‘Kapan Punya Anak?’ Tubuh Perempuan Itu Kayak Makanan Kaleng Yang Ada Tanggal Kadaluarsanya

Tubuh perempuan itu seperti makanan kaleng yang ada tanggal kadaluarsanya. Harus menikah umur segini, harus punya anak umur segini. Andina Dwifatma menulis renyah secara feminis dalam novel terbarunya “Lebih Senyap dari Bisikan.”

”Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: “Best Before: Mei 2026”

Demikian tulis Amara secara menohok– tokoh utama di novel “Lebih Senyap Dari Bisikan.” 

Pesan tentang kesetaraan laki dan perempuan ternyata tak harus dituangkan dalam tulisan serius dan dahi mengkerut, tapi bisa melalui percakapan feminis yang renyah dan segar. 

Di novel ini, Andina Dwifatma sebagai penulis, melalui Amara, menceritakan dengan detail  soal problem tubuh perempuan yang harus punya masa berlaku, bakalan kadaluarsa di umur tertentu, seolah yang berhak menentukan tubuh perempuan haruslah orang lain. Kapan harus nikah, kapan harus punya anak, adalah urusan orang lain. Hati-hati loh, umur segini kamu sudah gak bisa punya anak. Sudah kadaluarsa tubuhmu itu!

Awalnya Amara sudah tahu bahwa ia akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini pasca menikah, dalam bayangannya, pasti setelah menikah, omongan orang pasti melulu seputaran anak, soal popok, soal susu, sehingga kita lupa memperhatikan diri kita sendiri. 

Awalnya, ia menganggap ini sebagai fase biasa yang harus ia lalui, yang penting ia happy dengan perkawinannya, karena menikah tak melulu itu tujuannya!

Tapi di fase berikutnya, problem inilah yang ia hadapi: menjawab pertanyaan terus-menerus dari orang sekitarnya tentang: kapan ia punya anak? Sudah lama nikah kog gak punya anak? Sampai kapan pertanyaan ini berakhir? Amara jadi sibuk berpikir soal ini.

Amara menghadapi: masih banyak orang yang berpendapat bahwa memiliki anak melulu menjadi tanggung jawab perempuan. Tekanan bagi perempuan kian berat karena kemampuannya untuk reproduksi akan berhenti pada usia tertentu. Fase inilah yang kemudian mempersulit hidupnya.

Lebih Senyap Dari Bisikan dibuka dengan upaya Amara dan suaminya, Baron untuk memiliki anak setelah delapan tahun menikah dan bertahun-tahun dibombardir pertanyaan untuk segera punya momongan. 

Tinggal di tengah masyarakat yang masih tradisional, keduanya tak bisa menghindari opini bahwa memiliki anak adalah sesuatu yang ‘wajib’ dalam sebuah perkawinan.  Konflik demi konflik yang muncul dalam sebuah perkawinan serta usaha memiliki anak yang dilakukan pasangan Baron-Amara mengalir mulus. 

Dibesarkan oleh orang tua tunggal, Amara memiliki hubungan yang formal dengan mamanya. Ia melihat sang mama sebagai sosok yang kaku dan sangat disiplin. Amara kecil sering merasa iri pada teman-temannya yang selalu didampingi ibu mereka saat mendampingi masa-masa genting dalam hidupnya. 

Juga ketika ia butuh teman bercerita saat galau di masa remajanya. Namun, belakangan Amara sadar, cara keras sang mama mendidik dirinya justru membuat Amara tumbuh menjadi perempuan kuat dan independen. Ia tidak mudah terombang-ambing dengan yang tumbuh di sekitarnya, meski sesekali mempertanyakannya.

Hubungan dengan sang mama akhirnya ‘terputus’ saat Amara menikah dengan Baron. Sang mama menolak Baron karena beda agama. Keputusan sang mama tidak menyurutkan niat Amara, ia tetap menikah dengan Baron. 

Dengan gaya bertuturnya yang khas, Andina menceritakan segala kesakitan dan penderitaan yang harus dirasakan perempuan saat hamil, melahirkan dan merawat bayi. Banyak hal yang tidak ditemukan di buku-buku panduan program hamil maupun panduan manapun, karena buku ini bukan buku tips, tapi buku feminis yang menguatkan.

“Kalau anak kita perempuan dia harus suka membaca buku tapi juga pintar dandan. Kenapa pilih salah satu” atau “Kalau anak kita laki-laki dia harus bisa bertukang, tapi juga bisa masak dan beres-beres”

Lewat novel keduanya ini, Andina tak hanya mengulas problematika tubuh perempuan tapi juga bagaimana perjuangan perempuan dalam menjawab tuntutan masyarakat yang cenderung masih bersandar pada nilai-nilai lama. Di mana perempuan dibebani tanggung-jawab yang lebih besar dalam urusan prokreasi maupun membesarkan anak. 

Amara, sebagai tokoh utama digambarkan sebagai perempuan yang kuat tapi tetap harus berjuang dalam menemukan jati diri dan inti kebahagiaan dalam hidupnya. Meski terbiasa secara sadar memilih apa yang harus dilakukannya, Amara tetap tak bisa mengelak dari berbagai tuntutan yang timbul saat bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya. Ia misalnya, harus memperjuangkan pilihan pasangan hidup yang berbeda agama. 

Perjuangan Amara yang akhirnya menjadi seorang ibu –mulai dari berbagai upaya untuk hamil mulai dari yang normal hingga yang kehamilan yang direncanakan, keluhan yang dialami saat hamil, perjuangan untuk melahirkan, kesulitan-kesulitan dalam membesarkan bayi yang lahir dengan berat badan kurang, dominan di novel Lebih Senyap Dari Bisikan ini. 

Beragam upaya dilakukan yang dilakukan Amara agar bisa hamil, mulai konsultasi kesehatan, diet aneka makanan, hingga akhirnya rela mengorbankan karirnya dan memilih bekerja dari rumah. Terakhir ketika anaknya lahir, Amara melepas pekerjaannya sebagai penulis di sebuah agensi iklan. 

Lebih Senyap Dari Bisikan merupakan novel kedua Andina yang juga aktif menulis cerpen, esai dan kolom di berbagai media. 

Novel pertama Andina, “Semusim dan Semusim Lagi” yang juga diterbitkan oleh Gramedia- sama seperti novel “Lebih Senyap dari Bisikan” yang terbit pada 2013 berhasil memenangi sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2012. Novel ini juga masuk dalam daftar buku terbaik pilihan Tempo pada 2014. Setahun kemudian Andina yang saat ini tercatat sebagai dosen di Program Studi Komunikasi Universitas Atma Jaya Jakarta terpilih menjadi salah satu Emerging Writers pada ajang Ubud Writers and Readers Festival 2015. 

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!