Jika Perempuan Tidak Disunat Maka Berdosa dan Langgar Agama? Ini Mitos Yang Keliru

Dianggap tidak beragama dan berdosa jika tak melakukan sunat perempuan, ini semua merupakan mitos di seputar sunat perempuan. Kalyanamitra mengeluarkan riset terbarunya tentang sunat perempuan dan layanan sunat di Jabodetabek yang masih berlangsung hingga kini

Hingga kini, praktik Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau masyarakat Indonesia sering menyebut sunat perempuan, masih terus terjadi.

Ada yang meyakini bahwa “perempuan yang disunat itu dibersihkan dan disucikan sebagai perempuan Muslim.”

Bahkan ada yang mengatakan “jika anak perempuan kelak akan menikah dan kedua alat kelamin bertemu sedangkan pihak istri tidak disunat, maka perkawinan mereka merupakan suatu dosa”.

“Masih ada keyakinan P2GP ini adalah sesuatu yang harus dilakukan, karena akan ada sanksi sosial atau kenapa-kenapa nanti (mitos),” kata Rena dari Kalyanamitra

Anak-anak perempuan baru lahir sampai berusia lima tahun di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) masih terus mengalami ini.

Kalyanamitra merilis hasil penelitian terbarunya yang menelusuri adanya layanan-layanan kesehatan di Jabodetabek untuk praktik P2GP atau sunat perempuan. Sebanyak 100 informan dari hasil penelitian ini berusia sekitar 27 hingga 40 tahun dengan profesi yang beragam mulai dari ibu rumah tangga, penjahit, guru, karyawan swasta, hingga perawat kesehatan.

Rena Herdiyanti, Wakil Ketua Kalyanamitra mengatakan, penelitian lapangan diawali dengan mencari informasi di sosial media yakni Facebook, Twitter, dan Instagram (IG) tentang layanan P2GP. Dalam observasi itu, pengada layanan P2GP ada pula yang secara terang menawarkan secara aktif dengan berbagai dalih. Termasuk, peraturan pemerintah.

“Secara eksplisit dan terbuka, mereka menerima melakukan layanan sunat perempuan, dan bahkan di dalam website rumah sunat ini, dikatakan yang melegitimasi mereka adalah Permenkes 2010 dan 2014,” terang Rena dalam pemaparan riset Kalyanamitra yang diselenggarakan bersama Konde.co, Jumat (15/10/2021).

Permenkes No. 6 Tahun 2014 yang saat ini dipakai sebagai legitimasi bagi petugas kesehatan untuk melakukan P2GP, karena dalam peraturan ini tercantum bahwa P2GP boleh dilakukan asal menggunakan jarum suntik dengan ukuran tertentu.

Kementerian Kesehatan berasumsi jika P2GP dilakukan dengan jarum suntik yang berukuran tertentu itu bisa menjamin tidak terjadi infeksi, padahal tidak dirinci prosedur penggunaan jarum tersebut. Hal ini tetap saja berbahaya karena memang di Indonesia, P2GP tidak pernah ada di kurikulum kebidanan maupun kedokteran.

Pencatutan aturan untuk promosi P2GP itu, menurut Rena, juga bermasalah. Sebab, Permenkes 2014 sebetulnya telah mencabut Permenkes sebelumnya (2010), yakni tata cara sunat perempuan dengan menggunakan jarum tertentu dan digoreskan, dan jangan sampai menimbulkan pendarahan. Diganti dengan Permenkes baru dengan membersihkan, bagian klitoris dengan kain kasa steril atau betadine.

 “Masyarakat dan klinik-klinik itu gak tahu, peraturan pakai jarum itu sudah dicabut,” katanya. 

Dalam riset itu, Rena menjelaskan, para peneliti lapangan berperan sebagai “mystery client” yang pura-pura menjadi calon orang tua balita yang mencari layanan sunat untuk verifikasi. Selanjutnya, informan riset sebanyak 100 orang itu didapatkan dengan teknik snowball.

Tafsir Agama dan Tradisi Jadi Pelanggeng

Peneliti Kalyanamitra itu menemukan bahwa alasan yang menyebabkan P2GP masih langgeng di kawasan Jabodetabek adalah tafsir agama hingga tradisi di tengah masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri karena sebagian besar orang tua sampai hari ini, ternyata masih meyakini bahwa P2GP masih diwajibkan karena dikaitkan dengan identitas seseorang sebagai seorang Muslim.

Dia melanjutkan, tradisi keluarga juga menjadi alasan terbanyak kedua setelah agama. Tak jarang nenek yang telah disunat pada masa kecilnya akan melakukan hal yang sama terhadap cucu perempuannya.

Jika dirinci, di 5 wilayah penelitian, alasan P2GP oleh orang tua/wali adalah karena perintah agama, tradisi keluarga, anjuran bidan/dokter dan anjuran kakek/nenek. Khusus di wilayah Bogor, sebagian informan menyatakan perintah agama menjadi alasan utama untuk melakukan P2GP. Adapun di Bekasi, P2GP dilakukan atas kemauan sendiri dan untuk kebersihan alat kelamin.

Lain halnya di Depok, salah satu informannya mengatakan bahwa P2GP adalah anjuran dari pemerintah. Hal ini terkait dengan Permenkes No. 1636/MENKES/PER/2010 tentang Sunat Perempuan yang melegalkan sunat perempuan/P2GP.

Sementara untuk pengada layanan, bidan menjadi mayoritas pihak yang melakukan P2GP. Baik di rumah sakit ataupun praktik pribadi. Posisi kedua dan ketiga ditempati oleh dokter dan dukun/paraji. Keberadaan paraji/dukun bayi di lima wilayah penelitian masih berperan dalam keberlanjutan pelaksanaan P2GP.

Prosedur P2GP yang dilakukannya berbeda-beda antara satu dan lainnya di kelima wilayah penelitian mulai dari membersihkan, menggores dan memotong alat genitalnya. Alat yang digunakannya mayoritas adalah gunting, kapas, pinset dan jarum. Para pelaku P2GP menyatakan peralatan yang digunakan sudah sesuai dengan Permenkes yang beredar.

“Narasumber di setiap wilayahnya, menunjukkan pola yang hampir sama dalam hal modus sunat itu sendiri, selain tempat di mana sunat dilakukan, alasan-alasan yang mendasari mengapa sunat dilaksanakan,” katanya.

Dampak Sunat Perempuan

Peneliti Kesehatan Perempuan, Atashendartini Habsjah mengatakan praktik P2GP pada anak perempuan mempunyai dampak yang berbahaya. Baik itu komplikasi segera, jangka panjang dan psikologis.

Dampak Komplikasi segera ini kaitannya, dengan perbedaan dengan sunat laki-laki, P2GP perempuan biasanya tidak menggunakan bius sehingga bisa menimbulkan nyeri hebat. Perempuan memiliki persarafan dan pembuluh darah yang banyak, sehingga P2GP bisa menimbulkan pendarahan yang hebat.

“Apabila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan infeksi, pembengkakan pada jaringan, dan sulit berkemih,” kata Atashendartini di kesempatan sama. 

Sementara dampak komplikasi jangka panjang, pemotongan struktur genital seksual yang sensitif seperti gland klitoris dan bagian dari labia minora, sehingga menyebabkan penurunan respons serta kepuasan seksual. Jaringan parut pada bagian vulva juga dapat menyebabkan nyeri terutama saat berhubungan seksual. Pada dampak psikologis, pengalaman traumatis bagi anak perempuan atau perempuan yang menjalaninya sehingga menimbulkan masalah bagi kesehatan jiwa.

“Dampak yang dirasakan anak setelah proses sunat dianggap hal yang biasa dan tidak perlu dikhawatirkan. Hal tersebut bukan dianggap keluhan yang serius dan tidak perlu cepat ditangani,” ujarnya.

Riset Kalyanamitra itu juga menguatkan, praktik P2GP yang berbahaya itu dilakukan terhadap anak Balita. Kekerasannya tidak hanya melanggar ranah hak asasi perempuan, tetapi juga ranah hak asasi anak. Penggunaan alat-alat yang berbahaya dipakai dalam sunat dan dilakukan sebagian besar bukan sebagai tindak simbolis, melainkan tindakan yang menimbulkan kesakitan terhadap korbannya.

Praktik P2GP ini merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan sampai taraf tertentu memperlihatkan ketimpangan gender yang memanifestasikan struktur sosial, politik, budaya yang ada dalam masyarakat. Bahkan praktik P2GP tersebut, dalam tingkatan tertentu menunjukkan paradoksal: satu sisi orangtua atau keluarga menyadari bahwa praktik P2GP yang dilakukan adalah tindakan mengerikan yang merupakan kekerasan terhadap fisik dan psikologis terhadap anak Balita mereka.

Namun di sisi lain, mereka merasa bahwa melaksanakan praktik tersebut merupakan kepatuhan terhadap agama dan tradisi yang mempersiapkan anak ke alam kedewasaan.

Mendesaknya penghentian praktik P2GP juga berkaitan dengan edukasi otonomi tubuh perempuan. Dalam konteks P2GP, maka tubuh dan otonominya menjadi hilang. Otonom berarti menentukan hukum untuk dirinya sendiri. Namun, praktik sunat yang dipaksakan mengungkapkan bahwa si pemilik tubuh kehilangan kebebasannya untuk menentukan hukum bagi dirinya sendiri.

 Rekomendasi dari penelitian itu agar adanya kolaborasi multi pihak dan multi-aktor untuk menghentikan praktik P2GP dalam 10 tahun mendatang, memasifkan kampanye kepada masyarakat praktik P2GP tidak ada manfaatnya bagi kesehatan, bahaya P2GP perlu dimasukkan dalam kurikulum Calon Pengantin serta pendidikan bagi orang tua dan calon orang tua. Serta pelibatan Fakultas Kedokteran, influencer media sosial hingga tokoh agama serta masyarakat untuk pencegahan dan penghapusan P2GP.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!