Male Feminist, Are You? Ini Pengalaman 3 Laki-laki Baru

Apa yang harus dilakukan jika mau jadi laki-laki baru? Salah satunya yaitu keluar dari zona nyaman sebagai laki-laki. Ini adalah cerita saya dan pengalaman 2 laki-laki baru lainnya

“Buat apa sih lo ikut-ikutan memperjuangkan feminisme? Masa mau ikut gerakan anti laki-laki?”

Begitu kira-kira pertanyaan, atau mungkin pernyataan salah seorang rekan saya belum lama ini, ketika kami mengobrol, dalam Bahasa Minang tentunya. 

Saya lupa seperti apa merespons persisnya saat itu. Yang jelas obrolan itu muncul setelah kami mendiskusikan sejumlah tulisan saya belakangan yang kerap membahas isu perempuan dan kesetaraan gender. 

Meski lupa apakah saya menjawab atau diam saja, tetapi ingat pikiran saat itu menerawang jauh ke belakang, menyisir sebab pernyataan tersebut bisa mengemuka. 

Pertama bisa jadi lantaran gerakan feminisme atau kesetaraan gender punya banyak tafsiran di tengah masyarakat di tempat kami tumbuh, salah satunya isu bahwa feminisme punya keinginan lebih unggul atau melawan laki-laki. Sebagian besar menganggap gerakan demikian menyalahi norma sosial, menyalahi adat hingga agama.

Kedua, saya merasa sudah dari dulunya di lingkungan kami-di mana patriarki kuat mengakar-secara tersirat laki-laki diposisikan di tingkatan teratas atau yang paling istimewa atau penting. 

Sedari kecil, ada banyak contoh yang saya alami dan saksikan. Ketika sepupu-sepupu perempuan beranjak remaja, mereka bakal mulai diminta belajar memasak, suka atau tidak suka. Kata Amak (nenek saya), perempuan yang tidak bisa memasak akan sulit dapat jodoh.

Lain halnya dengan saya yang tidak pernah sama sekali ada keharusan serupa. Bahkan malah kerap diusir dari dapur jika memperhatikan Amak dan sepupu perempuan sedang memasak. 

Kalaupun saat ini saya cukup bisa memasak, adalah murni ketidaksengajaan saja. Selera makan yang susah dan kerap tidak sama dengan orang-orang di rumah, membuat saya lebih senang memasak makanan sendiri.

Sebetulnya hal yang sama juga terjadi untuk pekerjaan-pekerjaan lain seperti membersihkan rumah, mencuci piring, pakaian sampai menyetrika. Entah karena jumlah sepupu perempuan saya yang banyak, yang jelas pekerjaan ini lebih banyak merupakan tugas para sepupu perempuan. 

Kalaupun saya memilih mencuci pakaian dan piring makan sendiri, hanya karena perasaan tak mau merepotkan semata. Sementara jika laki-laki lainnya dalam keluarga tak punya rasa senada, ya memilih menggunakan ‘privilege’ itu.

Alhasil, jadilah pengotakan peran tak kasat mata ini sebagai hal lumrah yang justru aneh bila kondisinya terbalik, karena ini sudah berjalan puluhan tahun lamanya.

Saya yang sekarang sudah berpindah ke Jakarta, ketika sesekali pulang kampung, bisa saja tak usah repot-repot: ingin makan tinggal duduk dan akan dihidangkan adik atau keponakan perempuan, tanpa perlu mencuci piring tentunya. 

Puluhan tahun menyandang gelar sebagai anak kosan, membuat saya tak nyaman dengan keistimewaan itu. Untunglah lama-lama keluarga memahami (entah karena capek mengingatkan) dan akhirnya membiarkan saya melakukan pekerjaan-pekerjaan ini sendiri. 

Rasa-rasanya, perasaan tak nyaman atas ketimpangan peran itulah secara tak langsung membentuk saya sekarang: laki-laki yang memandang pekerjaan domestik bukanlah semata beban perempuan.

Soalnya yang berbahaya dari konsep tersebut adalah, pembagian peran tak adil itu terbawa sampai mereka berumah tangga. Para suami seperti berpantang saja buat menyentuh pekerjaan-pekerjaan tersebut. Sampai-sampai termasuk dalam urusan mengurusi anak. 

Ketimpangan-ketimpangan yang mungkin dianggap kecil ini, tanpa disadari telah melahirkan bahaya-bahaya lain, termasuk perlakuan yang berujung kekerasan dalam rumah tangga. 

Sehingga tanpa mengenal apa itu feminisme pun, saya sendiri sudah lama tidak nyaman dengan kebiasaan tersebut. Perasaan tak nyaman itu membuat saya berharap hal demikian tak terus-terusan dilanggengkan. Dan saya masih sangat optimistis ada banyak laki-laki, sebagai pihak yang mendapatkan privilege selama ini, kini mulai melakukan perubahan. 

Itu Zona Nyaman Bagi Laki-laki, Yuk Keluar

Apa yang saya alami, hampir dipastikan juga dialami semua laki-laki. Melekatnya budaya patriarki dan stigma perempuan adalah warga kelas dua yang lahir dengan beban “kodrati”, menciptakan keistimewaan yang diberikan keluarga secara instan terhadap laki-laki. 

Ini yang juga dialami Wawan Suandi, Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru yang menyatakan bahwa dirinya sempat berada dalam posisi serupa.

“Dulu berawal dari pejuang khilafah, jadi praktisi dan aktivis keadilan gender, awal-awal saya teracuni isu-isu keadilan gender itu berawal dari membaca buku. saya cukup beruntung karena mau membaca ya, beberapa buku dan majalah tentang perempuan itu saya baca,” jelasnya bercerita.

“Saat itu saya melihat ada alasan yang bisa dijawab majalah Rahima dari perspektif agama, dan rahima memiliki jawaban atas kegalauan tentang isu keadilan gender. karena dulu saya sudut pandangnya masih androsentris atau bahkan misoginis, menempatkan perempuan sebagai manusia nomor dua,” terangnya

Hal itu dikatakan Wawan Suwandi dalam diskusi berjudul “Male Feminist: Are You?” yang diadakan Kalyanamitra bersama Aliansi Laki-laki Baru dan Konde.co pada 24 September 2021 melalui daring

Wawan mungkin salah satu yang beruntung karena mau membuka diri dan memiliki akses langsung pada pengetahuan soal kesetaraan. Dari buku-buku itulah kemudian ia mulai menyadari ada yang timpang pada caranya menilai perempuan. 

Kini boleh dibilang ia menjadi laki-laki yang mau berkompromi. Berbagi peran domestik, tidak menetapkan siapa komando utama di dalam rumah, sampai terlibat mengasuh anak. 

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo juga menyampaikan pandangan senada. Menurut Wahyu, sepanjang ia menjadi aktivis, kesetaraan gender kerap menjadi isu yang dikesampingkan. 

Sampai-sampai, ketika ada aktivis melakukan pelecehan, bakalan dikesampingkan dulu masalah tersebut atas dasar ke-aktivisan-nya. anggapan jika kasus pelecehan bisa menghambat perjuangannya sebagai penggerak masih langgeng terjadi di tengah kalangan aktivis sekalipun.

“Dulu perjuangan aktivis anti-Soeharto, bahkan ada aktivis yang melakukan pelecehan perempuan kita kesampingkan dulu,” tuturnya. 

Hal yang sama sempat terjadi di beberapa lingkar aktivisme di Kota Malang. Dalam kasus pelecehan seksual yang sempat dilakukan oleh mantan koordinator Malang Corruption Watch misalnya, terlalu banyak polemik dan penolakan terjadi hingga kasus pelecehan yang melibatkan beberapa korban itu kini hilang entah bagaimana kelanjutannya.

Kita mungkin juga masih ingat pada kejadian catcalling yang dilakukan sesama demonstran di aksi reformasi dikorupsi beberapa waktu lalu di Surabaya. Pelecehan yang jelas-jelas terjadi di depan mata pun seperti enggan untuk diselesaikan karena dianggap tidak krusial.

Wahyu Susilo dalam diskusi itu berharap, pemakluman demikian tak lagi dirawat. Isu keadilan gender menurutnya adalah soal perjuangan sejak lama yang belum membuahkan hasil memuaskan. Setidaknya ia berharap di generasi baru akan semakin tumbuh ruang aman utamanya dalam keluarga. 

“Kalau kita tidak menginternalisasi nilai feminisme dalam keseharian, kita terjebak dalam pandangan patriarkis. Saya kira agenda pembebasan ini merupakan agenda bersama,” pungkas Wahyu. 

Diskriminasi terhadap perempuan hampir terjadi di setiap sektor, bahkan di dalam rumah sekalipun. Perempuan selalu diposisikan menjadi makhluk kelas dua dalam segala tempat.

Bahkan perempuan selalu disebut-sebut sebagai sumber permasalahan, dan pemikiran misogini ini terus berulang dan direproduksi kembali oleh media massa.

Hadir pula pembicara lain dalam diskusi tersebut, aktivis perempuan muda dari Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG), Anindya Restuviani

Ajo Darisman

Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Saban hari timbul tenggelam dalam liputan ekonomi bisnis. Belajar di Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!