Dimana Keadilan untuk Merri Utami? 20 Tahun Dipenjara Tak Juga Dapat Grasi

Merri Utami adalah perempuan pekerja migran yang dikorbankan untuk membawa narkoba. Sudah 20 tahun dipenjara, Presiden juga tak memberikan grasi. Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan, peran perempuan dalam sindikasi kejahatan narkoba berada di lapis paling luar dan lemah (powerless)

Devy Christa, anak dari terpidana vonis mati Merri Utammengirimkan surat pada Presiden Joko Widodo melalui Kantor Staf Presiden (KSP), Senin 1 November 2021. Surat ini dibuat Devy agar grasi Merri Utami dikabulkan Presiden

LBH Masyarakat selama sepekan ini membuat petisi untuk mendorong Jokowi agar mengabulkan grasi bagi Merri. Total ada 50 ribu lebih tanda tangan dari 1.000 lembaga yang mendukung pengabulan grasi buat Merri.

Dihubungi secara terpisah, aktivis LBH Masyarakat menyatakan bahwa hingga hari ini nasib Merri masih belum pasti. Yosua Octavian Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat menjelaskan pada Konde.co, jika pengajuan grasi untuk Merri Utami seharusnya bisa segera dikabulkan.

“Hukuman 20 tahun pidana itukan sudah maksimal sekali, jadi kabulkan saja itu grasi, 20 tahun sudah angka maksimal. Ibu Merri selama dipenjara tidak terlibat kasus apapun, bahkan ketika kita menanyakan bagaimana beliau sewaktu dipenjara, ibu Merri selalu melakukan gerakan, baik mengajar kesenian, ibadah, seharusnya grasinya gak usah ragu,” katanya.

Kasus yang menimpa Merri Utami terjadi setelah ia divonis pidana mati karena kedapatan membawa heroin 1,1 kilogram di dalam tasnya saat tiba di Bandara Soekarno Hatta, sepulang dari liburan bersama Jerry, pacarnya di Nepal pada 31 Oktober 2001. Tas yang dibawanya merupakan titipan untuk disampaikan kepada Jerry yang memilih pulang terlebih dulu. Bermodalkan kepercayaan dan kedekatan emosional, ia mau menerima titipan paket dalam tas, yang diberikan oleh Jerry. Tanpa menaruh curiga, Merri membawa tas itu menuju Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta. Namun, Merri tak menyangka, jika kepercayaannya telah dihancurkan oleh Jerry. Ia tak mengerti jika barang yang ia bawa adalah narkotika.  Jerry telah memanipulasi harapan dan perasaan Merri Utami.

Sudah sejak tahun 2020, Merri Utami menanti putusan Grasi dari Presiden RI, Joko Widodo. Yosua Octavian menyatakan, selama dalam penyidikan, Merri Utami mengalami penyiksaan fisik dan pelecehan.

“Ditahun 2016 Juni tanggal 26, Merri Utami sempat masuk dalam list eksekusi, LBH Masyarakat sempat masuk dan intervensi, langkah pertama adalah ajukan grasi. Kondisi saat itu sangat menegangkan, apalagi dia tidak dapat bantuan, ketika proses sebelum penyidikan dan tidak ada saksi. Selama proses penyidikan, bu Merri juga mendapat penyiksaan fisik, seperti ditampar, dan mendapat pelecehan verbal, apa ya, bahasanya seperti merendahkan posisi perempuan,” terangnya.

Pengajuan Grasi Merri utami telah diajukan sedari tahun 2016, namun Mahkamah Agung tak kunjung mengabulkan. Ada banyak sekali alasan yang dilontarkan, salah satunya yakni tentang deklarasi dari presiden, tentang perang melawan narkoba.

“Memang ini akan menjadi seperti menelan ludah sendiri, tapi kan ini posisinya Ibu Merri adalah korban, kita harus melihat sebuah kasus secara utuh, jangan fokus pada pemberian hukuman-hukuman saja,” ujar Yosua pada Konde.co, 1 November 2021

Kemarin, bertepatan dengan diperingatinya putusan pengadilan tentang nasib Merri, tim kuasa hukum dan jejaring solidaritas untuk Merri, mengadakan pertemuan di KSP (Kantor Staff Presiden) untuk menyampaikan pendapat, dan pandangan tentang apa yang menimpa Merri.

Lebih lanjut, Yosua menjelaskan jika ia dan tim akan melakukan pendekatan pada lembaga lain, agar kasus ini semakin bergema, dan Merri mendapat keadilan. Selain menemui KSP, LBH Masyarakat juga akan menemui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dan Komnas HAM

“Kebetulan tadi ada notifikasi dari anak Merri Utami ada pertemuan di KSP, dan peringatan 20 tahun Merri Utami di penjara. Selain itu tim pendamping dan Jaringan, besok selama 2 dan 3 hari kedepan akan melakukan pendekatan ke  teman-teman, KPPA, Komnas HAM, ya tujuannya agar kasus ini semakin menemui titik terang dan menambah dukungan terhadap ibu Merri,” terang Yosua.

Merri Utami harus menghadapi ketidakpastian selama 20 tahun, dan jauh dari anak-anaknya. Merri menjadi korban tipu daya narkotika.

Hukuman Mati Bukan Solusi

Hukuman mati selama ini menjadi salah satu alat politik untuk meraih perhatian dan kepercayaan publik atas narkoba. Pemerintah kerap mengumandangkan hukuman mati untuk kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat, agar pemerintah terlihat tegas, dalam menjalankan pemerintahaan. Akan tetapi, hukuman mati nyatanya tak bisa serta merta diterapkan.

Selain itu, hukuman mati telah memakan banyak sekali korban, seperti Merri Utami, atau Merry Jane, banyak perempuan yang menjadi korban. Tak jarang tindakan dalam proses penanganan kasus, perempuan kerap mengalami kekerasan dan pelecehan.

Yosua menjelaskan, kasus yang menimpa Merri Utami adalah pola yang kerap dialami oleh perempuan lain, dalam beberapa kesempatan, pekerja migran menjadi salah satu kelompok yang paling rentan untuk dijebak oleh sindikat narkoba.

“Ibu Merri adalah pekerja migran, harus dipahami bu Merri ini berkenalan dengan Jerry saat bekerja di Taiwan, karena ada kedekatan psikologis, dan dijanjikan untuk menikah, bu Merri mau membawa titipan Jery, tapi ternyata  tasnya isi heroin,” kisah Yosua.

Pada pengajuan banding kasasi, sangat disayangkan, karena mahkamah Agung tak bisa mempertimbangkan kasus Merri, dan tak mampu melihat Merri sebagai korban. Perubahan nama juga kerap dipermasalahkan. Padahal perubahan nama adalah salah satu upaya TKI agar lolos dan bisa mendapat pekerjaan di sana.

“Majelis agung sempat mempermasalahkan perubahan nama Merri, tapi kan perlu dilihat juga, kalau ibu Merri ini seorang TKI, dia melakukan itu demi pekerjaannya, kan kita tau juga ini banyak terjadi pada pekerja-pekerja TKI lainnya, mereka justru melihat ini sebagai upaya manipulatif,” kata Yosua.

Pemantauan Komnas Perempuan juga menunjukkan peran perempuan dalam sindikasi kejahatan narkoba berada di lapis paling luar dan lemah (powerless), namun seringkali dipaksa atau dimanipulasi melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang berisiko langsung untuk tertangkap dan berhadapan dengan hukuman mati.

Komnas Perempuan juga memantau bahwa masa menunggu pelaksanaan pidana mati merupakan bentuk penyiksaan yang telah menyebabkan para terpidana mati mengalami gangguan kesehatan mental.

Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai bentuk penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Merri Utami sudah menjalani pidana 20 tahun sehingga menjadi penting untuk mengabulkan grasi sebagai komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 20 tahun

Penerapan hukuman mati juga selalu dipercaya sebagai salah satu cara untuk meminimalisir kriminalitas di Indonesia, akan tetapi tak ada hasil penelitian yang menunjukkan kondisi tersebut.

Semangat hukuman mati hanyalah pembalasan dendam. Hukuman mati juga menciderai hak asasi manusia dan hak hidup setiap manusia.

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!