Taliban Berkuasa, Aktivis Open Mic Untuk Perempuan Afghanistan

Para aktivis perempuan Indonesia menyatakan dukungannya pada perempuan di Afghanistan pasca Taliban berkuasa. Dukungan ini mereka nyatakan dalam acara open mic sikap Indonesia untuk perlindungan perempuan di Afghanistan, Minggu lalu.

Ruby Kholifah, seminggu lalu merespon kepiluan yang terjadi pada para perempuan di Afghanistan.

Sabtu 11 September 2021, Ruby bersama banyak aktivis perempuan dan kebergaman dari berbagai lembaga, bertemu secara daring untuk mendukung kondisi perempuan di Afghanistan.

Ruby Kholifah, adalah Direktur AMAN (Asian Muslim Action Network), salah satu penyelenggara acara open mic sikap Indonesia untuk perlindungan perempuan di Afghanistan. Acara ini diadakan oleh berbagai organisasi untuk menyuarakan perlindungan bagi perempuan yang sekarat akibat dinamika politik yang terjadi di Afghanistan.

Dalam acara open mic ini, para aktivis perempuan meminta pemerintah Indonesia memberikan prioritas dukungan pada perempuan, anak-anak dan kelompok marjinal di sana.

“Ini saatnya bagi kita semua, sebagai penentuan sikap, bahwa apa yang terjadi di Afganistan menjadi bagian dari concern kita semua, rakyat Afghanistan terkhusus perempuan dan anak-anak,  serta kelompok minoritas memiliki hak untuk hidup dan merasakan kebebasan, kami juga ingin melalui open mic ini menunjukkan, masyarakat Indonesia yang diwakili oleh organisasi masyarakat sipil di sini baik yang berbasis keislaman maupun yang berbasis HAM ingin menyuarakan pada dunia bahwa saat ini penting buat kita untuk bersikap,” terang Ruby Kholifah, ketua AMAN saat pembukaan open mic (11/9).

Ia mengingatkan pada pemerintah agar terus konsisten memberikan perhatian pada kelompok-kelompok yang rentan. Suara genuine dari masyarakat yang melihat ada kelukaan dan kedukaan di tempat lain menjadi bagian yang tak mungkin terpisahkan dari hidup bermasyarakat.

“Melalui Open mic ini kami berharap betul, tidak hanya pemerintah Indonesia, tapi juga pemerintah dunia, mulai menata bagaimana ke depan relasi dengan Afghanistan sebagai sebuah bangsa dimana Islam dan demokrasi bersanding dan dihidupi di Indonesia, kami berharap betul melalui open mic ini mendorong sikap pemerintah Indonesia untuk tetap berpihak pada rakyat Afghanistan khususnya berikan perlindungan pada perempuan dan anak, dan kelompok minoritas,” lanjutnya berharap.

Sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, Ruby berpendapat komitmen demokrasi yang kuat, dan pondasi moderasi beragama yang kuat dan dihidupi oleh rakyatnya Indonesia bisa berbuat lebih besar untuk Afghanistan.

“Apa yang terjadi di Afghanistan juga hendaklah bisa menjadi cermin untuk kita semua sebagai bangsa besar untuk merawat Pancasila, dan juga merawat islam indonesia, sekaligus mengoreksi kita sendiri, dalam hal pemenuhan HAM di berbagai macam bidang,”  ujarnya meneruskan.

Aktivis perempuan Indonesia menyelenggarakan open mic sebagai dukungan bagi perempuan di Afghanistan yang sedang memperjuangkan nasibnya dari kekerasan yang sering menimpa mereka.

Sejak Taliban menguasai Afganistan, suasana negara mayoritas Islam tersebut semakin dilanda ketidakpastian, utamanya untuk perempuan dan anak-anak. Pelbagai ancaman keselamatan nyawa dan kehilangan hak asasi sebagai manusia tentu menjadi bayang-bayang paling mayor di kondisi demikian. Bagaimana tidak? Selang beberapa jam setelah taliban berhasil menduduki kursi pemerintahan, beberapa kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi.

Carut marutnya warga yang ingin segera mengungsi keluar Afghanistan menggambarkan kondisi yang sangat memprihatinkan di tengah pandemi. Meski berjanji akan memenuhi hak dasar perempuan, namun pada kenyataannya masih banyak perempuan yang harus meregang nyawa hanya karena ia bekerja, atau kritis terhadap pemerintah taliban.

Prof. Dr. Musdah Mulia, MA. Salah satu keynote speaker pada open mic berpendapat bahwa yang pertama harus dilakukan untuk menyikapi kondisi ini adalah tidak boleh bersikap parno, dan yang kedua kita tidak bisa mengglorifikasi seolah-olah taliban adalah pahlawan. 

“Kondisi Taliban pada 2012, ketika saya ke Afghanistan, saya menyadari bahwa ada pandangan ideologi yang begitu konservatif yang dipahami Taliban dalam konsep keislaman mereka,” jelasnya.

Ia meyakini jika membuka ruang diskusi dengan pengaruh pemimpin-pemimpin islam di Indonesia, potensi untuk mereduksi pemahaman konservatif taliban bisa semakin terbuka.

Sejak 1996, Afghanistan di bawah pimpinan Taliban mengalami banyak sekali kemunduran. Salah satunya yakni dengan ditandainya penarikan perempuan-perempuan dari arena publik.

“Situasi perempuan Afganistan banyak mengalami kemunduran sejak 1990an karena kalau saya melihat foto-foto perempuan-perempuan tahun 1990 an itu mahasiswa di publik, tidak harus menggunakan burkha, bahkan kondisinya sama seperti perempuan di indonesia yang bebas kemana saja, mereka bebas dengan rambut terbuka,” terangnya.

“Tetapi ketika Taliban berkuasa tahun 1996-2001 seluruh perempuan ditarik dari arena publik, para hakim, guru, dosen, pegawai negeri, bahkan pegawai yang melakukan pelayanan publik seperti bidan, dokter, dan lain sebagainya, itu semuanya ditarik dari arena publik, kondisinya jadi sangat mencekam karena sebagian besar para perempuan itu bekerja bukan untuk mencari nafkah membantu suami, tapi sebetulnya sebagian besar mereka adalah tulang punggung dari keluarga itu sendiri,” papar Musdah.

Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama menyatakan Islam melindungi hak dasar dan martabat perempuan, dan seharusnya Taliban bisa menangkap ajaran Islam ini.

“Saya ingin menegaskan dan meneguhkan bahwa Islam hadir untuk melindungi hak dasar perempuan dan melindungi hak martabat perempuan. Sebelum Islam hadir, perempuan dinista dan direndahkan sehingga sebuah keluarga jika sebuah keluarga punya bayi perempuan, maka bayi tersebut akan dikubur hidup-hidup. Sesungguhnya Islam datang untuk menolak praktik tidak terpuji. Perempuan juga ibu dari anak-anak bangsa, maka peran domestik perempuan tidak tergantikan dan secara adil dan seimbang dan moderat harus diterapkan pada perempuan dan tidak boleh dibeda-bedakan. Berharap pemerintah Taliban yang menjalankan dengan nllai Islam bisa menangkap ajaran Islan bisa melindungi peremuan dan menangkap dengan baik.”

Keselamatan perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas harus menjadi landasan utama sikap pemerintah dunia terhadap kondisi Afghanistan hari ini. Senada, Mantan Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, meyakini dukungan penuh harus diberikan pada perempuan-perempuan Afghanistan, atas nama kemanusiaan. 

Humanitarian support dari Indonesia harus berwajah perempuan dan dengan gerakan perempuan berbasis pada humanitarian suara perempuan di afghanistan. Perempuan para pembela ham penting yang hadapi ancaman, mengembalikan rule of law tentang stop kekerasan perempuan yang menitik beratkan melarang kerasan, jual beli perempuan, dan perempuan dalam konflik,” terang Yuniyanti.

Human right harus dijalankan. Hentikan politisasi perempuan untuk kekerasan dan dukungan internasional jika menghukum Taliban jangan embargo yang merugikan perempuan dan rakyat yang berkonflik,” lanjutnya. 

Pemenuhan hak dasar hidup harus dipenuhi sebuah instansi negara, apapun keyakinan dan identitas seksualnya. Sebagai manusia yang memiliki akal pikiran, dan kesadaran penuh, memanusiakan manusia, adalah kewajiban bagi setiap insan tak terkecuali Taliban.

Cempaka Wangi

Reporter Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!