Dianggap Lemah dan Tak Tegas: Stop Stigma Negatif Pemimpin Perempuan

Penilaian negatif sebagai pemimpin masih menghantui perempuan, seperti dianggap lemah, tidak tegas dan kurang cekatan. Padahal ini cuma mitos atau stigma negatif yang tak boleh kamu percayai

Saat ini, perempuan menjadi pemimpin bukan suatu hal yang tidak mungkin. Walau belum banyak, perempuan perlahan-lahan mulai bebas menggunakan haknya untuk menjadi seorang pemimpin. Meski begitu, bias negatif masih bisa ditemukan di tengah-tengahnya.

Ada persepsi umum bahwa perempuan dilahirkan dengan sifat feminin. Perempuan dianggap sebagai sosok manusia yang bersikap lembut, penyabar dan baik hati. Atau setidaknya jika mereka tidak memiliki sifat seperti itu, minimal mereka akan “dikondisikan” menjadi feminin oleh lingkungannya. 

Kriteria karakter pemimpin yang baik butuh lebih dari sekadar sabar dan baik hati. Di saat-saat tertentu, seorang pemimpin perlu bersikap tegas dan cekatan dalam menghadapi suatu masalah. Dan, ya, faktanya masih ada orang-orang yang memandang perempuan bukan pilihan yang tepat untuk menjadi pemimpin, bahkan jika ia kompeten. 

Ketika seorang perempuan menggunakan nada tegas dan suara lebih kencang untuk berbicara, dia akan dikritik karena tidak feminin; sebaliknya jika dia mencoba menjadi feminin dan lembut, dia akan dianggap tidak bisa mengambil andil dalam diskusi yang serius. Hal ini pun berlaku ketika seorang perempuan menjadi pemimpin. Saat mereka mengadopsi karakteristik pemimpin laki-laki demi mengemban tugasnya sebagai seorang pemimpin, mereka akan dianggap tidak feminin, agresif dan terlalu bossy.

Bicara soal bossy, label ini mungkin adalah yang paling umum diterima oleh seorang pemimpin perempuan. Bisa dibilang, itu menjadi makanan sehari-hari mereka. Padahal seperti disebut di atas, menjadi asertif dan tegas adalah bagian dari karakter seorang pemimpin. Laki-laki yang tegas seperti ini tidak pernah dilabeli bossy, bukan?

Menurut Poppy Dihardjo, penggagas komunitas Perempuan Tanpa Stigma (PenTas Indonesia) dalam wawancara bersama Plain Feminism, seorang pemimpin bukan seorang yang mengintimidasi. Pemimpin adalah seorang warrior, di mana posisinya tidak selalu di depan. Seorang pemimpin bisa berada di belakang yang mendorong anggotanya ke arah mana seharusnya mereka pergi. 

Pemimpin adalah sosok yang tidak egois, karena ia mampu membantu kelompoknya dengan memberikan power dan membagikan ilmunya. Dan bagi perempuan yang mengemban tugas sebagai seorang pemimpin, mereka seharusnya tak perlu mengkhawatirkan kefemininan mereka, karena itu bukan suatu halangan. 

Bias negatif kerap menyerang perempuan, hingga menjadi tantangan bagi sebagian dari mereka untuk mendapat kesempatan yang sama dalam menjadi seorang leader. Orang-orang mengharapkan perempuan menjadi manusia yang hadir dengan sikap yang manis dan lembut sehingga dapat dengan mudah disukai. Di sisi lain, menjadi pemimpin tidak bisa terus-terusan bersikap lembut. Ketika perempuan mengusahakan yang terbaik untuk menjadi tegas atau sikap apapun yang dianggap dapat menunjang dirinya sebagai seorang pemimpin yang diharapkan anggotanya, ia malah dikritik. 

Begini salah, begitu salah, sehingga muncul kesan orang-orang pokoknya ingin pemimpin yang bukan perempuan saja, meski ia telah terbukti bisa menjadi pemimpin yang baik.

Di situasi kritis seperti kita sekarang di tengah pandemi, leader menjadi figur yang paling disorot atas bagaimana respons mereka terhadap masalah yang sedang dihadapi. Beberapa media telah menyorot bahwa negara-negara dengan perempuan sebagai pemimpinnya memiliki protokol yang lebih baik di tengah gelombang pertama pandemi. 

Dengan sigap, perempuan-perempuan ini mengambil tindakan krusial berupa karantina wilayah. Mereka berani mengambil risiko untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya walau harus menerapkan kebijakan yang tidak populer. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada tanda-tanda bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin yang baik, bahkan ketika berada di bawah tekanan hebat.

Menjadi seorang pemimpin yang berani dan cekatan tidak mengurangi nilai seseorang sebagai perempuan. Kalau kamu mampu menjadi pemimpin perempuan yang kuat dengan cara-caramu sendiri juga tidak salah, artinya kamu dapat mengenali potensimu. Tentang hal ini, Poppy Dihardjo juga menambahkan bahwa perempuan bisa hebat dengan menjadi dirinya sendiri. Perempuan tidak harus memaksa diri untuk menjadi maskulin hanya supaya dianggap sebagai pemimpin yang baik, kita tahu apa yang kita butuhkan dan itu lah yang akan kita lakukan. 

Dengan menuangkan potensi diri, kita bisa ubah nada cerita lingkungan sekitar kita menjadi lebih positif dan menciptakan dunia bagi perempuan yang lebih aman. 

Turut merayakan International Women’s Day 2021, Campaign.com mengajak anak muda yang peduli tentang isu perempuan untuk ambil aksi sosial melalui aplikasi Campaign #ForChange. Setiap aksi yang berhasil diselesaikan akan dikonversikan menjadi donasi oleh sponsor terkait untuk membantu tiga komunitas sosial mengembangkan kegiatan dalam mengusahakan hak-hak perempuan.

Ambil aksimu sekarang di aplikasi Campaign #ForChange. Karena perubahan butuh gerakan tangan orang-orang yang peduli.

(Sumber: https://plainmovement.id)

Firza Aliya A.

Penulis Plain Movement
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!