Aksi Hari Anti Kekerasan: Perempuan Harus Merdeka dari Kekerasan Seksual

Dengan mengenakan atribut berwarna ungu, puluhan aktivis Perempuan Mahardika dan Jaringan Muda Setara menyatakan mendukung implementasi Permendikbud PPKS, dan pengesahan RUU TPKS dan RUU PPRT yang akan memberikan perlindungan bagi perempuan dari kekerasan seksual.

Tepat 61 tahun setelah pembunuhan Mirabal bersaudara, yang dikenang menjadi Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) sedunia, kekerasan terhadap perempuan masih saja terus terjadi. Kekerasan terhadap perempuan terjadi hampir di semua negara, tak terkecuali di Indonesia.

Rumah, tempat kerja, pabrik, ruang public bahkan di ruang-ruang akademik seperti sekolah dan perguruan tinggi belum menjadi ruang aman bagi semua orang karena masifnya pembiaran terhadap kasus kekerasan seksual.

Riset yang digelar Thomson Reuters Foundation terhadap 25.213 masyarakat Indonesia, menemukan bahwa 1.636 diantaranya pernah menjadi korban kekerasan seksual. Dan, 93% dari jumlah tersebut tidak mau melapor.  Lebih miris ternyata tidak sedikit dari kasus ini terjadi di lembaga pendidikan.

Sementara, data Komnas Perempuan mencatat dalam kurun 2015-2020, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27% kasus terjadi di perguruan tinggi.

Survei Kemendikbud pada tahun 2020 juga menyebutkan, sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Data ini ibarat fenomena gunung es, karena diyakini masih banyak korban lain yang tidak berani/tidak mau melapor. Beragam faktor melatarbelakangi kondisi ini, mulai dari takut disalahkan, takut kehilangan pekerjaan, hingga tidak adanya payung hukum yang bisa melindungi korban.

Menyikapi situasi ini, Perempuan Mahardhika, Jaringan Muda Setara dan sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya mengingatkan pentingnya untuk menciptakan ruang aman dan perlindungan hak serta keadilan bagi korban kekerasan seksual, baik yang terjadi di lingkungan kampus maupun di tempat umum lainnya.

Peringatan ini diusung dalam aksi damai memperingati 16HAKTP pada Kamis (25/11/2021). Puluhan aktivis Perempuan Mahardhika dan Jaringan Muda Setara yang mengenakan berbagai atribut berwarna ungu, menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR Jakarta dengan menyuarakan tema besar “Kita Harus Merdeka dari Kekerasan Seksual”.

Mereka mengusung berbagai poster mendukung upaya untuk memerangi kekerasan seksual yang masih banyak dialami perempuan Indonesia.

Dalam pernyataan sikapnya, mereka mendukung implementasi Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan pegesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

“Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai saat ini belum disahkan, padahal RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan payung hukum yang komprehensif untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual,” terang Eva Cahyani dari Jaringan Muda Setara kepada Konde.co.

Ia menambahkan, alih-alih mendukung RUU ini, sejumlah kalangan justru ingin mengubah judul RUU dengan menghilangkan kata “kekerasan” dari judul semula sehingga menjadi “RUU Tindak Pidana Seksual”. Dengan pengubahan ini, RUU ini dikehendaki bisa mempidanakan hubungan seksual yang bersifat asusila seperti zina, hubungan seksual yang dianggap menyimpang atau seks bebas.

Padahal dengan memaksakan peraturan zina masuk di dalam RUU TPKS justru akan mengaburkan tujuan RUU TPKs.

“Dengan mencampuradukkan pengaturan soal zina dalam aturan terkait kekerasan seksual (RUU TPKS) berpotensi menguatkan stigma bahkan kriminalisasi bagi korban kekerasan seksual, terutama ketika korban gagal membuktikan kasusnya maka ia akan terancam sebagai pelaku zina (reviktimisasi),” imbuh Eva.

Keinginan pihak-pihak tertentu agar RUU TPKS hanya mengatur ranah pencegahan, akan mengecilkan ranah seperti penanganan, perlindungan dan pemulihan jelas sama pentingnya karena selama ini aspek tersebut yang sering bermasalah.

“Dengan situasi hari ini, dimana RUU TPKS tidak menjadi prioritas pemerintah dan menunjukkan betapa miskinnya keberpihakan negara pada korban kekerasan seksual,” cetus Eva.

Sementara Nurika Agustin Lubis menegaskan fenomena kekerasan seksual di kampus seharusnya tidak dilihat sebagai angka semata, tapi harus ditanggapi serius dengan mendukung implementasi Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 atau yang lebih dikenal dengan Permendikbud PPKS.

“Kita tidak bisa mengabaikan korban yang hingga kini terpaksa bungkam dalam trauma dan ketidakadilan karena pembiaran oleh negara. Kita harus merdeka dari kekerasan seksual!” tegasnya.

Ia menyayangkan adanya penolakan dari sejumalh pihak, dengan alasan aturan ini melegalkan zina serta mengandungi kalimat yang multitafsir mengacu pada pasal 5 ayat (2) pada frasa “tanpa persetujuan korban” ditafsirkan dengan makna melegalkan seks bebas di lingkungan kampus.

Padahal, fokus dari ketentuan Pasal 5 tersebut adalah semata untuk merumuskan ruang lingkup dari tindakan kekerasan seksual.

“Permendikbud  ini seharusnya disambut dengan objektif, kritis, dan optimis. Mengingat peningkatan kasus kekerasan seksual semakin hari semakin sulit ditekan, untuk itu Permendikbud Ristek ini seharusnya menjadi jawaban.” tandasnya.

Hal ini karena, beberapa kasus yang terjadi hingga hari ini menunjukkan betapa korban justru menanggung beban berlapis oleh karena kekosongan perlindungan hukum. Terlebih ketika melihat konteks perguruan tinggi, korban cenderung sangat ditekan oleh relasi kuasa pelaku yang menutup akses keadilan bagi korbannya.

Peserta aksi juga menuntut agar RUU PPRT segera disahkan, karena pencegahan kekerasan terhadap PRT yang mayoritas adalah perempuan berkelindan dengan perjuangan untuk memerangi kekerasan seksual pada perempuan.

Berikut tuntutan lebih lengkap Perempuan Mahardika dan Jaringan Muda Setara saat menggelar aksi 16HAKTP pada Kamis (25/11/2021) kemarin:

1. Dukung dan Implementasikan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021

2. Mengajak semua pihak untuk memusatkan fokus pada implementasi Permen PPKS dan upaya bersama untuk menjaga hak-hak kita, termasuk korban kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai warga negara yang berhak atas pendidikan tinggi yang aman, sehat dan nyaman.

3. Mempertahankan judul RUU saat ini, yakni RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

4. Menjaga dan mengamankan RUU TPKS agar tetap pada tujuan dan maksud disusunnya RUU ini, yakni sebagai aturan khusus yang berfokus pada isu kekerasan seksual, dan bukan isu lain di luar konteks kekerasan seksual, seperti isu seks bebas atau isu asusila.

5. Menghindarkan potensi kriminalisasi terhadap korban dengan menutup upaya-upaya pihak tertentu yang berambisi mencampuradukkan isu zina dan sejenisnya dengan kekerasan seksual.

6. Tidak hanya menitikberatkan RUU TPKS ini pada pencegahan, tetapi juga menguatkan substansi RUU TPKS di semua aspeknya, khususnya pemidanaan, penanganan, dan layanan terpadu untuk pemulihan korban, sehingga RUU TPKS bisa diimplementasikan sesuai dengan harapan dan tujuan penyusunannya. (*)

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!