Setiati Surasto, Lasminingrat: Perempuan Ini Berjuang, Tapi Namanya Dilupakan

Ada banyak perempuan yang turut berkiprah dalam memajukan Indonesia, namanya tak tercatat di buku sejarah. Sejarah sepertinya lebih suka menuliskan pahlawan laki-laki atau mereka yang berjuang memanggul senjata.

Apakah kalian mengenal Monia Latauliya, Boetet Satidjah, Lasminingrat, Setiati Surasto, Fransisca Fanggidae atau Tamu Rambu Margareta?

Mungkin banyak dari kita yang bahkan belum pernah mendengar apalagi mengenal nama-nama para pejuang perempuan yang layak disebut sebagai pahlawan ini.

Jika ditanya siapa pahlawanmu, ingatan kita sering hanya terpaku pada nama-nama seperti Diponegoro, Jenderal Sudirman, Teuku Umar atau nama-nama lain yang kerap ditulis dalam buku-buku sejarah

Padahal, ada banyak tokoh perempuan lain yang turut berkiprah dalam kemajuan bangsa, tapi namanya tak pernah disinggung dalam kelas-kelas sejarah di Indonesia. Termasuk nama-nama yang disebut di awal tulisan ini.

Tak semua perempuan ini mengibarkan bendera perjuangannya bukan dengan mengangkat senjata. Ada yang memilih jalur yang berbeda. Ada yang berjuang lewat tulisan dan pemikirannya. Sebagian yang lain memilih melakukan kegiatan social untuk menolong sesama. Atau lewat pendidikan untuk memajukan perempuan.

Sayang, nama-nama itu tak pernah ditemukan dalam kronik kejadian apalagi dalam buku sejarah Indonesia.

Sejarah sepertinya lebih suka menuliskan pahlawan laki-laki. Selain juga masih banyak orang yang memaknai kata pahlawan hanya sebatas untuk mereka yang berjuang mengangkat senjata baik saat melawan penjajah maupun mereka yang dianggap sebagai musuh Negara.

Padahal, tidak sedikit perempuan yang turut berkiprah memajukan bangsa di jalurnya masing-masing, baik saat Indonesia masih di bawah penjajahan maupun setelah merdeka.

“Ada banyak perempuan Indonesia yang namanya tidak ditulis dalam sejarah atau namanya dihapus dari catatan sejarah Indonesia,” ujar aktivis perempuan yang juga ketua Ruang arsip dan Sejarah Perempuan Ita F. Nadia dalam diskusi bertajuk “Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan kita” yang dihelat Komnas Perempuan pada Selasa (9/11) di Jakarta guna memperingati Hari Pahlawan.

Ita F. Nadia yang saat ini sedang menyusun periodisasi sejarah gerakan perempuan Indonesia mengungkapkan sulitnya mencari arsip dokumen yang mencatat jejak para pejuang perempuan ini. Banyak dari arsip yang mencatat perjuangan perempuan Indonesia yang saat ini berada di luar negeri.

Kesulitan yang sama diungkapkan oleh Rena Asyari dan Lia Anggia Nasution, masing-masing saat mengumpulkan catatan tentang Lasminingrat tokoh pejuang perempuan dari Majalengka, Jawa Barat dan Boetet Satidjah pejuang perempuan dari Sumatera Utara.

Saat melakukan riset tentang Boetet, perempuan pendiri Perempoean Berjoeang, koran feminis pertama di Indonesia, Lia nyaris tak menemukan catatan tentang siapa Boetet, perempuan bernama asli Sitti Sattiman ini. Jejak perempuan kelahiran Batunadua 1906 itu hanya ditemukan lewat tulisan-tulisannya di koran Perempoean Berjoeang.

“Bahkan saat menulis otobiografinya, suami Boetet sama sekali tidak menyinggung siapa dan kisah dia,” ujar Lia.

Mereka berjuang tapi namanya dihapus dari catatan

Dalam kesempatan itu Ita F. Nadia mengatakan, ada puluhan atau bahkan ratusan nama perempuan yang layak disebut sebagai pahlawan selama periode setelah kemerdekaan hingga sebelum G 30S 1965. Namun nama-nama mereka tidak ditulis atau bahkan dihapus dari buku sejarah Indonesia. Siapa saja mereka?

1.Setiati Surasto

Salah satunya adalah Setiati Surasto, tokoh buruh perempuan yang memperjuangkan kesamaan hak antara buruh laki-laki dan perempuan. Setiati yang pernah menjadi anggota Badan Konstituante dari gerwani juga tercatat sebagai tokoh buruh perempuan pertama dari Indonesia yang dipercaya memimpin organisasi buruh dunia.

Namun tak ada secuil pun catatan tentang kiprah Setiati yang akhirnya meninggal sebagai eksil di Swedia pada 2006.

2.Fransisca Fanggidae

Ita Nadia juga menyebut nama Fransisca Fanggidae, perempuan asal Rote yang diutus Bung Karno untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Ia antara lain berbicara di Kongres Kalkuta, Indonesia yang sangat penting bagi pengakuan kemerdekaan Indonesia yang saat itu sedang diperjuangkan pemerintah Soekarno-Hatta.

Dalam usianya yang ke-32 tahun pada 1957, Fransisca terpilih menjadi anggota DPR-GR mewakili unsur wartawan dan menjabat sebagai anggota Komisi Luar Negri DPR-GR.

Fransisca juga terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun yang sama. Ia kemudian banyak melakukan lawatan ke luar negri hingga pada tahun 1964, ia menjadi penasehat sekaligus orang kepercayaan Presiden Soekarno dalam konferensi Asia-Afrika II di Aljazair.

Pada saat peristiwa pembantaian 1965 meletus di Indonesia, Fransisca tengah berada di Chile sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Kongres Wartawan Internasional. Oleh sebab kedekatannya dengan presiden Soekarno dan Pemuda Rakyat serta stigma komunis yang melekat membuatnya tak bisa pulang ke Indonesia. Peristiwa kelam itu sontak menghapus nama Fransica Fanggidae dari buku sejarah pada masa Orde Baru. Ia terpaksa menyembunyikan identitasnya dan tinggal di Tiongkok selama 20 tahun, tidak sekali pun berkirim surat dengan keluarganya di Indonesia agar keluarganya tidak ikut diburu oleh aparat pada masa itu.

3.Monia Latuliya

Menengok ke belakang, perempuan pejuang yang juga tidak dicatta dalam sejarah adalah ada Monia Latauliya. Ia adalah kapitan perempuan pertama yang mempimpin perjuangan rakyat Hatuhaha di Pulau Saparua Maluku dalam melawan pendudukan Belanda.

4.Lasminingrat

Lantas ada Lasminingrat, perempuan keturunan bangsawan di Majalengka yang memperjuangkan kemajuan perempuan lewat sikap dan cerita-cerita yang ditulisnya.

Lasmaningrat adalah penulis perempuan dari Sunda yang namanya jarang disebut. Dibandingkan dengan para penulis pada umumnya di zaman itu, namanya jauh dari hingar-bingar.

Lasminingrat menulis sebelum Kartini mulai menuliskan pemikirannya. Namanya ditemukan ketika banyak peneliti tertarik untuk melakukan penelitian karya-karya berbahasa Sunda.

Ayu Lasmaningrat adalah penulis feminis dan religius. Lahir di Garut di tahun 1843, anak dari Raden Moehammad Moesa. Kompas.com pernah menuliskan, setelah ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman, ia menjadi perempuan yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda.

Kembali ke Garut, ia kemudian banyak menterjemahkan buku-buku sastra Eropa ke dalam bahasa sastra Sunda untuk anak-anak. Sejak itulah, buku-bukunya tersebar dan dibaca.

5.Boetet Satidjah

Boetet Satidjah tercatat sebagai pendiri dan sekaligus editor surat kabar bulanan “Perempuan Bergerak” yang terbit di Medan tahun 1919

Surat kabar bulanan ini bertujuan untuk memajukan perempuan dengan mengupas berbagai aspek dalam dunia perempuan. “Perempuan Bergerak” mendorong perempuan untuk bergerak maju.

Boetet Satidjah memperjuangkan kemajuan bangsa dengan memperjuangkan kesamaan hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan dan berorganisasi. Lewat tulisannya, Boetet mengajak perempuan untuk bergerak, bersiasat dan membangun jaringan untuk keluar dari keterbelakangan.

Berikut cuplikan salah satu tulisan Boetet di koran Perempoean Berjoeang edisi Mei 1919:

“Feminisme kita ini hendaklah kita toedjoekan menoeroet djalan nan elok, dan bersih, soepaja peregerakan kita ini tiada terhambat-hambat. Adat dan agama nan elok itoe djangan kita lampawi. Pada saudara-saudara laki-laki kita poehoenkan soepaja teman fikirkan, Bahasa toean-toean moesti dipandang bangsa hoilander sebagai Indische broeder. Djadi saja harap toendjang feminism kami perempoean-perempoean poen akan dipandang oleh Hollander dari Holiandsche vrouw sebagai Indische zuster.”

6.Tamu Rambu Margareta

Di era Indonesia merdeka ada Tamu Rambu Margareta, yang berkiprah dalam upaya pembebasan budak di tanah kelahirannya. Mereka juga layak disebut pahlawan, karena seperti kata ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat membuka diskusi ini, pahlawan tak harus mereka yang turun ke medan perang.

“Pahlawan adalah mereka orang-orang yang berani berjuang untuk sesuatu yang mereka yakini benar,” ujarnya.

(Foto: Kompasiana)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!