Jejak Stephen Suleeman, Pendeta Yang Melihat LGBT Dari Kacamata Manusia

Pendeta Stephen Suleeman meninggal Senin, 8 November 2021 pagi. Ia pergi dengan meninggalkan legacy, agar gereja membuka diri bagi kelompok LGBT. Menurutnya, mengasingkan seseorang hanya karena dia adalah seorang gay bukan tindakan yang bisa ditiru

“Saya harus mengakui bahwa dahulu saya seorang yang homofobik dan menganggap LGBT adalah aneh serta menjijikkan. Lalu saya mulai belajar dan mencari tahu apa itu LGBT. Dari apa yang saya temukan, saya melihat bahwa LGBT adalah manusia biasa, sama seperti yang lain,” demikian Pendeta Stephen Suleeman, M.A. Th., Th. menuangkan pemikirannya dalam sebuah tulisan yang dimuat di melela.org pada Maret 2017.

Jauh sebelum ia menulis tulisan ini pendeta Stephen sudah dikenal sebagai orang yang sangat bersahabat dengan LGBTQ yang selama ini masih terpinggirkan. Dia yang memperjuangkan agar gereja di Indonesia mau memberikan pelayanan bagi LGBT. Laki-laki kelahiran 17 Maret 1954 ini dikenal rendah hati dan pejuang inklusi yang gigih.

Pendeta yang aktif di GKI Gading ini, merupakan salah satu dari 12 pendeta yang memimpin kebaktian Natal yang digelar di seberang Istana Merdeka pada Rabu (25/12/2013). Saat itu, Stephen yang dipercaya menyampaikan kotbah mengangkat tema, “Datanglah ya Raja Damai –  Berharap di Tengah Ketiadaan Pengharapan”. Sementara pendeta lainnya bergantian memimpin setiap bagian dari liturgi ibadah Natal dan sakramen perjamuan kudus dalam ibadah Natal. Ibadah Natal ini dihadiri jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang saat itu sedang mendapatkan penolakan.

Pergumulan Stephen dengan berbagai kegiatan pendampingan kaum yang terpinggirkan berakhir pada Senin (8/11) pagi. Ia meninggalkan seorang istri dan dua orang anak.

Hingga tutup usia, Pdt Stephen masih aktif mengajar di Teologi dan Komunikasi serta Ilmu-ilmu Sosial, dan kepala unit pendidikan lapangan di STT Jakarta.

Stephen meraih sejumlah gelar akademik, mulai dari Sarjana Teologi dari Trinity Theological College, Singapura (1978); Sarjana Sosial dari FISIP Universitas Indonesia (1987); Master of Theology bidang Peace Studies dari Bethany Theological Seminary, AS (1991); dan Master of Theology bidang History and Christian, Union Theological Seminary, Virginia, AS (1992).

Ia tak hanya aktif di gereja dan mengajar, tetapi juga aktif di dunia kepenulisan. Pada 2008, Stephen juga tercatat sebagai salah satu pendiri Wikimedia Indonesia. Pada 2011-2012, ia menjadi anggota dewan pengawas Wikimedia Indonesia.

Kepergian Stephen menjadi kehilangan besar di kalangan gereja di Indonesia. Edward Simanungkalit seorang pendeta  di Jabodetabek saat dihubungi konde.co mengatakan, ia memang berbeda pendapat dengan pendeta Stephen, namun ia tetap menaruh hormat dengan perjuangannya.  

“Beliau adalah pejuang kemanusiaan sejati,” ujarnya kepada konde.co.

Melihat LGBT secara berbeda

Dalam tulisan di melela.org pada bulan Maret itu, Stephen mengisahkan pemahamannya mengenai LGBT dimulai saat ia belajar di Bethany Theological Seminary di pinggiran kota Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1990. Di seminari itu ada beberapa mahasiswa yang gay dan ternyata mereka biasa-biasa saja. Bahkan, ada beberapa yang begitu bersemangat ketika membicarakan mengenai keadilan sosial.

“Ketika berada di sana, saya melihat seminari tersebut pun tidak membeda-bedakan mana mahasiswa yang gay dan yang bukan. Mereka diterima sepenuhnya oleh seminari,” tulisnya.

Saat itu ia mengambil mata kuliah Urban Ministry (Pelayanan Masyarakat Kota). Salah satu kegiatan di mata kuliah ini adalah mengunjungi pusat kota Chicago untuk melihat kehidupan malam dan tempat hiburan kelompok minoritas gay. Di area hiburan malam tersebut, terdapat Nightlife Ministry, semacam pelayanan gereja yang diberikan kepada anak-anak malam dan kelompok minoritas gay.

Di sana ia bertemu dua orang pendeta yang menjadikan pelayanan di Nightlife Ministry sebagai panggilan jiwa. Stephen sangat terkesan dengan pilihan dua pendeta itu yang tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan dan bahkan meyakini jalan ini yang diinginkan tuhan.  Stephen juga dipertemukan dengan sejumlah orang yang memilih pasangan sejenis yang ternyata tetap bersikap baik dan tidak memusuhi lawan jenis.

Dengan pemahaman ini Stephen kembali ke Indonesia dan dipercaya untuk mengkoordinasi Program Kegiatan Lapangan yang diembannya hingga akhir hayat. Kepada mahasiswanya ia meminta untuk tidak menutup diri dari kalangan minoritas, termasuk gay. Menurutnya mereka hanya berbeda preferensi.

Dari mahasiswanya yang ditugaskan untuk masuk ke komunitas LGBT ia menemukan, komunitas LGBT di Indonesia datang dari beragam latar belakang. Uniknya, saat ditanya agama, banyak dari mereka yang meninggalkan agama mereka karena merasa kelompok agama telah meninggalkan mereka.

Dengan caranya, Stephen berhasil mengajak gereja untuk  membuka diri bagi kelompok LGBT. “Pelayanan LGBT tujuannya untuk memberikan siraman rohani bukan untuk mengubah dan mendorong mereka bertaubat karena sebenarnya tidak ada yang salah dengan mereka,” tulisnya.

Menurutnya mendorong orang berubah dan menjadi orang lain akan membuat orang tersebut semakin menjauh dan meninggalkan agama. Agama seharusnya bisa ramah kepada siapa saja karena hakikat agama adalah mengajarkan cinta kasih, bukan kebencian.

Ia mengakui tak semua orang sependapat bahwa gereja harus membuka diri bagi LGBT. Banyak pendeta yang belum siap untuk mendengarkan kisah hidup LGBT, tetapi tetap ada pendeta yang sudah mendengarkan dan mulai berani berbicara tentang membuka diri terhadap LGBT. Ia melihat dampak positif ketika gereja menerima LGBT, yakni menghapus kepura-puraan. “Orang menjadi tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri di rumah Tuhan dan ini adalah penting, siapa pun itu,” tegasnya.

Dengan membuka diri pada kelompok yang berbeda, lanjutnya, akan memperkaya khazanah keimanan gereja. Oleh karena itu, ia meminta pihak gereja bisa mulai mendengarkan keresahan yang dihadapi kelompok minoritas LGBT tanpa harus menghakimi. Mendengarkan keresahan dan menciptakan percakapan dari hati ke hati adalah langkah awal untuk gereja mulai membuka diri kepada mereka.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!