#MeToo: Gloria Estefan Dan Bintang Hollywood Penyintas Kekerasan Seksual

Di acara Facebook Watch ‘Red Table Talk: The Estefans, pada Kamis, 30 September 2021 secara mengejutkan, penyanyi Gloria Estefan mengungkap pelecehan seksual yang pernah dialami ketika ia kecil. Ini makin menambah deretan perempuan artis yang berani speak up tentang pelecehan seksual

Musisi sekaligus penyanyi terkenal Amerika Serikat (AS), Gloria Estefan menjadi korban kekerasan seksual.

Gloria Estefan kala itu masih berumur 9 tahun ketika mengalami pelecehan seksual. Seperti banyak kasus pedofilia, Estefan menyebut pelakunya adalah seseorang yang dikenalnya sebagai laki-laki yang dipercaya ibunya. Kala itu, Estefan kecil masuk ke sekolah musik yang dikelola kerabat ibunya. 

Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan. Meskipun telah terjadi di masa lampau, bertahun-tahun bahkan puluhan tahun lalu. Termasuk, kekerasan seksual yang dialami ketika masih berusia anak-anak. Hal inilah yang terjadi pada Gloria Estefan.

Estefan yang lahir di Kuba, lantas pindah ke Miami saat balita bersama keluarga. Beberapa tahun berselang, dia justru mengalami pelecehan seksual yang tidak pernah diduga-duga. Dari orang terdekat yang semestinya melindunginya.  

Dalam kesempatan sesi akhir acara Facebook Watch ‘Red Table Talk: The Estefans, pada Kamis, 30 September 2021 secara mengejutkan mengungkapkan hal pahit pelecehan seksual yang pernah dialami beberapa dekade lalu itu. 

“93% anak-anak yang dilecehkan tahu dan mempercayai pelakunya, dan saya tahu ini, karena saya adalah salah satu di antara mereka,” ujar Estefan dilansir VOA Indonesia, 1 Oktober 2021.

Kesaksian Estefan itu disaksikan oleh putrinya sendiri, Emily Estefan, dan keponakannya, Lili Estefan. Tentunya beserta publik yang melihat tayangan itu. 

Di industri Hollywood, Estefan tentu saja mengingatkan kita pada deretan musisi hingga selebriti yang pernah lantang berbicara atas kekerasan seksual yang mereka alami. Misalnya saja, artis perempuan yang masuk dalam sampul majalah TIME tahun 2017 yaitu Ashley Judd dan Taylor Swift. Kedua sosok itu, masuk dalam majalah yang menobatkan para perempuan di belakang gerakan #MeToo yang dijuluki ‘pemecah kesunyian’. 

#MeeToo yang merupakan gerakan anti-pelecehan yang berhasil menggerakkan jutaan orang untuk bicara soal kekerasan dan pelecehan seksual yang pernah dialami. Gerakan sosial itu, kemudian oleh TIME dinilai sebagai aksi berdampak tercepat dalam dekade ini. 

Gerakan sosial itu dimulai kisaran pada Oktober 2017, kala aktris yang juga aktivis perempuan, Alyssa Milano, mencuitkan ‘Bila Anda pernah mengalami pelecehan seksual dan kekerasan seksual, tulislah ‘me too’ sebagai balasan dari tweet ini,” tulis Milano mengikuti saran seorang temannya di Facebook. 

Respons yang mengejutkan. Tweet ‘me too’ membanjiri sosial media twitter. Hanya dalam 48 jam hashtag MeToo itu sudah dicuit nyaris 1 juta kali oleh warganet. Pendobrak gerakan di sosial media itulah, yang kemudian turut berkontribusi memberikan keberanian-keberanian baru para perempuan korban kekerasan seksual untuk bersuara dan saling memberikan dukungan. 

Ashley Judd hingga Taylor Swift: Penyintas Berani Bersuara

Terkait dengan gerakan #MeToo, kita tentu ingat, Ashley menjadi kalangan yang pertama kali membuka suara ke publik atas kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh sutradara AS, Harvey Weinstein. Dia tak kuasa menahan air mata saat menjadi bintang tamu ‘Good Morning America’ pada 26 Oktober 2017. Momen itulah, dia menceritakan hal buruk yang dialaminya. 

Kejadian itu bermula beberapa tahun sebelumnya, Harvey menawarkan pijatan untuk bintang film The Divergent itu. Meski sudah menolak, Harvey justru tanpa consent meminta ashley memijatnya. Ashley lagi-lagi menolak. 

Di situasi yang terdesak, Ashley kemudian menjanjikan akan melakukannya jika saja berhasil memenangkan Piala Oscar di film yang diproduksi Harvey. Mendapat celah, Ashley pun bisa lepas dan segera pergi meninggalkan Harvey. 

Berada di industri yang sama dan adanya relasi kuasa, tentu hal itu tak mudah bagi Ashley. Sebab, beberapa kali kesempatan Harvey sempat ‘menagih’ janji Harvey dan menego agar bisa diwujudkan kala Ashley masuk nominasi Oscar. Ashley menolak, namun ingatan atas kenangan buruk itu terus melekat.

Perempuan kelahiran 1968 itu pun akhirnya buka suara setelah skandal seks Harvey menyeruak ke permukaan. Beberapa tahun setelah kejadian yang menimpanya. 

Selain Ashley, Taylor Swift juga pernah mengalami pelecehan seksual oleh David Mueller, seorang mantan DJ (Disc Jockey). Kala itu, sekitar tahun 2013, Swift menyatakan mengalami pelecehan seksual saat acara foto bersama Mueller dan kekasihnya. Muller melakukan rabaan pada bokong Swift dengan menyibak dress warna hitam yang dikenakannya. 

Denver DJ David Mueller vs #TaylorSwift: pic at the center of the case. The moment he allegedly put his hand up her skirt and groped her.

Tak selang lama, Swift melaporkan Mueller pada perusahaan tempatnya bekerja di KYGO. Mueller pun dipecat. Hingga akhirnya menggugat Swift atas dirinya yang kehilangan pekerjaan yang bernilai USD 150 ribu/tahun itu. 

Dalam gugatannya, Mueller juga mengatakan tuduhan Swift yang membuatnya dipecat itu palsu dan Ia pun menuntut Swift, ibu kandung Swift bernama Andre serta pekerja di stasiun radio itu, Frank Bell. 

Hakim menolak gugatan itu, Swift lantas membalas gugatan dan menuntut Mueller dengan nominal uang yang tidak ingin membuatnya bangkrut yaitu USD 1. Meskipun, bukan berarti dia memaklumi apa yang dilakukan Mueller. 

“Ini berarti ‘tidak berarti tidak’ dan ini adalah penegasan bagi perempuan bahwa hanya merekalah yang boleh menentukan batas toleransi pada tubuh mereka sendiri,” ujar pengacara Swift, Douglas Baldridge kala itu. 

Usai melalui proses persidangan, Swift pun memenangkan peradilan atas kasus pelecehan seksual yang menimpanya itu. Sebuah preseden, yang Swift harapkan, bisa memberikan harapan bukan hanya bagi perempuan seperti dirinya yang mempunyai privilese —populer dan akses hukum memadai, namun juga bagi perempuan-perempuan korban kekerasan seksual lainnya yang semestinya mendapatkan hak sama. 

“Harapan saya adalah untuk membantu mereka-mereka yang suaranya juga seharusnya didengar,” kata Swift saat meninggalkan ruang sidang.

Dia pun, juga menyumbangkan uang pada organisasi yang membantu korban-korban pelecehan seksual setelah itu. 

Gerakan #MeToo Menjalar Ke Dapur Media Televisi

Pelecehan seksual di industri film yang dialami para artis perempuan sebagai korbannya, juga memberikan semangat pada para perempuan pekerja media untuk bersuara. Lihat saja kejahatan industri yang digambarkan dalam film Bombshell.

Film Bombshell menggambarkan dengan detail bagaimana industri kemudian memecah belah pekerja perempuan. Hingga skandal pelecehan seksual yang menggegerkan dan dilakukan pimpinan Fox News, Roger Ailes kepada puluhan perempuan pekerja media di Fox News.

Fox News adalah televisi yang dimiliki Rupert Murdoch yang mendukung Donald Trump untuk menjadi presiden. Jadi ada cerita tentang campur tangan Rupert Murdoch pada kerja-kerja redaksi untuk mendukung Trump, bagaimana Roger Ailes sebagai pimpinan Fox News selalu mewujudkan keinginan Rupert Murdoch, serta kisah 3 perempuan presenter yang menjadi karakter kuat di film ini.

3 karakter kuat perempuan ini antaralain Megyn Kelly, presenter berita yang membenci Donald Trump, namun harus tetap melakukan kerja-kerja sebagai presenter yang mendukung Trump. Megyn Kelly juga perempuan yang kritis dan seorang feminis. Ini tergambarkan ketika Megyn selalu menjadi orang yang gelisah dan ingin melakukan sesuatu.

Lalu Gretchen Carlson yang diperankan Nicole Kidman, pembawa acara yang sudah mulai menua dan sering dilecehkan secara verbal oleh Roger Ailes karena acaranya yang sudah tak laku dijual.  Ini juga menjadi problem khas televisi: tak laku dijual, presenter yang tak lagi cantik, maka harus dibuang begitu saja. Jerih payah yang tak dihargai.

Perempuan ketiga adalah Kayla Pospisil  yang diperankan Margot Robbie. Ia bekerja secara bersungguh-sungguh, dan ingin menjadi presenter untuk memajukan karirnya di Fox News.

Masing-masing dari ketiganya ternyata menyimpan cerita yang sama: sama-sama menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan Roger Ailes.

Ketika mereka melamar menjadi presenter, Roger Ailes menyuruh mereka memperlihatkan lekuk tubuh hingga diraba, sampai diajak berhubungan seksual. Pelecehan ini sudah terjadi bertahun-tahun.

Dan momen puncaknya adalah ketika Gretchen Carlson dipecat. Saat itulah Gretchen mulai bersuara tentang pemecatan sepihak dan melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan Roger Ailes pada pengacara. Pelaporan ini menjadi berita di media-media di Amerika Serikat dan memberikan kesadaran baru tentang perlawanan para perempuan korban lain di Fox News.

Sutradara Jay Roach menggambarkan dengan baik bagaimana true story dalam kisah ini dilukiskan dalam sekuel- sekuel film yang sangat dinamis dengan tambahan-tambahan cerita dari perempuan pekerja Fox News lainnya.

Dengan latar belakang problem pelecehan seksual dan problem tenaga kerja, film berhasil menggambarkan bagaimana persoalan pelecehan dan tenaga kerja seperti menjadi persoalan yang saling terkait. Pekerja yang harus hati-hati untuk melakukan perlawanan karena akan dipecat dan bisa berimbas pada kondisi keuangan keluarganya, ingin mempertahankan karir dan sulit untuk pindah ke tempat lain merupakan problem khas pekerja yang juga dipotret di film ini.

Bombshell kemudian menyisakan pertanyaan penting bagi pekerja media: jika kamu adalah orang yang kritis dan berani melawan, maka kamu akan menyelamatkan banyak perempuan korban lain di tempatmu bekerja.

(Foto: Alchetron.com dan akuaktor.com)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!