Yang Bisa Kita Lakukan Di Hari Perdamaian Internasional: Stop Kekerasan dan Perang

Seluruh dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional setiap tanggal 21 September. Yang bisa kita lakukan bersama adalah stop perang dan kekerasan

Apakah hari perdamaian internasional? Seluruh dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional setiap tahun pada tanggal 21 September. Peringatan ini didedikasikan demi perdamaian dunia, dan secara khusus demi berakhirnya perang dan kekerasan di dunia.

Badan dunia PBB menetapkan tanggal 21 September sebagai Hari Perdamaian Internasional sejak tahun 2013 untuk mengurangi keparahan kondisi akibat perang di dunia

Situasi peringatan Hari Perdamaian ini mengingatkan kita pada kondisi yang terjadi di Afghanistan karena rezim Taliban yang dikenal bergaris keras dan intoleran telah menguasai Afghanistan pasca perang sekitar kurang lebih dua puluh tahun.

Komnas Perempuan dalam pernyataan pers nya kemarin mencatat, penguasaan rezim Taliban atas Afghanistan  berdampak terhadap menguatnya ketakutan rakyat Afghanistan maupun masyarakat global terhadap situasi keamanan negara tersebut dan dunia. Ribuan rakyat Afghanistan eksodus dan memohon suaka politik ke berbagai negara di dunia.

“Dampak lainnya adalah, suramnya kehidupan perempuan yang ditandai oleh pelanggaran hak-hak asasi perempuan berupa pembatasan akses secara luas terhadap berbagai sumber daya melalui berbagai aturan, perempuan terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan, kehilangkan pekerjaan dan kehilangan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pengekangan, intimidasi, persekusi, cambuk dan pembunuhan mengancam perempuan-perempuan yang terlibat dalam berbagai kegiatan publik,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang

Kondisi Perempuan Pembela HAM

Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) atau women human right defenders tak luput dari ancaman atau teror.

Komnas Perempuan memantau bahwa beberapa kolega PPHAM menggaungkan pentingnya dukungan masyarakat global dan negara-negara dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat Afghanistan.

Kerentanan PPHAM menjadi korban pembunuhan merupakan sinyal agar negara-negara di dunia memberikan dukungan perlindungan khususnya suaka politik. Sarah Kay pengacara HAM yang berbasis di Belfast anggota jaringan pengacara internasional Atlas Women menyatakan bahwa negara-negara barat tidak memprioritaskan aktivis hak asasi manusia dan hukum untuk dievakuasi.

Situasi genting sedemikian juga terjadi di Myanmar. Penguasaan militer atas negara Myanmar membuat kehidupan rakyat Myanmar memburuk. Protes kelompok pro demokrasi membuat para aktivis diburu dan dipenjara.

Aksi kelompok pro demokrasi pada 4 Maret 2021 mengakibatkan seorang PPHAM bernama Kyal Sin atau dikenal dengan Angel (malaikat) tewas tertembak saat melakukan aksi demonstrasi menolak penguasaan militer atas Myanmar. Hingga saat ini, saat krisis demokrasi menguat banyak PPHAM Myanmar mengalami berbagai kesulitan menjalankan aktivitasnya sementara hak-hak asasi perempuan terus dilanggar. Ancaman pembunuhan pun terus digaungkan, membuat ruang gerak PPHAM Myanmar terbelenggu. Suramnya masa depan aktivis dan PPHAM di Afhganistan,

Myanmar dan negara-negara lain yang mengalami konflik sosial menjadi perhatian Komnas Perempuan sebagai lembaga negara hak asasi manusia di Indonesia dengan mandat khusus pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan serta mendorong upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat lokal, regional maupun internasional.

Dalam konteks Indonesia, Komnas Perempuan mencatat seorang tenaga kesehatan perempuan di Papua bernama  nama Suster Gabriella Meiliani meninggal akibat serangan dan pembakaran Puskesmas Kiwirok pada  Jumat 17 September 2021. Serangan tersebut  mengakibatkan 10 tenaga kesehatan/ nakes lainnya mengalami luka-luka. Penyerangan yang mengakibatkan kematian, luka-luka dan menyebar ketakutan terhadap tenaga kesehatan dalam situasi pandemi Covid-19 maupun dalam situasi konflik merupakan aksi kejahatan luar biasa.

Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani menyatakan, tenaga kesehatan merupakan pekerja kemanusiaan yang dibutuhkan dalam berbagai situasi dan seharusnya mendapatkan perlindungan khusus  termasuk dalam situasi konflik bersenjata. Konvensi Jenewa Pertama  tanggal 12 Agustus 1949 menyatakan pentingnya perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa melalui UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia  dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

Bertolak dari CATAHU (Catatan Tahunan) 2021 Komnas Perempuan dan memantau berbasis pemberitaan media daring (2018-2021), 15 (lima belas) PPHAM baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam komunitas, dari berbagai sektor yang mengalami kriminalisasi. Sektor-sektor tersebut antara lain sektor sumber daya alam, anti korupsi, kekerasan berbasis gender, buruh, dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination).

Mereka adalah pengacara, pendamping korban, aktivis buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru SMA, Ketua RT. Data ini menunjukkan bahwa PPHAM merupakan kelompok rentan terhadap kriminalisasi justru karena pekerjaannya sebagai pembela HAM, pejuang lingkungan hidup, upah setara dan layak  serta anti korupsi. 

“Mencermati kerentanan perempuan dan perempuan pembela HAM di berbagai negara yang mengalami konflik maupun di Tanah Air, dalam rangka peringatan Hari Perdamaian Internasional tanggal 21 September 2021, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya memperkuat cita-cita dunia mewujudkan perdamaian di dalam negeri maupun di antara bangsa-bangsa. Perdamaian mensyaratkan keadilan yang artinya bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, bebas dari ancaman, teror, intimidasi, persekusi serta pembungkaman. Tak ada perdamaian tanpa keadilan dan tak ada keadilan tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi perempuan,” kata Tiasri Wiandani

Melhat kondisi ini, Komnas Perempuan mengecam tindakan pengengkangan, intimidasi, penghukuman dan pembunuhan yang ditujukan kepada perempuan pembela HAM dan Petugas Kesehatan sebagai akibat dalam menjalankan aktivitasnya di negara-negara yang mengalami konflik

“Komnas Perempuan juga mendorong negara-negara khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan solidaritas dan dukungan serta memberikan perlindungan khususnya evakuasi terhadap PPHAM yang mengalami berbagai ancaman dan pembunuhan di negara konflik seperti Afganistan dan Myanmar,” kata Tiasri Wiandani

Menyikapi penyerangan yang terjadi di Puskesmas Kiwirik yang mengakibatkan meninggalnya Suster Gabriella Meiliani dan 10 nakes lainnya terluka, meminta Pemerintah khususnya Kepolisian Republik Indonesia mengusut secara tuntas kasus penyerangan tersebut, menjamin  perlindungan terhadap nakes sebagai pekerja kemanusiaan dalam bekerja di wilayah-wilayah khusus serta memastikan korban dan atau keluarganya mendapatkan santunan, biaya pengobatan dan pemulihan

Lalu mendukung pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mewujudkan pemenuhan perlindungan perempuan pembela HAM dalam menjalankan kerja-kerja kemanusiaan yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan;

“Dan mendorong negara-negara agar menyerukan penyelesaian konflik bersenjata dan konflik sosial lainnya berpedoman pada Rekomendasi Umum No. 30 CEDAW tentang perlindungan kelompok rentan dan pelibatan perempuan dalam penyelesaian konflik.”

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!