Perempuan Janda Itu Selalu Lemah Dan Tak Bisa Berkarya? Itu Pikiran Kuno

Anggapan bahwa seorang janda selalu lemah dan tak mampu berkarya, itu pikiran kuno. Banyak janda atau perempuan kepala keluarga sudah membuktikan perjuangannya

Apa yang terbesit di pikiranmu ketika kamu mendengar seorang perempuan berpisah dari pasangannya, dan menjadi janda? Jika yang terbesit di pikiranmu adalah figur perempuan yang lemah, dan tak bisa berkarya, maka pikiranmu itu pasti kuno.

Membuka status janda kepada publik atau di lingkaran perkawanan memang bukanlah perkara mudah. Para perempuan janda harus berhadapan dengan stigma sosial yang melekat: sebagai penggoda suami orang, perempuan murahan yang pandai dalam aktivitas seks. Bahkan stigma di masyarakat ini kadang lebih berat daripada harus menanggung perceraian itu sendiri.

Belum lagi menghadapi janda shaming. Ini tak hanya dilakukan oleh pacar para janda setelah mereka bercerai dari suami, tapi juga dilakukan oleh lingkungan sekitar. Dampaknya, banyak laki-laki yang tak serius ketika menjalin relasi dengan janda. Ada juga pengalaman para perempuan janda yang kemudian ditolak oleh keluarga pacarnya karena alasan ini. Intinya, tak pernah mudah menjadi janda karena tekanan lingkungan

Stigma perempuan janda selama ini tak pernah lepas dari pandangan misoginis masyarakat terhadap perempuan yang hingga hari ini masih terus kita lawan. Sejalan dengan ini, komunitas Save Janda kemudian menggelar diskusi interaktif tentang perempuan janda dalam sinema pada 17 Oktober 2021. Diskusi ini ingin mengajak para janda atau perempuan kepala keluarga membuktikan bahwa mereka bisa berkarya

Nia Dinata, Sutradara sekaligus produser film jadi narasumber pada diskusi itu membagikan proses kreatifnya. Sutradara film “Berbagi Suami” ini menjelaskan, dalam kebanyakan film yang tidak digarap dalam perspektif gender, pasti akan selalu melanggengkan patriarki dan stigma terhadap perempuan, salah satunya stigma pada janda atau perempuan kepala keluarga

“Banyak sekali film yang masih menggunakan pandangan laki-laki dalam eksekusinya, sehingga film juga jadi salah satu alat untuk meneruskan konsep berpikir misoginis,” ujarnya.

“Karena itulah saya sering berpikir, kenapa gak bikin film yang perspektifnya perempuan? tapi kalau mau membuat film kan kita harus siap dengan segala macam ya, modal awalnya harus ada, mulai dari bekal ilmu sampai kru, semua harus ready, prosesnya panjang, tapi bukan gak mungkin,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu Nia Dinata, mengungkapkan, jika kehilangan pasangan hidup entah berpisah karena bercerai atau karena meninggal dunia, ini tentu jadi sesuatu yang berat. Nia memberi semangat pada setiap perempuan yang sedang mengalami hal tersebut, dan berharap perempuan-perempuan itu tak kehilangan semangat untuk terus berkarya.

“Sekarang, siapa sih yang gak pernah putus ya, baik karena cerai maupun karena pasangan kita dipanggil Tuhan, saya rasa gak ada yang mau ngalamin kejadian itu, tapi saya yakin itu bukan alasan kita untuk berhenti berkarya,” ucap Nia.

Pengalaman perempuan yang sangat berbeda dengan laki-laki tentu menjadi salah satu alasan mengapa dalam beberapa persoalan, perempuan hampir selalu melihat sesuatu secara kompleks. Dalam diskusi ini, peserta juga berbagi pengalamannya dalam berkarya, dan proses penyembuhan dari terpisahnya dengan pasangan.

Tak bisa dipungkiri, jika dalam banyak hal perempuan juga melawan sistem patriarki yang sudah terstruktur, dan mendarah daging di tengah masyarakat. Berbekal pengalamannya sebagai perempuanlah yang membuat Nia terinspirasi dan melahirkan karya-karyanya yang sangat membekas hingga hari ini.

Proses Berkarya Perempuan

Film berbagi suami misalnya, dalam film ini Nia ingin menggambarkan poligami dari sudut pandang perempuan, dan pengalaman perempuan, dari strata sosial yang berbeda. Kompleksitas perempuan dengan kondisi sosial yang rumit dan semakin merugikan perempuan merupakan cerminan apa yang sebenarnya terjadi pada praktik-praktik poligami yang hampir bisa dipastikan merugikan perempuan.

Nia mengaku tak pernah menjumpai kesulitan yang berarti dalam proses kreatifnya menjadi seorang sutradara, namun tantangan terbesarnya sebagai pekerja film adalah pembajakan. Dalam kesempatan yang sama, Nia sempat menceritakan pengalamannya ketika pertama kali melahirkan film.

“Kendala paling besar dalam perfilman kalau saya pembajakan film ya, karena waktu itu, pertama kali kita produksi film, film kita baru 7 hari di bioskop, terus ternyata salah satu crew film kita ngelihat film kita ada di toko bajakan, udah berupa CD gitu, kita samperin langsungkan, saya bilang waktu itu ‘pak ini film saya pak, kenapa dibajak’ terus ya si pedagangnya juga makin nyolot dan itu saya pertama kalinya baru tau kalau bajakan itu ada distributornya, susah juga kalau kita harus berurusan dengan cukongnya ya,” kisah Nia.

Akhirnya ia dan crew memutuskan untuk membiarkan pedagang itu menjual film bajakan, meski ia menyadari bisa saja hal tersebut dipersoalkan, namun ia sadar betul jika apa yang ia lakukan belum bisa mencerabut pembajakan hingga ke akar.

Satu hal yang ia sayangkan adalah, pembajakan masih ada hingga hari ini, jika dulu alat pembajakan film bisa sangat mahal, dan terorganisir, namun hari ini perilaku pembajakan bisa dilakukan dengan sekali klik saja, ia mengaku masih sangat heran dengan pembajakan yang langgeng hingga hari ini meski media sudah berganti.

Namun, itu tak membuat ia lantas berhenti berkarya, Nia masih mengeluarkan karya-karya baru sejak kejadian film Ca Bau Kan dibajak. Nia juga berharap, para perempuan tidak berhenti berkarya karena rintangan-rintangan yang pasti ada di depan.

“The future is now,” tegasnya. Mengutip salah satu dialog dalam Filmnya, ia berharap perempuan bisa terus berkarya, meski sebagai perempuan, tantangan akan selalu dijumpai.

Komunitas Save Janda juga menunjukkan perjuangannya. Pada Oktober 2021 ini, Save Janda mendapatkan penghargaan sebagai komunitas terpuji pilihan “Festival Solidaritas Sosial” yang diselenggarakan Himpsi Jaya. Banyak perempuan kepala keluarga atau janda lain juga melakukannya.

Organisasi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) misalnya, juga banyak mendapatkan penghargaan internasional seperti Best Practice Award, outstanding achievement in supporting the most vulnerable groups using the JSDF, Ministry of Finance Japan, 2009, Outstanding Achievement Award, GRM International, 2010. Juga The ASEAN Leadership Award on Rural Development and Poverty Eradication, ASEAN, 2013 dan Penghargaan Organisasi Masyarakat Bidang Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri RI, 2018

Jadi, tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan khan?

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!