Aku Memang Pekerja Seks, Tapi Gak Berarti Kalian Bisa Sembarangan Memperlakukan Tubuhku

Aku memang perempuan pekerja seks, tapi gak berarti kalian bisa sembarangan memperlakukan tubuhku

“Saya memang bekerja sebagai pekerja seks, menjual jasa. Tetapi bukan berarti kalian bisa sembarangan memegang payudara saya di tempat umum. Jika mau mendapatkan pelayanan, bayar nanti ada tempatnya.”

Dengan lugas Ester (bukan nama sebenarnya) menceritakan upayanya dalam melawan kekerasan dan pelecehan yang sering dialaminya saat bekerja.

Pengakuan Ester ini disampaikan dalam diskusi Merayakan Feminisme bertajuk “Keberagaman dalam Kehidupan” yang dihelat Kalyanamitra dan Konde.co pada Sabtu (30/10/2021) lalu. Ester menjadi salah satu dari tiga tamu yang diundang untuk membagikan kisahnya di ruang aman yang hangat pada Sabtu sore itu. 

Sebagai perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks (PS), Ester tak bisa menghindar dari stigma, kekerasan, pelecehan ataupun diskriminasi. Masa dengan diskriminasi terberat. dialami Ester saat dia bekerja di lokalisasi. Tidak sedikit anggota masyarakat yang beranggapan bahwa PS adalah profesi hina sehingga mereka merasa berhak untuk memperlakukan PS seenaknya, bahkan tak jarang masyarakat ikut menghakimi. 

Karena jasa yang dijual adalah pelayanan seks, tidak sedikit orang yang beranggapan bisa seenaknya memperlakukan tubuh PS. Panggilan tidak layak ataupun ucapan tidak senonoh bukan sekali dua kali dialami Ester dan teman-temannya. Belum lagi perlakuan tamu yang merasa sudah membayar sehingga merasa bisa memperlakukan PS seenaknya. 

“Kadang kami harus bekerja hingga tengah malam, padahal kami sudah mengantuk. Belum lagi permintaan tamu yang aneh-aneh karena merasa sudah membayar,” ujar Ester tanpa tedeng aling-aling. 

Pelecehan dan kekerasan tak hanya datang dari para tamu dan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga dari aparatur negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Perlakuan tak senonoh sering harus diterima Ester dan rekan-rekan profesinya, saat para petugas itu melakukan apa yang mereka sebut sebagai ‘penertiban’.

“Tak jarang, kami harus memberikan pelayanan kepada mereka tanpa bayar,” ujarnya kesal.

Namun, semua perlakuan tak menyenangkan ini tak mampu membuatnya mundur. Dengan caranya sendiri, perempuan yang pernah menjadi korban perdagangan manusia ini aktif mengadvokasi kawan-kawan seprofesinya, dengan harapan tidak ada lagi perempuan lain yang mengalami hal yang sama dengan apa yang dialaminya. 

Bersama Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) tempat ia bergabung, Ester yang memiliki tiga nama –nama panggilan di komunitas, nama panggilan di masyarakat dan nama di kalangan yang disebutnya sebagai kelompok stakeholder—membangun jaringan dengan lembaga bantuan hukum di sejumlah daerah untuk melakukan pendampingan dan advokasi bagi PS yang menjadi korban kekerasan.

OPSI didirikan pada 2009 dengan tujuan untuk menaungi dan dan membina PS di seluruh Indonesia terkait kesehatan reproduksi dan pendampingan dari kekerasan. Kini keberadaan OPSI telah menyebar hingga ke 21 provinsi. 

“Perempuan harus bisa membela diri, tetap mandiri dan bisa bekerja untuk tetap dihargai dan bisa menghidupi diri dan keluarganya.” Demikian harapan Ester yang saat memperkenalkan diri menyebut dirinya sebagai perempuan korban trafficking yang kemudian secara sadar memilih bekerja sebagai pekerja seks. 

Dengan pekerjaan ini Ester yang berasal dari Lubuk Linggau Sumatera Selatan ini bisa menjadi perempuan mandiri yang bisa menghidupi keluarganya. Tak hanya itu Ester juga tetap bisa aktif menjalankan fungsinya sebagai ibu bagi anak-anaknya, menjalankan peran istri bagi suaminya, sekaligus menjalankan fungsi sosialnya sebagai anggota masyarakat. 

Sebagai ibu, ia merawat dan membesarkan anak-anaknya dengan baik, sebagai anggota masyarakat ia taat membayar pajak, ikut menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial di lingkungannya. 

Tak mau ambil pusing atas semua stigma

Namun, kesadaran Ester ini tak serta merta muncul begitu saja. Di masa lalu, Ester pernah beberapa kali mencoba memberontak dan berjuang. Ia mengisahkan, pada 2005 dia dan seorang saudaranya ‘dijual’ tetangganya seharga Rp 3 juta. 

“Awalnya kami dijanjikan untuk dipekerjakan sebagai buruh di pabrik karet. Kami dibawa ke sebuah tempat di jambi yang disebutkan sebagai tempat istirahat sementara yang ternyata sebuah lokalisasi” ujar Ester yang mengaku masih selalu merasa getir setiap menceritakan kisah masa lalunya. 

Ester pernah beberapa kali melarikan diri dari lokalisasi yang dijaga dengan sangat ketat itu, namun selalu digagalkan satuan pengamanan yang berjaga. Terakhir, ketika ia mencoba melarikan diri, centeng yang menjaga lokalisasi memperlakukannya dengan sangat kasar. Rambutnya dijambak dan kepalanya dibenturkan ke pagar sehingga terluka. Perlakuan ini meninggalkan luka fisik yang masih dirasakan Ester hingga kini. 

“Kepala saya masih sering merasa nyeri akibat perlakuan itu,” terangnya.

Perlakuan kasar demi perlakuan kasar yang dialaminya akhirnya menumbuhkan kesadaran dalam diri Ester untuk menerima keadaannya. Ia lantas berpikir, selama ini ia dipaksa ‘menjual’ tubuhnya namun tak menikmati sepeserpun hasil pengorbanannya. Kesadaran ini mendorong ibu dua anak ini untuk secara sadar melanjutkan pekerjaan yang sebelumnya terpaksa melakoni pekerjaan ini selama bertahun-tahun.

Ketika kepadanya ditawarkan dua pilihan, apakah bekerja di salon atau tetap sebagai pekerja seks, Ester dengan sadar memilih tetap menjadi pekerja seks.  Beruntung ia menemukan orang yang bersedia membantunya. Dengan bantuan orang yang berprofesi sebagai Satpol PP ini Ester lantas menjadi pekerja seks yang mandiri. 

Stigma maupun cibiran belum sepenuhnya berhenti diterima Ester, namun dia dengan sabar menghadapi semua itu. Penerimaan atas apa yang dialaminya dan penemuan identitas diri membuat Ester lebih kuat menjalani jalur berbeda yang dipilihnya. 

Myra Diarsi dari Kalyanamitra yang menjadi salah satu pembicara di diskusi Sabtu sore itu mengatakan, Ester dan beberapa korban kekerasan diskriminasi yang hadir dalam diskusi itu, telah berhasil mengubah stigma menjadi daya untuk melawan dengan cara yang positif. 

Perjuangan seperti inilah yang penting untuk dilakukan dan memberikan semangat pada yang lain untuk memperjuangkannya apapun yang terjadi pada hidup perempuan

“Stigma diubah menjadi pendorong untuk melawan dengan berbuat kebaikan dan memperjuangkan apa yang kita anggap benar,” tutupnya.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!