Maskulinitas Laki-Laki Yang Harus Dilawan Dalam Kawin Tangkap

Lihat saja dalam proses kawin tangkap, maskulinitas laki-laki seringkali didefinisikan secara dangkal dan dikaitkan dengan ego, dominasi dan kekuasaan.

Jika kamu datang ke Sumba, kamu mungkin menyukai kain tenunnya yang cantik, rumah adatnya yang unik, atau tarian ritualnya yang mengagumkan, namun kamu mungkin tidak akan menyukai satu tradisi ini: ‘kawin tangkap’. 

Dalam kawin tangkap, maskulinitas laki-laki seringkali didefinisikan secara dangkal dan dikaitkan dengan ego, dominasi dan kekuasaan. Hal ini membuat masyarakat tidak jarang melegitimasi tindak kekerasan laki-laki dengan alasan:

“Namanya juga laki-laki.”

Berantem? Namanya juga laki-laki.”

Marah? Tempramental? Biasa, anak laki-laki.”

Ini adalah salah satu cerita tentang perempuan yang menjadi korban kawin tangkap. Anisa, bukan nama sebenarnya, berjalan keluar dari gerbang sekolah. Remaja belasan tahun tahun, berseragam putih-biru itu menyusuri jalanan seperti biasa untuk pulang menuju rumah.

Tak disangka, derap langkahnya terhenti oleh segerombolan laki-laki yang asing baginya, yang kemudian menculiknya secara paksa. Saat menyadari, penculikan itu bermaksud menggiringnya ke perkawinan paksa atau kawin tangkap. Anisa memberontak.

Melihat perlawanan Anisa, laki-laki penculiknya itu justru memperkosanya. Sebuah imaji yang terlalu menyakitkan dan traumatis untuk dibayangkan.

Ini merupakan kisah nyata. Prosesi kawin paksa, yang bahkan sampai pelaku sampai tega memperkosa, itu benar-benar terjadi di wilayah timur Indonesia, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Serupa tapi dalam kasus yang berbeda, tahun lalu, sebaran sosial media kita juga dikejutkan dengan video yang viral tentang seorang perempuan Sumba yang digotong paksa ke sebuah rumah oleh sekelompok laki-laki. Tangisan dan jeritannya tidak dihiraukan, sesampainya di rumah si laki-laki, kepalanya disiram air oleh si pemilik rumah untuk kemudian dinikahkan dengan laki-laki yang telah menangkapnya.

Meskipun berdasarkan keterangan masyarakat Sumba, pelaksanaan kawin tangkap sebetulnya tidaklah sesadis itu, namun tahun-tahun terakhir ini tradisi tersebut telah melenceng dari prosedur adatnya.

Merujuk pada buku “Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya” yang ditulis oleh Oe. H. Kapita, kawin tangkap merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan dalam adat masyarakat Sumba. Dalam istilah adat, cara peminangan ini dinamakan piti rambang atau ambil paksa. Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki akan ‘menangkap’ calon mempelai perempuannya untuk kemudian dilamar dan dinikahi. Dalam tradisi aslinya, kawin tangkap sebenarnya sudah direncanakan dan disetujui terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. 

Prosesnya pun melibatkan penanda informasi adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal sebagai tanda bahwa prosesi adat tersebut tengah dilaksanakan. Perempuan yang akan ditangkap juga sudah mempersiapkan diri dengan berdandan dan mengenakan pakaian adat lengkap. Dengan pakaian adat pula, calon mempelai laki-laki akan menunggang kuda dan menangkap mempelai perempuannya di lokasi yang telah disepakati bersama. 

Setelah ditangkap, pihak orang tua laki-laki akan memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang Sumba sebagai permintaan maaf dan mengabarkan bahwa anak perempuannya telah berada di rumah pihak laki-laki. Proses resmi peminangan baru resmi dimulai setelah calon mempelai perempuan setuju untuk menikah, yang kemudian disusul penyerahan belis (mahar perkawinan).

Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini kita sering mendengar prosesi kawin tangkap ini disertai dengan paksaan, intimidasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Melencengnya praktik kawin tangkap ini bisa kita lihat, mulai dari hilangnya kesepakatan sebelum dilangsungkannya prosesi tersebut, bahkan dalam beberapa kasus pelaku membawa senjata layaknya penculikan sungguhan. 

Hal ini membuat pelaku dapat menculik dan membawa paksa perempuan-perempuan Sumba dimanapun dan kapanpun dengan dalih pembenaran berupa adat atau tradisi.

Melencengnya Kawin Tangkap dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan

Penyimpangan kawin tangkap sebagai tradisi yang melanggar hak asasi ini, bukanlah satu potongan kisah yang terjadi secara sporadis atau terpisah dari konteks, sistem dan budaya yang mengakar di masyarakat. Melencengnya praktik kawin tangkap merupakan salah satu dari sekian akibat konstruksi gender yang tidak setara, dimana kedudukan laki-laki selalu diposisikan di atas perempuan.

Laki-laki dianggap sebagai pihak yang gagah dan cenderung memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Budaya ini tidak lepas dari ide dan konstruksi masyarakat terhadap bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berperilaku dan berperan. Laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminim. 

Masyarakat akan menganggap lumrah dan wajar laki-laki yang bersiul dan menggoda perempuan di jalan, sebab sebagai laki-laki, mereka harus berani pada perempuan. Ada pun dalam kasus penyalahgunaan kawin tangkap, pelaku merasa mempunyai kebebasan untuk mendapatkan perempuan yang Ia inginkan. Bagaimanapun caranya, termasuk dengan cara memaksa. 

Simply karena Ia laki-laki dan agresif merupakan sifat laki-laki yang bisa dimaklumi masyarakat. Selama bertahun-tahun praktik adat tersebut telah melenceng menjadi pertunjukan kejantanan dan kekayaan bagi pria Sumba. Selain itu, sudah sedari dulu budaya kekerasan juga dilanggengkan masyarakat dengan mendikte perempuan agar menjadi pasif dan submisif. “Jadi perempuan harus lemah lembut, penurut dan sabar”, sehingga jika ada perempuan yang kuat, berani dan tegas akan dianggap sebagai sesuatu yang salah dan menyimpang. 

Hal ini yang membuat banyak perempuan akhirnya tidak berani keluar dari zona “kalem”-nya, bahkan disaat-saat terancam sekalipun. Tidak heran jika angka kekerasan terhadap perempuan (KtP) di Indonesia masih sangat tinggi, tahun lalu saja ada 299.911 kasus (Catahu Komnas Perempuan 2020)

Pendek kata, budaya patriarki ini memberi ruang bagi berbagai diskriminasi dan tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan, termasuk penyalahgunaan kawin tangkap ini. Mengapa? Karena kultur ini memberi laki-laki ‘pemakluman’ terhadap ego laki-laki, termasuk pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Hal tersebut dianggap merupakan bagian dari kejantanan atau maskulinitas laki-laki. 

Siapa pelaku dan penyintas mempengaruhi motivasi kekerasan dan bagaimana masyarakat merespon atau mengecam kekerasan tersebut. Sampai disini cukup jelas bahwa disalahgunakannya tradisi kawin tangkap ini tidak lain merupakan buah dari toxic masculinity yang dikembangkan oleh kultur masyarakat yang patriarkis. Budaya masyarakat yang patriarki pada akhirnya membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan/kejahatan. 

Tradisi vs Hak Asasi: Bagaimana Solusi terkait Melencengnya Tradisi Kawin Tangkap?

Setidaknya ada dua aspek yang membuat tradisi kawin tangkap ini beralih menjadi penyerangan dan kekerasan berbasis gender; pertama, aspek pemaksaan dan tidak adanya persetujuan dari korban.

Kedua, penggunaan senjata dan intimidasi yang dapat membahayakan fisik, mental dan seksual korban. Praktik ini tidak sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia, karena setiap manusia termasuk perempuan berhak atas rasa aman serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan.

Penyimpangan praktik kawin tangkap tersebut melanggar berlapis hak asasi manusia dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 Tahun 1984.

Dalam undang-undang pun, pelaku bisa disangkakan melanggar beberapa pasal di antaranya pasal 28G ayat (2) UUD 1945 tentang hak atas rasa aman, pasal 328 dan 333 KUHP tentang penculikan dan kurungan paksa (5 tahun penjara) dan UU Perkawinan yang melarang penggunaan kekerasan dalam perkawinan.

Jika RUU PKS telah disahkan, maka terang pelaku bisa ditangkap karena melakukan kekerasan seksual berupa pemaksaan perkawinan. Berdasarkan data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati), Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap yang terjadi sepanjang tahun 2016 hingga Juni 2020. Kelompok Peruati percaya ada lebih banyak lagi kasus yang tidak terlapor.

Dari tujuh kasus tersebut, hanya lima yang berhasil lolos, sedangkan dua dari kasus tersebut berakhir dengan perempuan yang menikah dibawah tekanan. Mengapa di bawah tekanan? karena dalam masyarakat adat, menolak tawaran pernikahan dianggap sesuatu yang memalukan. Korban yang berhasil keluar dari kawin tangkap seringkali dicap sebagai aib keluarga atau diumpat sebagai orang yang tidak akan bisa menikah dan memiliki anak. 

Dalam memutuskan pernikahan pun, negosiasi dengan pihak keluarga lebih diperhitungkan daripada mempelai perempuan itu sendiri. Orang tua biasanya mempertimbangkan stigma sosial sehingga tidak jarang mereka memutuskan setuju dengan pernikahan tersebut bukan karena benar-benar setuju, namun untuk menghindari tekanan dan stigma masyarakat.

Ironisnya, korban kawin tangkap ini tidak hanya menyasar kalangan perempuan dewasa, namun juga anak-anak. Artinya kawin tangkap di Sumba ini juga mendorong meningkatnya angka perkawinan anak di Indonesia, angka perkawinan anak di NTT sangat tinggi. 

Dalam contoh kasus yang menyedihkan, ada yang terpaksa harus meninggalkan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas karena terjerat kawin tangkap di tengah perjalanannya mengambil ijazah. Hanya dalam beberapa menit, ambisi dan cita-citanya runtuh karena harus menikah dengan laki-laki yang menangkapnya.

Praktik di luar nalar sehat semacam ini harus diakhiri karena merendahkan martabat perempuan. Apalagi sasarannya banyak anak perempuan di bawah umur. Adapun karena bergesekan dengan tradisi, kadang kasus tersebut sulit dibawa ke jalur hukum. 

Romo Paulus Dwiyaminarta dari Kantor Bantuan Hukum Sarnelli Redemptoris mengatakan bahwa di tahun 2020, timnya telah menangani empat kasus kawin tangkap di Sumba namun sejauh ini hanya satu kasus, yang melibatkan anak perempuan berusia 18 tahun, yang berhasil mendapat hukuman. Anak perempuan itu berhasil melarikan diri setelah ditahan selama tiga hari. Lima pria yang menculiknya dipenjara selama tiga tahun.

Dalam wawancaranya dengan UCA News, Paulus mengutip sebuah kasus untuk menunjukkan benturan tradisi dan hukum dalam kasus kawin tangkap ini. Di tahun 2017, seorang anak perempuan berusia 13 tahun di kabupaten Sumba Tengah diperkosa berulang kali selama tiga hari oleh para penculiknya. Meskipun pada akhirnya anak tersebut diselamatkan polisi, penyerangnya tidak didakwa “karena itu dianggap sebagai bagian dari tradisi.”

Dalam kasus lain, ada laki-laki yang sengaja memakai kawin tangkap untuk memperkosanya terlebih dahulu sehingga perempuan tersebut tidak mempunyai pilihan lain selain menerima pinangan pria tersebut. Yang lebih aneh lagi, seperti tidak punya aturan, kawin tangkap ini juga pernah menangkap perempuan yang telah menikah dan bersuami. Hingga akhirnya suami dan keluarganya meminta bantuan LSM untuk melepaskan istrinya dari praktik tersebut.

Kerugian dari praktik kawin tangkap yang menyimpang ini pun tidak hanya dialami korban. Keberulangan kasus kawin tangkap di berbagai tempat tentu menjadi ketakutan dan kekhawatiran tersendiri bagi kaum perempuan di Sumba. Oleh karena itu semua pihak, baik pemerintah, aparat kepolisian, hukum, sesepuh adat, tokoh agama, hingga masyarakat setempat harus menyadari bahwa praktik ini menyimpang dan ikut andil menghentikannya. 

Dalam hal ini, kebijakan tidak boleh hanya berhenti di kertas dan deklarasi, diperlukan penerapan dan pengawasan yang tegas terhadap praktik kawin tangkap ilegal tersebut. Tidak hanya penegakan aturan hukum oleh kepolisian, petinggi adat juga perlu mengintervensi dengan memberikan sanksi adat terhadap pelaku untuk menghindari penyalahgunaan tradisi kawin tangkap yang asli, karena hal ini juga akan memperburuk citra budaya Sumba di mata masyarakat luar.

Agar masyarakat dapat berpartisipasi penuh dalam pengawasannya, diperlukan pula diseminasi atau edukasi yang masif kepada masyarakat mengenai hak dan kesetaraan gender, perlindungan perempuan dari kekerasan serta perbedaan kawin tangkap yang sesuai adat dan yang menyimpang. Hal ini karena di lapangan, masih banyak masyarakat yang menganggap praktik kawin tangkap ilegal tersebut merupakan bagian dari adat dan tradisi Sumba yang tidak perlu dilaporkan atau diproses hukum. 

Perlu ditekankan pula, praktik kawin tangkap tanpa kesepakatan ini bukanlah tradisi lokal Sumba, melainkan tindakan  pragmatis berupa penculikan, pengurungan paksa, dan pemaksaan perkawinan berkedok tradisi. Selain sanksi terhadap pelaku, penting pula bagi pemerintah setempat untuk menyediakan fasilitas pemulihan psikologis bagi korban kawin tangkap.

Terlepas dari bagaimana kawin tangkap mengalami penyimpangan dan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan merupakan perjuangan yang tak akan selesai dalam waktu dekat ini. 

Entah atas nama adat, kodrat atau syariat, hak dan kebebasan perempuan masih sering dibelenggu dan dirampas untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Menjadi perempuan artinya siap untuk segala pertempuran. Baik untuk membela diri sendiri maupun untuk membela hak dan keadilan bagi perempuan lain di dunia yang (masih) patriarkis ini.

Referensi:

Ardanareswari, Indira. (2020). Kawin Tangkap, Tradisi yang Telah Melenceng dan Budaya Kekerasan. Retrieved from https://tirto.id/kawin-tangkap-tradisi-yang-telah-melenceng-dan-budaya-kekerasan-f6rG

Amnesty Indonesia. (2021). Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender. Retrieved from https://www.amnesty.id/hak-perempuan-dan-kesetaraan-gender/

Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2021). Menteri PPPA Sesalkan Praktek Kawin Tangkap Terjadi Lagi di Sumba Barat Daya. Retrieved from https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3083/menteri-pppa-sesalkan-praktek-kawin-tangkap-terjadi-lagi-di-sumba-barat-daya

Dagur, Ryan. (2020). Kidnap for Marriage: A Barbaric Tradition that Refuses to Die. Retrieved from https://www.ucanews.com/news/kidnap-for-marriage-a-barbaric-tradition-that-refuses-to-die/88702#

Komnas Perempuan. (2021). Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020: Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19. Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021

Kompas. (2020). Kawin Tangkap di Sumba, Diculik untuk Dinikahi, Citra Menangis sampai Tenggorokan Kering. Retrieved from https://regional.kompas.com/read/2020/07/09/06070001/kawin-tangkap-di-sumba-diculik-untuk-dinikahi-citra-menangis-sampai?page=all

Loasana, Nina. (2020). Video of ‘Kidnap and Wed’ Practice on Sumba Island Angers Minister. Retrieved from https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/01/video-of-kidnap-and-wed-practice-on-sumba-island-angers-minister.html

Martinus, Danial. (2020). Indonesian Women are Abducted and Forced to Marry their Captors, but It Might Change Soon. Retrieved from https://sea.mashable.com/culture/11586/indonesian-women-are-abducted-and-forced-to-marry-their-captors-but-it-might-change-soon

Siregar, Kiki. (2020). I could only cry and scream’: Instances of bride kidnapping in rural Indonesia prompt calls to abolish practice. Retrieved from https://www.channelnewsasia.com/news/asia/bride-kidnapping-sumba-indonesia-prompts-calls-to-end-practice-12952574

Tambunan, Liza. (2020). Indonesia Vows to End Practice of Bride Kidnapping. Retrieved from https://www.bbc.com/news/world-asia-53418099

Tuasikal, Rio. (2020). Apa yang Salah dari Tradisi Kawin Tangkap di Sumba?. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/apa-yang-salah-dari-tradisi-kawin-tangkap-di-sumba-/5494289.html

Twitter (@ringkik_sandel). Video Kawin Tangkap di Sumba. Retrieved from https://twitter.com/i/status/1273769105061900289

Wardah Fathiyah. (2020). Ketidaksetaraan Gender Masih Tinggi di Indonesia. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/ketidaksetaraan-gender-masih-tinggi-di-indonesia-/5316082.html

Yi, Beh Li. (2019). In Indonesia, ‘bride kidnapping’ tradition fuels child marriage despite new ban. Retrieved from https://www.reuters.com/article/us-indonesia-women-marriage-feature-idUSKBN1XA00

Dian Amalia Ariani

Mahasiswi FISIP Universitas Indonesia (UI), Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!