Minim Paparkan Persoalan Perempuan, Aktivis Kritisi Pemerintah di Sidang CEDAW

Aktivis perempuan kecewa dengan pemerintah Indonesia karena dinilai tidak memaparkan dengan utuh kondisi diskriminasi terhadap perempuan dalam sidang CEDAW.

Persoalan penting seperti persoalan perempuan di daerah konflik, isu poligami dan aborsi tak dipaparkan pemerintah, ini yang membuat banyak aktivis perempuan kecewa

Sejumlah organisasi perempuan di Indonesia juga mengkritisi jawaban-jawaban pemerintah Indonesia dalam sidang PBB ke-80 Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) CEDAW akhir Oktober 2021 lalu

Para aktivis menilai pemerintah tidak memberi jawaban yang utuh untuk memaparkan kondisi atau permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Sidang yang berlangsung pada 28-29 Oktober 2021 lalu membahas laporan berkala kedelapan Indonesia tentang kemajuan implementasi CEDAW.

Komite CEDAW yang terdiri dari 23 pakar independen dan dipimpin Gladys Acosta Vargas asal Peru, memimpin dialog dari Jenewa, Swiss; sementara delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak PPPA Bintang Puspayoga – bersama pejabat-pejabat dari 19 kementerian/lembaga dan perwakilan tiga daerah – memberi jawaban dari Jakarta. Hadir pula secara langsung Utusan Perwakilan Tetap RI di PBB yang berada di Jenewa.

Sidang ini disiarkan langsung melalui UN-TV sehingga dapat disaksikan publik, termasuk puluhan LSM pemerhati isu perempuan dan anak perempuan di berbagai belahan dunia, melalui link berikut dan juga berikut ini.

Dubes Rosario Manalo Soroti Banyak Isu

Salah seorang pakar independen yang banyak menyampaikan pertanyaan atau perkembangan isu pada delegasi Indonesia adalah Rosario Manalo, yang antara lain menanyakan soal harmonisasi peraturan untuk memajukan peran perempuan, perlindungan dan pemberdayaan perempuan di wilayah konflik, dan upaya memastikan penghapusan aturan yang diskriminatif terhadap prempuan – termasuk kebijakan mengenakan jilbab di sekolah publik dan tes keperawanan di militer dan kepolisian, serta perlakuan diskriminatif berdasarkan orientasi seks.

“Pertanyaan keenam saya adalah Indonesia memiliki Peraturan Presiden No.18/2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Seberapa efektif penerapan aturan ini dalam melindungi perempuan dan anak dalam konflik sosial?,” tanya Rosario Manalo, mantan diplomat karir terkemuka di Filipina itu.

Menjawab pertanyaan itu Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan “sebagai negara pihak, adalah komitmen Indonesia untuk tidak lelah mengimplementasikan pasal-pasal yang tertuang di dalam CEDAW dalam upaya perwujudan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak perempuan dan anak perempuan, terutama pada masa pandemi Covid-19. Meski masih terdapat sejumlah tantangan, namun dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk anggota Komite CEDAW, saya yakin Indonesia dapat menghapuskan segala bentuk perlakuan salah terhadap perempuan dan anak perempuan,” ujarnya. Ia juga mengajak staf dan pejabat berwenang menjawab pertanyaan-pertanyaan lain yang diajukan.

Organisasi Masyarakat Sipil Kecewa

Puluhan LSM, aktivis dan tokoh perempuan yang menyaksikan sidang itu melalui siaran langsung di UN-TV menyayangkan jawaban-jawaban yang disampaikan delegasi Indonesia, yang dinilai tidak memaparkan dengan utuh kondisi atau permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya dalam hal perlindungan perempuan di daerah konflik, isu poligami dan aborsi.

“Mengapa pemerintah tidak memaparkan data dan fakta, lebih pada opini? Padahal selepas sidang CEDAW tahun 2012 kami sudah menyampaikan masukan agar pemerintah kita lebih menyampaikan data yang komprehensif, tapi tampaknya tidak didengar dan laporan kali ini terkesan dibuat terburu-buru,” ujar Listyowati, Ketua Kalyanamitra, LSM yang sejak tahun 1985 memperjuangkan kesetaraan gender.

Ditambahkannya, “Jika bicara CEDAW maka prinsip partisipasi merupakan salah satu faktor utama, yang juga melibatkan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Saya tidak tahu apakah pemerintah sudah melibatkan kelompok-kelompok ini, mungkin ada karena di laporannya disebut ada, tapi teman-teman yang bergerak di isu penegakan HAM dan perempuan tidak dilibatkan atau diminta berpartisipasi dalam pembuatan laporan itu.”

Diwawancarai secara terpisah, Regional Program Manager Asia Justice & Rights (AJAR) Indria Fernida lebih menyoroti soal kegagalan pemerintah Indonesia memberi jawaban soal perempuan di wilayah konflik. “Yang disampaikan kemarin memang mengafirmasi bahwa jawaban yang disampaikan itu tidak menggambarkan perempuan di wilayah konflik. Ini jelas mengecewakan karena menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memang tidak memberi perhatian yang cukup pada perempuan di wilayah konflik, terutama di Aceh dan Papua. Padahal dalam pertanyaan yang disampaikan secara tertulis Komite CEDAW banyak sekali menanyakan hal ini, khususnya konflik bersenjata di Papua yang masih terus berlangsung, baik soal perlindungan maupun pemulihan perempuan dalam konflik. Pemerintah menilai yang dimaksud adalah konflik sosial, sementara yang dimaksud Komite CEDAW adalah konflik bersenjata,” ujar Indri.

CEDAW Tak Dinilai Serius?

Salah seorang anggota CWGI (CEDAW Working Group Indonesia) yang juga Ketua Koalisi Perempuan Indonesia KPI, Mieke Verawati, mempertanyakan urgensi sidang Komite CEDAW yang menurutnya “jangan-jangan tidak dianggap serius oleh delegasi Indonesia.” Hal ini karena komite ini tidak dapat memberi tekanan atau sanksi, dan hanya bersifat memantau atau memberi seruan untuk mewujudkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Namun Listyowati mengatakan “CEDAW ini serius dan perkembangan di konteks HAM sangat signifikan. Dulu sebelum ada CEDAW, ketika bicara hak asasi maka konteksnya tidak mengikutsertakan perempuan. Tapi setelah ada CEDAW, perempuan jadi fokus. Komite CEDAW ini sangat serius mengedepankan pemajuan hak asasi perempuan. Pertanyaan kita justru Indonesia serius tidak? Karena CEDAW ini tidak punya sanksi hukum, hanya memiliki sanksi moral. Menjadi berbahaya ketika kita tidak punya moral, tidak punya rasa malu ketika tidak dapat memberi jawaban yang tuntas.”

Indria Fernida melihat sidang Komite CEDAW ini justru menjadi kesempatan bagi pemerintah Indonesia “untuk menyampaikan pada dunia internasional bahwa kita tunduk pada konvensi atau aturan hukum internasional yang memang sudah kita ratifikasi, untuk menyampaikan perkembangan yang sudah dilakukan… Saya tidak tahu mengapa pemerintah misalnya tidak menjabarkan tentang kinerja Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi di Aceh? Padahal komisi ini dibentuk oleh aturan lokal di Aceh, tapi memberi ruang pada korban-korban perempuan untuk berbicara menyampaikan apa yang mereka alami dan mendapat rekomendasi tentang reparasi mendesak. Ini khan capaian kerja pemerintah. Tapi kok tidak disampaikan? Ini hal baik lho!”

KPPPA Apresiasi Masukan Wakil Masyarakat Sipil

VOA telah mencoba menghubungi beberapa pejabat di Kementerian PPPA untuk mendapat tanggapan, tetapi hingga laporan ini disampaikan belum mendapat respon.

Sementara pernyataan tertulis Kementerian PPPA secara singkat menjabarkan jalannya sidang dan tanggapan pemerintah. “Menteri Bintang juga mengapresiasi masukan-masukan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan dan juga berbagai wakil masyarakat sipil sebagai mitra pemerintah Indonesia dalam upaya pemajuan dan pelindungan HAM perempuan di Indonesia, serta komitmen untuk melanjutkan kerja sama dan kolaborasi dimaksud,” demikian petikan pernyataan tersebut.

Di akhir sidang dua hari – yang merupakan bagian dari siklus pelaporan yang konstruktif – Komite CEDAW menyampaikan apresiasi atas kemajuan dalam upaya memajukan hak perempuan, dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia untuk memajukan agenda-agenda perempuan. Catatan khusus dan seruan perbaikan disampaikan secara tertulis. [em/pp]

(Sumber: Voice of America/ VOA)

Eva Mazrieva

Jurnalis Voice of America/ VOA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!