Tak Berani Cerita, Takut Penyakitnya Diketahui: Cerita Perempuan dengan HIV/AIDS

Banyak perempuan dengan HIV/Aids yang menyembunyikan rapat-rapat virus yang diidapnya. Mereka juga tak mampu berbuat banyak atas berbagai stigma dan diskriminasi yang dialami. Saat terpapar Covid, mereka tak berani berobat karena takut penyakitnya diketahui.

Hana, bukan nama sebenarnya, adalah perempuan dengan HIV/Aids (PDHA).

Ia  menyembunyikan virus yang dideritanya dari keluarga dan pasangannya. Selama ini Hana hanya bisa menceritakan kondisinya ini pada relawan penerima pengaduan di  Ikatan perempuan Positif Indonesia (IPPI).

Keputusan ini diambil Hana untuk menghindari stigma dan perlakuan diskriminatif yang kerap diterima penyintas HIV/Aids. Stigma itu kian berlapis jika penyintas Aids adalah perempuan. Dalam kondisi kebingungan ini, Hana kemudian memutuskan untuk tidak bercerita pada siapapun, kecuali para relawan IPPI yang sudah memahami betul soal virus ini

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, memang menyulitkan. Kondisi ini kian menyulitkan posisi Hana. Hana kesulitan mendapatkan ARV, obat anti retroviral yang kudu diminumnya tiap hari untuk memperlambat pertumbuhan virus yang menggerogoti tubuhnya.

Selama pandemi, persediaan ARV untuk menopang kebugaran tubuhnya sempat langka. Akibatnya Hana harus berjuang ekstra keras melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan terpapar Covid.

Kondisi paling berat dihadapi Hana ketika akhirnya ia terpapar Covid-19. Ia harus berjuang melawan penyakit  itu sendirian. Bahkan untuk pergi ke  fasilitas pelayanan kesehatan ia tidak berani, karena jika ia kesana, itu berarti penyakit yang dideritanya akan diketahui orang lain.

Pandemi Covid-19 juga membuat para penyintas HIV/Aids seperti Hana kesulitan mengadukan kondisi mereka. Sebaliknya para relawan dari IPPI juga kesulitan menemui para penyintas.

Lain lagi yang dialami Sekar, juga bukan nama sebenarnya. Ia harus angkat kaki dari rumahnya setelah mengakui mengidap HIV/Aids.

Sekar diusir dari rumah karena keluarganya khawatir ia akan menularkan virus itu kepada yang lain.

Ada lagi Perempuan dengan HIV/ Aids atau PDHA lainnya yang ditinggalkan pasangannya setelah ia mengaku sebagai penyintas Aids.

Itulah sekelumit kisah pedih PDHA yang terungkap dalam acara peluncuran Delila (dengar, lindungi dan laporkan) aplikasi pelaporan bagi perempuan penyintas HIV/Aids yang digelar IPPI pada Jumat (26/11/2021).

Delila adalah sistem data pelaporan online kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV/Aids. Aplikasi ini diharapkan bisa menjadi ‘teman’ setia sekaligus ruang aman bagi para perempuan penyintas Aids, mengingat masalah yang mereka hadapi sangat kompleks.

Masalah yang dihadapi PDHAmemang bukan hanya sebatas penyakit yang diderita yang mengharuskan mereka minum obat seumur hidup. PDHA juga harus mengatasi sederet masalah lain, baik yang didapat dari pasangan, keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Perempuan dengan HIV/Aids juga sangat rentan mengalami kekerasan. Alasan pertama, HIV/Aids hingga saat ini masih menjadi sumber utama stigma dan diskriminasi pada penderitanya. Kedua, perempuan cenderung tidak punya kekuatan yang cukup untuk melawan stigma dan diskriminasi yang mereka terima.

“Ketika penyintas HIV/Aids adalah perempuan, maka stigma akan dengan mudah bermunculan. Perempuan nakal lah, bawa penyakit lah, dan masih banyak lagi. Sehingga seringnya bukannya ditolong, PDHA justru dikucilkan,” ujar Ayu Oktariani, Koordinator Nasional IPPI.

Ayu menyayangkan masih banyak anggota masyarakat yang memandang wajar pengucilan atau stigma yang disematkan kepada perempuan penyintas HIV/Aids. Normalisasi ini membuat banyak PDHA tak sadar bahwa dirinya telah mengalami kekerasan. 

Mereka menganggap semua itu wajar, dan menerima begitu saja semua stigma perlakuan diskriminatif yang dialaminya. Banyak perempuan dengan HIV yang kahirnya memutuskan untuk memaafkan dan melupakan kekerasan yang dialaminya.

Ketika sadar telah menjadi korban kekerasan, banyak dari PDHA yang tidak tahu harus mengadu ke mana. Sayangnya lagi, kerentanan PDHA pada kekerasan berbasis gender ini masih terabaikan.

Pandemi Covid-19 membuat masalah yang dihadapi PDHA kian rumit. Kekerasan yang dialami PDHA melonjak tajam.

UN Women Indonesia mencatat, selama pandemi kekerasan terhadap perempuan melonjak tajam, dari 419 kasus pada 2019 menjadi 2000an kasus pada 2020. Diyakini, sebagian angka ini dialami oleh PDHA.

Hal ini dikuatkan oleh data yang dirangkum Komnas Perempuan yang menyebut, pada 2020 ada 203 kasus kekerasan yang dialami PDHA. Menurut IPPI, angka ini meningkat empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Studi yang dilakukan Ikatan Perempuan Positif Indonesia/ IPPI di 8 provinsi di Indonesia di tahun 2016 menyebutkan bahwa para perempuan positif atau Odha (Orang dengan HIV/AIDS) mengalami berbagai macam perlakuan kejam dari suami atau pasangannya. Ada yang dipukul dan dilempar ke sungai, ada yang diikat ke tiang dan diarak keliling kampung. Dan yang paling kejam, ada yang dibunuh dengan 4 ekor anjing. 

Kekerasan di 8 provinsi di Indonesia itu antaralain terjadi di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatera Utara, DIY, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat di tahun 2016. Walaupun ini terjadi di tahun 2016, Baby Rivona, salah satu aktivis IPPI menyatakan hingga kini perlakuan kekerasan ini masih terus terjadi.

Dari 77 responden yang diteliti kala itu didapatkan data: para perempuan positif ini mendapatkan perlakuan kejam yaitu kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Kebanyakan responden berpendidikan SMA, usia produktif dan kebanyakan pasangan mereka adalah pengguna Napza (71%)

Kekerasan yang dialami PDHA

Head of Programme UN Women Indonesia Dwi Yuliawati Faiz memaparkan, secara global separuh dari penyintas HIV/Aids adalah perempuan. Dan, satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan.  

“Sehingga jika tidak ada upaya untuk mengatasi kondisi ini, pembiaran kekerasan pada perempuan dengan HIV/Aids berarti menghambat upaya penanggulangan Aids secara global,” tandasnya.

Ia menekankan kesetaraan adalah perlakuan yang sama di antara para penyintas HIV/Aids baik laki-laki maupun perempuan  memegang peran penting bagi penanggulangan HIV/Aids di dunia. PBB telah menargetkan dunia bisa bebas Aids pada 2030.

Sementara Ayu memaparkan, hingga saat ini bantuan bagi PDHA masih terbatas pada treatment atau pengobatan. Padahal menurutnya, ada banyak permasalahan yang harus diurai, salah satunya adalah diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami.

Kekerasan yang paling sering dialami perempuan dengan HIV/Aids salah satunya adalah persoalan ketubuhan. Bahwa otoritas terhadap tubuhnya sendiri tidak lagi dimiliki oleh PDHA.

“PDHA dianggap tidak bisa berfungsi secara ideal sebagai perempuan, yakni tidak bisa melahirkan, menyusui dan sebagainya,” ujarnya.

Kondisi ini diperburuk dengan hilangnya hak kesehatan reproduksi pada PDHA. Bahkan pada banyak kasus, PDHA mengalami sterilisasi paksa. Mereka, ujar Ayu, dipaksa untuk tidak mengandung dan melahirkan dengan alasan untuk mencegah lahirnya anak yang terpapar HIV.

Norma masyarakat yang menganggap HIV/Aids adalah aib juga menjadi masalah lain yang harus dihadapi PDHA. Stigma sebagai perempuan nakal sehingga bisa terpapar Aids atau banyak penyakit sering ditimpakan kepada PDHA.

Dan, yang tak kalah pelik adalah adanya relasi kuasa. Tidak sedikit anggota masyarakat yang menganggap perempuan HIV/aids sebagai orang yang tidak berguna lagi.  

“Akibatnya banyak PDHA yang tidak berani jujur membuka kondisinya kepada keluarga dan ppasangan karena takut diusir ataupun dicerai,” terang Ayu.

Kondisi ini diperburuk dengan belum ada system yang secara terpadu bisa membantu mengatasi masalah yang dihadapi para PDHA. Selama ini pelaporan masih tercecer dan penanganannya belum terintegrasi.

Delila yang digagas IPPI hadir dimaksudkan untuk itu. Delila, menurut Ayu, dihadirkan dari pengalaman para PDHA dan para relawan penerima pengaduan yang sebagian besar adalah juga penyintas. Banyak PDHA yang tidak mau mau melaporkan kasus yang dialaminya karena sedikit yang mau mendengarkan atau bahkan diputarbalikkan.

“Jadi saya mendorong para PDHA untuk berbicara, ceritakan apa yang menimpamu, karena hidupmu sangat berharga,” tandasnya.

Delila dan PDHA penyintas kekerasan

Delila diharapkan menjadi pintu untuk mendokumentasikan pelaporan yang masuk, untuk selanjutnya bisa dibangun jejaring guna memproses pengaduan tersebut.

IPPI sebagai penggagas aplikasi ini, tak hanya akan menerima pengaduan tapi juga menghubungkan PDHA yang mengalami kekerasan berbasis gender kepada layanan penanganan terintegrasi yang dijalankan pemerintah atau organisasi masyarakat sipil.

Selama ini, IPPI yang telah berdiri di 27 provinsi, menjalankan peran sebagai intermediator yang menjembatani layanan kesehatan bagi PDHA dan layanan kekerasan berbasis gender yang dialami PDHA.

Relawan IPPI yang sebagian besar adalah para survivor HIV/Aids selalu siap mendampingi PDHA, aktif menggali situasi guna mengetahui kebutuhan para korban, apakah itu konsultasi psikologi, bantuan hukum ataupun layanan kesehatan.

Seorang penyintas HIV/Aids, sebut saja Yuli mengatakan, hal utama yang harus dilakukan ketika seseorang mengetahui terpapar HIV/Aids adalah memulihkan dan menyehatkan kondisi tubuh. Setelah itu baru memulihkan kondisi psikis.

Kepada PDHA yang mengalami kekerasan, Yuli menyebut untuk tidak malu mencari informasi dan menemukan kawan-kawan senasib seperjuangan.

Ia meyakinkan, jika berani membuka diri maka akan ada jalan keluar termasuk bagaimana dan ke mana harus mencari pertolongan.

“Saya yakin banyak orang yang mau menerima perempuan yang hidup dengan HIV/Aids,” pungkasnya.

(Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’ Konde.co yang didukung oleh Kalyanamitra. Hasil peliputannya dapat dibaca di Konde.co setiap Senin secara Dwi Mingguan)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!