap hari Senin, mulai jam 8.00- 11.00 WIB. Ayu hanya menitip pesan untuk Gendis agar selalu ingat Prokes, sekolah juga melakukannya, seperti ada aturan hanya yang sudah suntik vaksin yang boleh masuk, satu kelas diisi hanya 14 orang saja yang boleh masuk.

Sekolah tatap muka ini juga dilakukan hanya seminggu sekali karena ini dilakukan untuk percobaan. Setiap ke sekolah, Gendis diantar oleh ayahnya karena Ayu harus mengurus dua anaknya yang lain.

Pembukaan sekolah tatap muka memang tengah dilakukan di sejumlah wilayah Indonesia. DKI Jakarta misalnya, membuka 610 sekolah mulai 30 Agustus 2021 dengan protokol ketat.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merespons rencana tersebut. Dalam suratnya, IDAI mempertimbangkan sejumlah hal dalam pembukaan sekolah tatap muka itu. Termasuk, mesti sudah dimulainya imunisasi atau vaksinasi COVID-19 pada anak 12 tahun ke atas. Sedangkan, guru dan perangkat sekolah lainnya juga harus sudah divaksinasi.

Kaitannya ini, orangtua juga diberikan kebebasan mengambil keputusan masuk sekolah (tatap muka atau daring) atau tidak untuk semua anak. Sehingga, ini tidak bersifat pemaksaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak dan orang tua.

Ayu adalah salah satu contoh dimana ia memberikan kebebasan putusan pada anak perempuannya. Ia juga yakin karena suaminya juga mendukung dan mengantar Gendis ke sekolah, jadi ada pembagian kerja dan komunikasi antar pasangan dan anak dalam memutuskan sesuatu.

Tak banyak yang seperti Ayu dan suaminya lakukan, yaitu ada komunikasi dan pembagian kerja untuk anak.

Selama ini banyak beban pengasuhan dan pendampingan anak, masih banyak diidentikkan sebatas pada peran orang tua dari sisi perempuan atau ibu. Terlebih di masa pandemi ini, ibu selain dilimpahkan tugas domestik dan merawat keluarga, bahkan mencari nafkah, juga mesti menemani proses anak belajar.

Perempuanlah yang banyak ‘turun gunung’ mendampingi dan melengkapi tugas guru di sekolah selama masa pembelajaran daring. Di sosial media, wara-wiri kita melihat suka duka ibu yang sedang mengajari anaknya. Tentu saja ini tidak mudah!

Deputy Institut KAPAL Perempuan, Budhis Utami mengatakan, beban orang tua terlebih bagi seorang ibu memang tidak bisa dianggap sepele. Tantangan sulit menemani anak belajar, masih juga dideskreditkan dengan berbagai alasan.

Dia mencontohkan, banyak bermunculan meme soal ketidakmampuan perempuan sebagai ibu dalam mengajari anaknya, seperti ada tulisan seperti ini: Lebih baik ibu guruku daripada ibuku.

“Mendeskreditkan si ibu atau perempuan itu, tidak mampu. Padahal, dia bebannya double-double, harus ngajar, harus kerja, harus mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, itu tercurah semuanya kepada ibu di masa pandemi,” ujar Budhis saat dihubungi Konde, Selasa (31/8).

Selain itu, Budhis mengkritisi soal bentuk pengikisan peran seorang ibu yang juga pernah dijumpainya saat seorang teman guru pernah nyinyir pada seorang ibu. Temannya suatu ketika pernah mengatakan, “Nah, biar tau rasa orang tua, jangan selalu menuntut guru.”

Keberatan dengan pernyataan itu, Budhis pun pernah berkomentar langsung ucapan temannya itu. “Guru dibayar karena profesinya mengajar. Kok nyukur-nyukurin, rasain gitu. Lha, memang mendidik itu susah, tapi kan diserahkan ke sekolah itu karena sekolah menyediakan tenaga-tenaga untuk mengajar. Itu mendeskreditkan perempuan,” ujar Budhis menirukan ucapannya kala itu.

Di sisi lain, peran berat ibu dalam mendampingi anak belajar, juga tak sedikit pula yang distigmatisasi. Misalnya saja, dicap sebagai emak-emak galak, bentak-bentak mengajar anak, cepat darah tinggi dan lainnya.

Masalah lain yang muncul saat sekolah tatap muka dibuka, maka lagi-lagi akan banyak perempuan, yang bakal menerima konsekuensinya dalam mendampingi anak. Misalnya saja, lebih berpotensi terpapar Covid-19 akibat sering antar jemput anak sekolah dan berinteraksi ke luar. Di situasi yang banyak masih melakukan work from home (WFH) ini atau ativitas online

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Kaitannya dengan proses pengajaran anak, Budhis menilai, sudah semestinya orang tua laki-laki atau ayah mengambil peran setara. Pun terkait dengan pembagian tugas domestik yang tidak membebankan hanya pada perempuan.

“Itu harus dikerjakan bersama-sama. Mendidik anak gantian dong. Ya itu kan tanggung jawab semua pihak gitu (suami-istri). Tanggungjawab bapak juga,” terangnya.

Sementara itu, guna melindungi keamanan dan keselamatan sekolah tatap muka, dia menekankan agar pihak pemerintah dan sekolah tidak gegabah. Artinya, mesti disiplin dalam memastikan protokol kesehatan Covid-19.

Itu bisa ditunjukkan dengan penerapan yang baik atas kebijakan kuota kelas, jaga jarak, cuci tangan, memakai masker, pemisahan alat makan, hingga menjaga kebersihan sarana prasarana sekolah dan fasilitas publik.

“Sebenarnya rata-rata, orang tua itu kalau kita berdiskusi semuanya lebih suka kalau anak-anak itu sekolah. Tatap muka. Tapi, juga harus disiplin (prokes),” kata Budhis.

Maka tanggungjawab agar anak harus selalu Prokes, antar jemput sekolah, serta kesehatan anak, jangan semuanya diberikan pada perempuan atau ibu

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!