Musik Rock Itu Bukan Milik Laki-laki: Sylvia Saartje, Rocker Perempuan Pertama Indonesia

Mendobrak stigma musik rock yang diyakini hanya musiknya laki-laki, bukanlah pekerjaan mudah. Sylvia Saartje menjadi rocker perempuan pertama yang melakukannya. Ia membuktikan bahwa perempuan bisa main musik rock dan itu bukan cuma selera laki-laki

“Aku memilih rock, karena itu adalah sikap. Rock itu luas banget, bukan hanya di musik. Kehidupan aku tuh rock.” (Sylvia Saartje) 

Siapa dari kita yang tidak mengenal musik rock?

Setidaknya, kita pernah mendengarnya lewat kepingan kaset yang diputar, saluran TV, radio ataupun streaming Internet yang kini telah banyak beredar. 

Karakter musik rock yang identik dengan nuansa gitar tebal, beat drum tegas dan dinamika keras, serta vokal tinggi ini memang memiliki khas tersendiri. Banyak yang menyebut, rock yang beda dan nyentrik itu melambangkan perlawanan dan kebebasan. 

Musik rock semakin berkembang di Indonesia di era tahun 1970-an. Terlebih setelah kejatuhan era orde lama yang melarang adanya musik ‘ngak ngik ngok’, termasuk musik bergenre rock. Salah satunya Kota Malang, yang menjadi tempat perhelatan konser rock paling banyak menarik masa.

Iklim apresiasi konser musik di Malang pada masa itu, juga dikenal baik. Tak heran, animo masyarakat untuk datang ke acara-acara konser pun selalu bersemangat. 

Penikmat konser di kota Malang datang dari berbagai kalangan. Tak hanya kalangan menengah ke atas. Ada sebuah cerita, menjelang gelaran konser musik di Malang, banyak toko loak (barang bekas) yang mendadak ramai. Ini tak lain, banyak yang menjual jeans, sepatu atau barang yang dimilikinya untuk membeli karcis nonton konser musik termasuk rock yang naik daun pada masa itu. 

Mendobrak stigma rock hanya untuk kalangan maskulin laki-laki, bukan pekerjaan mudah. Sylvia Saartje menjadi rocker perempuan pertama yang legendaris di Indonesia. 

Saartje adalah satu-satunya penyanyi rock perempuan yang tampil dalam konser ‘Aktuil Vacancy Rock’ di Gedung Olah Raga (GOR) Pulosari Malang, 27 Desember 1976. 

Sebagai rocker perempuan, Sylvia Saartje kala itu dikenal memiliki karakter unik. Mulai dari kualitas vokal hingga penampilannya di panggung yang all out. Lengkap dengan dandanannya yang selalu trendi dan gaya rambutnya keriting mengembang yang begitu khas. 

“Satu-satunya penyanyi rock perempuan di masa itu, jadi itu sebuah keistimewaan, sebuah titik tolak melambungnya nama Jippi (sapaan Sylvia Saartje) di pentas musik rock,” ujar Direktur Museum Musik Indonesia, Hengki Herwanto dalam launching film dokumenter berjudul “Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia” yang ditayangkan Terakota Indonesia pada 16 November 2021. 

Sejak saat itu, insan pers musik Indonesia mengikuti sepak terjangnya hingga menyebut dirinya sebagai ‘Lady Rocker Pertama Indonesia.’ 

Jippi, sapaan akrab Sylvia Saartje, menjadi pionir bagi generasi lady rocker Indonesia selanjutnya seperti Nicky Astria, Anggun C. Sasmi hingga Tantri KOTAK merupakan pelaku sejarah ketika Malang menjadi barometer musik rock nasional. Nama Sylvia Saartje abadi bersama generasi awal rocker dan musisi rock Indonesia seperti Achmad Albar, Ian Antono, maupun Mickey Jaguar Merkelbach.

Bagi Jippi, rock bukanlah sebatas bermusik. Melainkan, sikap hidup. Dia telah memilih menjalani hidupnya dengan tetap setia pada musik rock. 

“Aku memilih rock, karena itu adalah sikap. Rock itu luas banget, bukan hanya di musik. Kehidupan aku tuh rock,” ujar Jippi. 

Di dokumenter-nya, Jippi juga bercerita, suatu waktu dia pernah ditawari untuk rekaman lagu dangdut oleh seorang produser musik. Itu terjadi, setelah salah satu musisi rock yang terkenal pada masa itu mencoba menyanyi genre yang tengah laris di pasaran, dangdut, dan meledak di pasaran. Namun, Jippi memutuskan tetap setia di jalan bermusik rock-nya. 

“Ada produser yang datang ke aku, mba Sylvia, saya akan memberikanmu Rp 100 juta (pada masa itu), bisakah kamu merekam dangdut? Orang lagi gak punya duit, Rp 100 juta, uuu, tapi kembali lagi, aku sudah memilih sikapku untuk music rock,” tutur Jippi. 

Kesetiaan itu terlihat dari 240-an syair lirik kreasinya yang siap dilagukan hingga konsep- konsep bisnis dari dunia hiburan, dimana sepanjang karirnya ia juga menjadi aktris film nasional, pencipta lagu, model, pemain teater, jurnalis sesama rekan musisi, bintang iklan sampai menjadi duta budaya sebagai delegasi misi seniman Indonesia ke luar negeri. 

Kini, sesudah 53 tahun bersetia fokus di jalur musik cadas tersebut, Saartje telah menjelma menjadi maestra rock. Dia tetap bertahan dan berkarya meskipun tempat panggung musik rock di Malang telah berganti rupa, sebagaimana Gelanggang Remaja Indrokilo, Gedung Tenun, dan GOR Indrokilo. 

Pengarsipan Karya ‘Lady Rocker’

Awal perjalanan ‘Lady Rocker’ Jippi, semuanya bermula dari keluarga tempatnya dibesarkan. 

Dia lahir di Arnhem, Negeri Belanda, 15 September 1956 dari pasangan Nedju Tuankotta yang berdarah Ambon dengan Christina Tujem (1930-1987) asal Gunung Kawi, Malang. Orang tuanya yang menggunakan Hollandsche Spreken (berbicara bahasa Belanda dalam keseharian) memiliki selera musik yang bermacam-macam sepanjang dekade 1950- 1970’an. 

Keluarga Jippi memang mencintai musik dalam kesehariannya kala kembali ke Indonesia pada tahun 1962. Jippi cilik juga gemar menyanyi di gereja maupun di sekolah. Medio 1965 ia memenangkan kejuaraan Bintang Radio di RRI Malang (kini Hotel Shalimar). 

Sejak usia remaja di bangku SMP, Jippi sudah menyanyi secara profesional dari panggung ke panggung, dari kampung ke kampung. Ia besar sebelum industri rekaman musik rock berkembang di Indonesia. 

Ibundanya sendiri bertindak sebagai manajer, perancang kostum dan aksesoris, koreografer aksi panggung, sampai menjadi arsiparis dari pemberitaan mengenai Jippi. Kliping-kliping koran dari Ibunda Jippi kini menjadi koleksi khusus di Museum Musik Indonesia (MMI), Malang.

Berkaca dari cerita perjalanan ‘Lady Rocker’ Indonesia pertama itulah, Yayasan Terakota yang memiliki fokus pada pemberitaan budaya dan sejarah, kemudian memandang kiprah Sylvia Saartje sebagai maestro musik rock nasional yang merintis karir di Malang harus didokumentasikan. 

Film dokumenter ‘SYLVIA SAARTJE, Lady Rocker Pertama Indonesia’ besutan Sutradara Subi berhasil didanai dengan dukungan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) 2021 bidang dokumentasi karya – pengetahuan maestro, Dirjenbud Kemendikbud Ristek RI. 

Langkah ini berguna sebagai sarana pemajuan kebudayaan nasional di bidang sejarah pengetahuan musik rock, dimana Jippi merupakan produk hibriditas dengan latar belakang kosmopolitan yang terbukti mampu memajukan musik rock nasional. Sylvia Saartje menjadi aset besar kebudayaan Kota Malang dan Indonesia. 

Dokumenter ini menampilkan hasil riset data koleksi pribadi Sylvia Saartje, Museum Musik Indonesia hingga digitalisasi film yang pernah dibintangi oleh Sylvia Saartje. Proses rekonstruksi aksi panggung Jippi selama proses syuting 6 Oktober 2021 silam berlangsung di Gedung Kesenian Gajayana, salah satu saksi kejayaan musik rock nasional di Malang. 

Film yang pertama kali diluncurkan di Bioskop Sarinah Moviemax pada Senin, 15 November 2021 ini, diisi dengan narasumber Sylvia Saartje sendiri; Akim Yesaya Yurian, adik kandungnya; Bens Leo, jurnalis musik kawakan yang turut menulis Jippi; Ian Antono, musisi rock papan atas Indonesia asal Malang yang menjadi sosok sentral album pertama Jippi; Tantri KOTAK, lady rocker generasi 2000-an; Yovi Arditiviyanto, sejarawan penulis ‘Malang sebagai Barometer Musik Rock Nasional Dekade 1970-an’; Brigjen A. Tamim Musthofa, Kemenhan RI selaku penikmat musik; dan FX Domini BB Hera, sejarawan. 

Silvya Sartje membuktikan jika ia berhasil mendobrak stigma rock yang dulu hanya untuk kalangan maskulin laki-laki

(Foto: Facebook Sylvia Sartje)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!