Male Gaze Di Dunia Film: Perlakuan Pada Artis Perempuan

Male gaze di dunia film? Itu masih terjadi hingga hari ini dan sangat dominan. Ini jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di dunia seni.

Menjadi artis, bisa jadi salah satu cita-cita kamu. Tapi bergerak di dunia seni sebagai perempuan, ternyata memiliki resiko yang berbeda dengan laki-laki pekerja seni.

Dalam praktiknya ada banyak hal yang harus “dikompromikan” agar bisa bertahan. Cinta Laura contohnya. Artis ini kerap menemui diskriminasi dalam bentuk yang berbeda-beda. Ia kerap kali disodori script atau naskah yang memposisikan perempuan sebagai subyek yang lemah.

“Aku tahu aku datang dari privilege ya, maka aku bisa mengetahui apa saja yang salah dari hal tersebut, dan memiliki bekal pengetahuan, dan keberanian untuk mengunkapkan hal itu bahwa aku tidak setuju dengan bagaimana mereka melihat perempuan,” ungkapnya pada kesempatan diskusi bersama Feminist festival yang diadakan Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) pada (25/10/ 2021) lalu.

Sependapat dengan Cinta Laura, Nia Dinata, sutradara yang sekaligus produser film juga mengungkap, bahwa pada kondisi tertentu orang-orang dibalik layar juga memiliki peran krusial dalam melahirkan sebuah film. Ia juga tak menyangka, pada tahun-tahun awal menjajaki dunia perfilm-an, ada banyak sekali nilai yang tak sesuai dengan perspektifnya.

“Saya berada di dunia perfilman yang pada saat itu apply-apply proposal masih ribet ya, kita harus kirim fax yang bunyinya ‘cekit-cekit’ gitu ya, jadi dulu kalau mau mengajukan produksi film ke production house prosesnya juga ribet ya, dalam beberapa kesempatan, karena cari produser pada saat itu susah ya, kalau dapet produser yang gak punya perspektif gender ya dalam script itu akhirnya ada beberapa adegan yang harus kita potong, ya gimana lagi,” kata Nia Dinata.

Menurut Nia, harus mulai ada perempuan-perempuan atau bahkan laki-laki yang berani untuk memulai bersuara soal hal itu, sebab jika tidak, film hanya akan menjadi mesin produksi misoginis.

“Sebenarnya harus mulai ada ya aktor-aktris, sutradara, yang mulai untuk berbicara soal ini, dengan harapan perubahan dalam dunia perfilman akan semakin dekat untuk kita gapai, seperti Cinta misalkan, harus memulai untuk bersuara,” terangnya.

Male Gaze di Dunia Film

Nia Dinata menyatakan, dalam sebuah produksi film, ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu dari produser, sutradara, dan aktor, tiga ini harus dilihat siapa yang bermain di dalamnya, dari situ kita bisa tahu bagaimana  film yang ia produksi.

Ia berpendapat ada banyak sekali perubahan yang bisa diciptakan melalui dunia seni, jika ada orang-orang yang mampu untuk bersuara dan memahami tentang kesetaraan. Dalam perfilman, hingga hari ini male gaze ataui cara pandang dar sudut pandang laki-laki masih ada dan dominan, perspektif baru sangat dibutuhkan untuk memperkaya pandangan dan mereduksi konsep-konsep patriarkal yang menyudutkan perempuan.

Cinta Laura, dalam kesempatan yang sama sempat bercerita, jika ia pernah menolak film yang script nya sangat menyudutkan perempuan dan menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah.

“Aku pernah dapat tawaran main film, baru tiga bulan yang lalu, waktu awal aku dihubungi, film ini bercerita tentang love story yang sangat manis, and I want to be part of that movie, tapi waktu aku baca itu skripnya, dari awal sampai akhir, dan aku shock, ternyata apa yang digambarkan itu perempuan yang sangat lemah, suka protes, dan aku langsung bilang ke penulisnya, bahwa aku tidak mau menjadi bagian dari project itu, karena tidak sesuai dengan nilai ku,” katanya menceritakan.

Cinta tak menyangka, jika aksi protesnya juga tak membuahkan hasil, script itu masih tak berubah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengambil project film tersebut.

Male gaze pada dunia seni masih banyak terjadi, dalam dunia film, Male Gaze sering menjadi referensi bagaimana perempuan harusnya terlihat.

“Male gaze memang ada, dan masih ada hingga hari ini, dalam sebuah film meskipun misalkan dalam film itu perempuan digambarkan kuat begitu ya, dari sudutpandang kamera, kadang apa yang menjadi fokus itu lain, ia tetap digambarkan erotis,” terang Nia.

Nia Dinata sempat menceritakan, jika dalam sebuah produksi film, orang yang berada di balik sinematografi juga mengambil peran penting.

“Karena percuma aja gitu loh ya, script udah bener misalkan, sutradara dan produsernya udah bagus nih perspektifnya, tapi kalo Kameramen, sinematografernya masih punya male gaze dan melihat perempuan sebagai obyek, ya sama aja, film itu akan digarap sebagaimana referensi dia melihat perempuan,” kata Nia.

Sebagai seorang perempuan yang terjun pada dunia film di balik layar dengan dominasi laki-laki, ia mengaku jika film juga sama sesaknya dengan bidang lain, untuk memunculkan ide-ide cerita dengan perspektif gender juga bukan hal mudah. Oleh karena itu, dalam banyak kesempatan, ia berusaha untuk memunculkan ide-ide tersebut melalui film-film yang ia produksi.

Kesempatan yang Sama Untuk Perempuan, Mungkinkah di Dapatkan?

Dunia yang masih didominasi dengan pikiran-pikiran laki-laki, sering mempersempit ruang gerak perempuan. Pada beberapa bidang seni, bahkan budaya katrol masih terjadi. Dalam sastra misalnya, banyak penulis perempuan terkenal yang harus mau dekat dengan maestro laki-laki, agar ia mendapatkan tempat.

Hal yang sama juga terjadi pada perfilman, terkadang dalam beberapa kesempatan, jika perempuan tak memiliki standar kecantikan, sulit untuk seorang perempuan mendapat kesempatan itu.

“Kadang ya gue sering banget dapet curhatan para aktris, misal nih, dia punya talent dan waktu di test script dia masuk nih ya karakternya, tapi kalau misal, dia punya kulit yang tan (coklat) khas kulit indonesia, ia malah dilarang untuk banyak berjemur dan lain sebagainya, ya kan aneh ya,” terang Nia Dinata.

Sependapat dengan Nia, Angelina Manar, pelukis asal Yogyakarta menceritakan, bagaimana penampilan juga memiliki peran dalam kesempatan berkarir di dunia seni.

“Kadang itu ya kalau perempuan yang punya privilage, seperti dia punya penampilan ‘beauty standart’ yang berlaku di masyarakat kita, dia akan lebih bisa punya kesempatan berkembang dan maju, kalo di seni lukis, kadang karena ‘cantik’ banyak orang yang lebih suka, jadi orang itu gak lihat kompetensinya gimana,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Geli itu.

“Tapi riskan juga, kadang karena ‘cantik’ perempuan itu bisa juga dimanfaatkan, ‘oh cantik nih bisa dimanfaatin nih, bisa dideketin nih’ sering juga terjadi kayak gitu,” terus Geli menceritakan.

Menurutnya, perjuangan permepuan dalam dunia seni sangat menantang, karena ada banyak sekali halangan. Pekerja seni perempuan sering selalu dipertanyakan jika karyanya memiliki api perjuangan tentang kesetaraan, dan ketubuhan perempuan.

“Perempuan di dunia seni memang lebih sulit ya, misal aku nih, nulis soal tubuh perempuan, sering juga orang tanya ‘nyapo seh kowe nggambar-nggambar ngunu’ (kenapa sih kamu gambar itu), yang katanya vulgar lah, apalah, tapi inikan tubuh perempuan, urusan kalau dia sange kan bagaimana kita kontrol pikiran kita kan, dan gak ada yang salah dari tubuh perempuan,” terangnya menjelaskan.

Baginya melukis adalah sarana untuk menuangkan ide dan pikiran. Lukisannya yang kerap menceritakan tentang tubuh perempuan menurutnya adalah salah satu sarana ia bersuara dan meneruskan ide tentang perempuan juga manusia.

“Jadi feminis itu prinsip hidup sih, bagaimana kita menghargai manusia aja, itukan sebenernya,” kata Geli.

Geli percaya, jika perubahan masih mungkin terjadi, banyak upaya yang sedang digagas, dan hingga hari ini membuahkan hasil. “Memang diskriminasi ke perempuan masih ada, tapikan bukan berarti tidak ada harapan, karena perubahan itu sedang dilakukan, di kru misalkan, kita udah ada tuh peraturan, dilarang godain kru, artis, atau siapapun, kita pasti juga ingatkan pada sesama kalau misal terjadi hal-hal yang gak nyaman,” terangnya pada Konde (26/10).

Ruang aman bagi perempuan di dunia harus terus diciptakan, agar kesempatan yang setara bisa diraih dan seniman perempuan semakin punya banyak kesempatan untuk maju dan berkembang.

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!