Ada yang Gagal Paham Tujuan RUU TPKS dan Coba Menggeser Maknanya

Usulan untuk menghapus frasa “kekerasan” dalam RUU TPKS akan mengaburkan bahkan menggagalkan tujuan disusunnya RUU TPKS untuk merespons persoalan kekerasan seksual

Kabar tak menyenangkan datang dari ruang pembahasan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang berlangsung di Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Badan Legislasi (Baleg) DPR.

RUU TPKS berada dalam titik kritis dan berpotensi mengalami pergeseran serius dari tujuan awal diusulkannya RUU ini oleh Komnas Perempuan serta dari jaringan masyarakat stop kekerasan seksual  pada 2012 silam. Akibatnya tahapan pembahasannya mengalami penundaan.

Menurut jadwal, pada Kamis (25/11/2021) kemarin seharusnya diambil keputusan di tingkat Panitia Kerja (Panja) untuk selanjutnya hasilnya dibawa ke rapat paripurna DPR RI guna diputuskan bahwa RUU ini sudah sah sebagai RUU inisiatif DPR. Namun belum bulatnya dukungan, membuat tahapan ini terpaksa ditunda.

Hingga kemarin dukungan penuh baru datang dari Fraksi PDI Perjuangan dan Nasdem. Sementara Partai Gerindra, Golkar dan Partai Demokrat belum menunjukkan sikap yang jelas.

Padahal dalam beberapa rapat Panja, seperti pada 1 November 2021, anggota Baleg dari Fraksi PKS, PPP, PAN dan satu orang anggota Fraksi Gerindra mengusulkan perubahan judul RUU, yakni mengeluarkan/menghilangkan kata “kekerasan” dari judul semula sehingga menjadi “RUU Tindak Pidana Seksual”.

“Jika judul sudah berubah dan perbuatan yang tidak masuk kategori kekkerasan seksual masuk ke dalam RUU ini, itu sudah bertolak belakang dengan tujuan awal diusulkan RUU ini,” ujar Ratna Batara Munti, Ketua Asosiasi LBH APIK Indonesia yang juga motor Jaringan Pembela Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual saat dihubungi Konde.co pada Kamis (25/11/2021).

Ratna menambahkan, keinginan beberapa pihak yang tak setuju ini semakin menguat seiring dengan narasi-narasi dukungan yang masif disebarluaskan terkait penolakan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS).

Para penolak menganggap Permendikbud melegalkan kebebasan seks di kampus dengan dalih adanya frasa “tanpa persetujuan korban” dalam bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilarang. Mereka berdalih Permendikbud harusnya melarang zina atau aktivitas seksual yang dilakukan dengan persetujuan atau suka sama suka.

Dalam pernyataan persnya, Jaringan Pembela Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual yang dibentuk dan digerakkan oleh 1.114 lebih individu 140 lembaga menyatakan siap untuk mengawal dan mendukung RUU TPKS versi Badan Legislatif (Baleg), 30 Agustus 2021.

Para aktivis menilai, pendapat berseberangan yang  memaksakan isu perzinahan dan sejenisnya masuk ke dalam RUU TPKS memperlihatkan kegagalan dalam memahami isu kekerasan seksual. Isu kekerasan seksual dipahami tidak lebih sebagai hubungan seksual pada umumnya. Karena upaya ini justru akan mengaburkan persoalan

“Upaya ini, lebih jauh akan mengaburkan bahkan menggagalkan maksud dan tujuan disusunnya RUU TPKS sejak awal, yakni sebagai aturan khusus yang merespons permasalahan terkait kekerasan seksual dan menjadi payung hukum perlindungan bagi korban,” imbuh Ratna.

Di sisi lain, mencampur-adukkan pengaturan soal zina dalam aturan terkait kekerasan seksual (RUU TPKS) berpotensi menguatkan stigma bahkan kriminalisasi bagi korban kekerasan seksual, terutama ketika korban gagal membuktikan kasusnya maka ia akan terancam sebagai pelaku zina (reviktimisasi).

Indonesia harusnya dapat berkaca dari kesalahan negara Sudan yang memiliki Hukum Pidana yang mencampur-adukkan konsep zina dalam rumusan kekerasan seksual (perkosaan) dan mengakibatkan para perempuan korban enggan melaporkan kasusnya karena khawatir justru akan terjerat hukum. Alih-alih laporan atas kekerasan yang mereka alami diproses, yang terjadi justru sebaliknya, mereka dituduh berzina.

Ratna mencontohkan salah satu kasus yang memicu perhatian internasional, menimpa remaja perempuan berusia 19 tahun, korban “gang rape” dengan pelaku 6 laki-laki, justru berakhir dengan tuduhan zina, sehingga akhirnya korban dipenjara dan dikenakan denda (www.reuters.com, 24 April 2015).

Pada 2015, pemerintah Sudan akhirnya melakukan reformasi hukum dan salah satunya mengeluarkan redaksi mengenai zina dalam aturan perkosaan mereka. Harusnya, ujarnya, ini menjadi pelajaran bagi semua pihak di Indonesia.

Jaringan menilai, RUU TPKS versi Baleg 30 Agustus 2021 merupakan langkah maju di tengah penolakan, berita bohong dan stigma untuk menghambat kemajuan pembahasan RUU ini sejak 2016. Seharusnya setelah itu, pihak-pihak di Baleg bisa bergerak ke hal-hal yang lebih subtansial terkait perlindungan dan penanganan korban. Bukan justru mundur ke belakang.

Ratna menegaskan, Jaringan Pembela Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual yang terdiri dari para pendamping korban, organisasi perempuan, advokat, akademisi, pemimpin perempuan akar rumput, pekerja kemanusiaan, jurnalis, kaum muda, aktivis lembaga keagamaan, psiokolog, pekerja sosial, penyintas kekerasan seksual bersatu mengawal RUU TPKS agar menjadi RUU inisiatif DPR dan dibahas DPR secara resmi bersama Pemerintah disahkan dalam periode DPR saat ini.

Berbagai elemen masyarakat sipil sepakat untuk bersama-sama melobi partai-partai politik yang saat ini masih bersikap abu-abu seperti Gerindra, Golkar dan Demokrat guna membuka mata mereka akan mendesaknya RUU TPKS.

Abaikan aspek penanganan korban

Jaringan juga menengarai adanya upaya beberapa pihak yang menginginkan RUU TPKS hanya mengatur aspek pencegahan saja atau lebih menitikberatkan pada upaya-upaya pencegahan, padahal aspek lain seperti penanganan, perlindungan dan pemulihan sama pentingnya dalam RUU ini.

“Selama ini aspek-aspek tersebut bermasalah, sehingga hak-hak korban kekerasan seksual tidak terpenuhi. Ketiga, ada kekhawatiran pembahasan RUU terancam gagal, karena upaya pihak-pihak tertentu yang menolak RUU TPKS terus memanfaatkan polemik terhadap Permendikbud PPKS,” ujar Ratna.

Melihat dinamika dan perkembangan terkait RUU TPKS, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual menyampaikan sikap kepada DPR, khususnya Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk mempertahankan judul RUU saat ini, yakni RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Lalu menjaga dan mengamankan RUU TPKS agar tetap pada tujuan dan maksud disusunnya RUU ini, yakni sebagai aturan khusus yang berfokus pada isu kekerasan seksual, dan bukan isu lain di luar konteks kekerasan seksual, seperti isu seks bebas atau isu asusila.

Menghindarkan potensi kriminalisasi terhadap korban dengan menutup upaya-upaya pihak tertentu yang berambisi mencampur-adukkan isu zina dan sejenisnya dengan kekerasan seksual.

Kemudian tidak hanya menitikberatkan RUU ini pada pencegahan, tetapi juga menguatkan substansi RUU TPKS di semua aspeknya, khususnya pemidanaan, penanganan, dan layanan terpadu untuk pemulihan korban, sehingga RUU TPKS bisa diimplementasikan sesuai dengan harapan dan tujuan penyusunan.

“Kami mengimbau agar semua pihak dapat mendukung dan mengawal pembahasan RUU TPKS di Baleg saat ini, hingga RUU dapat disahkan di DPR, dengan muatan substansi yang tidak keluar dari maksud dan tujuannya,” tegas Ratna.

Sejarah Perjuangan RUU PKS

Seperti diketahui, RUU PKS awalnya diusulkan Komnas Perempuan pada 2012 dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan pertimbangan Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual menggunung, tapi penyelesaian kurang karena tiadanya payung hukum.

Pada 2016, DPR akhirnya bersedia mengagendakan pembahasan RUU PKS. Namun, hingga 2020 RUU PKS sempat dicoret dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menyusul penolakan dari sejumlah kalangan.

Pada Maret 2021 RUU ini kembali masuk daftar prioritas Prolegnas dan diharapkan bisa disahkan tahun ini. Selanjutnya diputuskan RUU PKS dibahas di Baleg. Pada 30 Agustus 2021 lalu, Baleg DPR akhirnya memulai dari awal proses RUU PKS dengan draf baru yang disusun oleh tim tenaga ahli.

Dibandingkan dengan draf sebelumnya, pada draf rancangan undang-undang yang baru, ada beberapa perubahan, baik usulan judul maupun jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, yang akan diatur. Pada judul misalnya, dalam draf RUU yang baru, judul yang diusulkan “RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” atau tidak menggunakan kata “penghapusan” sebagaimana draf RUU sebelumnya yang berjudul “Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”.

Selain itu, pada draf awal RUU yang dibahas Baleg, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur berkurang dari awalnya Sembilan turun menjadi hanya lima, yakni Pelecehan Seksual (Pasal 2), Pemaksaan Memakai Alat Kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), Eksploitasi Seksual (Pasal 5), dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain (Pasal 6).

Sejumlah pasal dalam draf RUU TPKS yang sudah tercantum dalam undang-undang lain, misalnya RUU KUHP, UU Perkawinan, dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga dihapus dari draft tersebut.

“Prinsipnya apa yang sudah termaktub di dalam UU itu kita tidak bahas disini (RUU TPKS),” kata Ketua Panja RUU PKS sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya kala itu seperti dikutip Kompas.com.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul usulan untuk mengganti judul dengan menghapus frasa “kekerasan” dan memasukkan perbuatan di luar kekerasan seksual ke dalam beleid ini.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!