Pelecehan Seksual di FISIP Unri: Dilecehkan Dosen Ketika Bimbingan Skripsi

Keberanian Santi (bukan nama sebenarnya) mengungkap pelecehan dari dosen pembimbingnya, menuai serangan balik. Ia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan dituntut membayar ganti rugi Rp 10 miliar. Keberanian Santi untuk speak up diharapkan bisa mencegah pelecehan terulang lagi di FISIP Unri

Video yang diunggah pada Kamis (4/11) di akun Instagram Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau (Komahi Unri) @komahi_ur itu langsung mencuri perhatian publik. Hingga Minggu (7/11) sore unggahan itu telah dikomentari lebih dari 2900 kali.

Dalam video itu, dengan wajah disamarkan, Santi mahasiswi jurusan Hubungan Internasional di FISIP Unri mengisahkan pelecehan seksual yang dialaminya. Tak tanggung-tanggung terduga pelaku adalah dosen berinisial SH, pembimbing skripsi Santi yang juga Dekan FISIP Unri.

Peristiwa itu terjadi pada Rabu (27/10), pukul 12.30 WIB. Ini merupakan kali pertama Santi bertemu terduga pelaku, meski sebelumnya mereka sudah berkomunikasi melalui WhatsApp. Sebelum bimbingan, SH juga meminta dikirimi foto diri korban yang tanpa rasa curiga langsung disanggupi korban.

“Saya hanya berdua di dalam ruang dekan. Bapak SH mengawali pertanyaannya tentang pribadi saya, tentang kehidupan dan pekerjaan. Dia juga bilang ‘I love you’ kepada saya. Saya jadi tidak nyaman,” tutur Santi.

Setelah bimbingan skripsi selesai, korban menyalim terduga pelaku untuk pamit. Namun, terduga pelaku meremas pundak korban dan mendekatkan badannya ke tubuh korban. Dia memegang kepala korban dengan kedua tangannya, terus mencium pipi kiri dan keningnya.

“Saya sangat ketakutan dan menundukkan kepala. Tapi Bapak SH mendongakkan saya sambil berkata “mana bibir mana bibir”, membuat saya merasa terhina dan terkejut,” aku Santi.

Korban yang lemas dan ketakutan kemudian mendorong tubuh terduga pelaku. Penolakan ini membuat ‘mundur’ SH. Dia bilang, “ya udah kalau enggak mau”. Korban Santi langsung keluar dari ruang dekan dan keluar dari kampus dalam kondisi ketakutan dan syok berat.

Sore itu juga, tepatnya pada pukul 15.17 WIB, korban Santi menghubungi Sekretaris Jurusan (Sekjur) untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Keesokan harinya, ia menanyakan ke Sekjur mengenai pergantian dosen pembimbing.

Korban juga menceritakan kejadian ini kepada kerabatnya, yang dengan seizin korban mereka lantas melaporkan kejadian ini kepada pengurus Komahi. Namun, Komahi baru bergerak setelah upaya korban menemui jalan buntu dan terkesan ada upaya jurusan untuk menutup-nutupi kasus ini.

Pada Jumat (29/10) Santi kembali menghubungi sekretaris jurusan (Sekjur) untuk pergantian dosen pembimbing. Sekjur minta korban hubungi terduga lebih dahulu, namun korban menolak. Akhirnya korban bertemu Ketua Jurusan dan dihadiri oleh Sekjur dan dua sepupu korban sebagai saksi. Pada pertemuan itu Santi diminta untuk tidak memberitahukan kejadian ini kepada siapapun. Setelah pertemuan itu korban juga tak kunjung mendapatkan dosen pengganti.

“Ia bahkan dihubungi terduga pelaku sehingga merasa makin tertekan,” terang Poppy, pendamping korban dari Komahi Unri dalam konferensi pers yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unri di Pekanbaru, Minggu (7/11). Konpers ini juga dihadiri LBH Pekanbaru dan Komahi Unri dan diakses konde.co secara online.

Mengadu ke Polisi

Senin (1/11) malam Santi dihubungi pihak jurusan dan diberitahu bahwa dosen pembimbingnya telah diganti. Namun ia tetap minta bantuan Komahi untuk mengadvokasi kejadian ini ke rektorat dengan tuntutan antara lain meminta terduga pelaku untuk mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada korban dan keluarganya, meminta pelaku tidak mempersulit korban, baik dalam hal akademis dan hal lain yang berhubungan dengan kegiatan perkuliahan di UNRI

Korban juga meminta SH bertanggung-jawab atas apa yang menimpa, dirinya dan menyediakan psikolog untuk memulihkan kondisi psikis korban. Terakhir meminta SH menerima segala bentuk sanksi dari pimpinan tertinggi universitas

Pada Kamis (4/11) pihak Komahi dengan didampingi BEM Unri mengadukan kasus ini ke Rektor Unri tetapi tidak mendapat sambutan sebagaimana mestinya, sehingga akhirnya diputuskan untuk menyebarkan video pengakuan korban.

Teror Yang Dialami Korban

Pasca penyebaran video, tekanan ke Komahi dan korban meningkat. Sejumlah nomor tak dikenal bertubi-tubi menghubungi mereka hingga akhirnya Santi memberikan kuasa ke LBH Pekanbaru untuk melakukan pendampingan dan melapor kasus ini ke Polresta Pekanbaru.

SH sebagai terlapor membantah. Ia justru menyatakan bahwa Santi telah mencemarkan nama baiknya. SH melaporkan balik Santi dan akun Instagram @komahi_ur ke Polda Riau dengan tuduhan  pencemaran nama baik. Atas tuduhan ini SH menuntut ganti rugi Rp 10 miliar kepada Santi dan akun @komahi_ur.

SH juga menuduh bahwa pengungkapan kasus ini sengaja dirancang (by design) untuk menjegal langkahnya mencalonkan diri menjadi rektor Universitas Riau.

Serangan balik ini tidak membuat gentar Komahi dan Santi. Komahi dan BEM Unri menyatakan berdiri di pihak korban. Ketua BEM Unri, Kaharuddin mengatakan, keberanian korban mengungkapkan kasusnya harus didukung untuk mencegah kembali jatuhnya korban pelecehan di lingkungan kampus.

“Jika pihak Polda memanggil kawan-kawan Komahi terkait video tersebut, kami juga siap dipanggil,” ujar Kaharuddin dalam konferensi pers itu. 

Kahar menegaskan, apa yang dilakukan BEM murni untuk kemanusiaan dan tidak ada motif apapun. Ia menyebut, sebelum ini pihaknya juga sering mendengar pelecehan seksual di FISIP Unri. Namun karena kejadian itu tidak diungkap ke publik maka tidak diselesaikan dengan tuntas.

Kaharuddin menambahkan, BEM Unri bersama LBH Pekanbaru akan terus mengawal penyelesaian dugaan pelecehan terhadap Santi ini, agar tidak ada lagi pelecehan seksual di lingkungan kampus Unri. Kaharuddin juga meminta agar mahasiswa dalam hal ini BEM Unri dan Komahi dilibatkan dalam Tim Pencari Fakta, untuk menjaga independensinya. Ia juga mendesak pihak universitas untuk mencabut hak SH untuk mengajar.

Terduga pelaku akui sentuh badan korban

Dalam kesempatan yang sama, LBH Pekanbaru yang mendampingi Santi meminta kepolisian menolak laporan SH. Polisi diminta segera memproses kasus ini agar tidak tenggelam.

“Kita minta Polda Riau membatalkan atau menolak laporan yang dilayangkan terduga pelaku,” kata Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru. 

Mengutip keputusan bersama Kementerian Kominfo, Kejaksaan Agung dan Polri, Noval mengatakan, sesuai dengan pedoman Pasal 27 ayat 3 UU tentang pencemaran nama baik dan UU ITE, laporan pencemaran nama baik bisa ditangani setelah persoalan yang telah dilaporkan terlebih dahulu diselesaikan.

Seperti diketahui korban Santi telah melaporkan SH ke Polresta Pekanbaru pada Jumat (5/11). Sedangkan laporan balik SH atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Santi dan akun Instagram @komahi_ur baru dilayangkan pada Sabtu (6/11).

“Dengan demikian, kita mendesak harus ada penyelesaian proses hukum dulu di Polresta Pekanbaru, setelah itu barulah dilanjutkan dengan hal yang lain,” jelas Noval.

Noval mengatakan, pernyataan terduga pelaku yang mengakui menyentuh tubuh korban bisa dijadikan dasar ataupun bukti bahwa apa yang diungkapkan korban benar terjadi. Merujuk pada pasal 5 Permendikbud Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS) di perguruan tinggi, Noval mengatakan  menyentuh, mengusap, meraba, memegang ataupun memeluk tubuh tanpa seizin pemiliknya bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

“Nah apakah dalam kasus ini ada persetujuan, itu bisa kita runut,” ujarnya.

LBH Pekanbaru akan melaporkan kasus ini ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/ LPSK karena gangguan dan ancaman yang dilakukan terlapor. LBH Pekanbaru juga berharap Kemendikbud dan Komnas Perempuan mau turun tangan menginvestigasi.

Jika merujuk pada pasal 14 Permen PPKS, sanksi bagi pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama adalah sanksi administrasi ringan berupa teguran tertulis atau permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. 

Kedua sanksi administrasi sedang, yaitu pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak sebagai mahasiswa. Dan, ketiga adalah sanksi administrasi berat yaitu pemberhentian tetap sebagai mahasiswa atau pun dari jabatan sebagai tenaga pendidikan atau warga kampus. 

Sementara di pasal 10 Permen PPKS menyebutkan, pihak kampus berkewajiban untuk memberikan pendampingan, pelindungan dan pemulihan bagi korban. 

Direktur LBH Pekanbaru, Andi Wijaya saat dihubungi Konde.co mengatakan proses di kampus Unri dan langkah hukum yang ditempuh korban adalah dua hal yang berbeda. Ia menegaskan apa yang menimpa Santi adalah kasus pidana, sehingga proses di Polresta Pekanbaru akan terus berlanjut. 

“Kami berharap agar pihak Universitas memberhentikan sementara terlapor, agar bisa fokus menjalani proses hukum,” ujarnya kepada Konde.co.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!