Ungkap Kasus Kekerasan Seksual, Malah Dipolisikan: Kasus Universitas Udayana

Posko pengaduan mahasiswa Universitas Udayana Bali menerima 29 pengaduan kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswi disana. Ketika data ini dibuka, pihak rektorat Universitas Udayana justru mengancam mempolisikan pihak pendamping korban.

Aktivis Organisasi Seruni dan aktivis LBH Bali tak pernah menyangka bahwa apa yang mereka lakukan malah menjadi backlash atau serangan balik. Sudah mengungkap dugaan kekerasan seksual, malah kemudian dilaporkan ke polisi

Dugaan kekerasan seksual yang diungkap oleh Organisasi Seruni dan LBH Bali ini terjadi di Universitas Udayana Bali dengan jumlah korban mencapai 29 mahasiswi.

Jumlah ini berdasarkan pengaduan yang diterima Posko Pengaduan Kekerasan seksual yang dibuka oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana/ Unud bersama Seruni Bali hingga Oktober 2021

“Seruni Bali sudah menerima 29 aduan dugaan kekerasan seksual mahasiswa Unud,” kata Ketua Umum Seruni Bali Uflya Amirah dalam konferensi pers yang digelar bersama Seruni dan LBH Bali

Jika dikategorikan menurut jenisnya, 29 kasus kekerasan seksual itu terdiri dari 5 kasus pemerkosaan, 19 kasus pelecehan seksual, 3 kasus intimidasi bernuansa seksual, 1 kasus eksploitasi seksual dan dua kasus kekerasan berbasis gender online. 

Uflya Amirah mengungkap, ke-29 korban tersebar di 13 fakultas, yakni Fakultas Ilmu Budaya (13 orang), Fakultas Kelautan dan Perikanan (5 orang), serta Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis masing-masing 2 orang. Selanjutnya, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Teknologi Pertanian, serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik masing-masing 1 orang. 

Dari sisi pelaku, yang cukup mengejutkan ada 4 orang dari staf kampus sebagai pelaku. Kemudian 14 pelaku berstatus mahasiswa, satu pelaku berstatus alumnus, sembilan masyarakat umum dan satu pekerja bangunan. 

Dari 29 korban, ada satu orang yang minta pendampingan hukum, satu korban minta layanan konseling dan 27 korban hanya memberikan laporan.

“Tidak semua kasus dilaporkan karena tidak tersedianya atau terbatasnya mekanisme pelaporan dan pencatatan kasus oleh otoritas berwenang di kampus,” ujarnya.

Ulfya mendesak Universitas Udayana melakukan penanganan sekaligus pencegahan dengan membuat instrumen aturan lewat Peraturan Rektor berdasarkan amanat Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.

Alih-alih menindaklanjuti dan memberikan perlindungan bagi penyintas kekerasan seksual, pihak rektorat universitas Udayana justru berusaha menyanggah fakta yang disampaikan LBH Bali dan Seruni Bali.

Rektor Universitas Udayana/ Unud, Prof. I Nyoman Gde Antara memang berjanji untuk menindak lanjuti temuan ini, tapi secara terbuka ia juga mengungkapkan kesangsiannya atas kasus ini. Antara bahkan mengancam akan mengadukan LBH Bali dan Seruni Bali ke Polresta Denpasar, jika terbukti mereka-reka data yang ada.

Ia mengkritisi data kekerasan seksual yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Sebab data tersebut hanya disampaikan ke media massa dan tidak lengkap. Karena itu, Antara akan berkoordinasi dan meminta LBH Bali lebih terbuka dan mau memberikan data-data kekerasan seksual tersebut, baik nama pelaku, waktu kejadian, nama korban dan lokasi kejadian.

Dikutip dari detik.com, Antara pernah mengatakan, data itu dibutuhkan untuk menindaklanjuti temuan ini. Pihak Unud, ujarnya, akan sangat sulit menelusuri bila data tidak lengkap. Pasalnya, saat ini Unud memiliki 35 ribu mahasiswa, 1.700 dosen dan 1.600 tenaga kependidikan.

Selain mengkritisi data yang dinilainya tidak lengkap, Antara juga mempertanyakan kevalidan dari data kekerasan seksual yang disebutnya didapatkan dari hasil survei.

“Kekerasan seksual kok melalui survei, melalui kuesioner, ini yang saya tidak mengerti, kapan survei dan kuesioner itu dilakukan, validasinya bagaimana, berapa populasinya, kemudian eror rate-nya berapa,” tanya Antara.

Ia menegaskan, pihaknya terbuka dan akan tegas menyelesaikan kasus Kekerasan Seksual/ KS selama didasarkan pada data.  Ia meminta LBH Bali dan Seruni membuka data nama pelaku, korban, waktu serta lokasi kejadian. Menurutnya data ini penting agar pihaknya bisa bergerak menindaklanjuti temuan ini.

“Kalau dia (LBH Bali) sampai memain-mainkan angka ini dengan bukti-bukti yang tidak nyata, kami bisa melakukan perlawanan secara hukum kepada LBH Bali. Apalagi Kadek Vany ini adalah mantan pengurus BEM-nya Unud. Mestinya dia lebih banyak tahu internal kami, tetapi kok begitu caranya,” Antara.

Antara meminta Seruni Bali yang merupakan organisasi pendamping korban dan LBH Bali sebagai lembaga bantuan hukum untuk membuktikan validitas keilmuan dalam menerima aduan kekerasan seksual sebagaimana yang dipaparkan pada Minggu (21/11/2021) malam.

Hanya dua hari setelah mengungkap hasil temuannya, aktivis Seruni menerima panggilan untuk memberikan klarifikasi atas temuannya ke jajaran Polresta Denpasar pada Kamis (25/11/2021).

Namun demikian, aktivis Seruni tidak memenuhi panggilan ini, karena sifatnya hanya klarifikasi. LBH Bali menyebut permintaan informasi dan klarifikasi yang diminta Polresta Denpasar yang tertuang dalam surat bernomor B/2368/XI/2021/Satreskrim itu dinilai tidak berperspektif pada kepentingan terbaik korban.

Sebaliknya, ini justru menunjukkan penggunaan kekuasaan untuk menekan pendamping korban menyampaikan data-data yang dilindungi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Kerahasiaan korban adalah bagian dari kepentingan terbaik bagi korban, yang selayaknya diutamakan dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual. Penanganan aduan selayaknya dihormati dan disupport bukan dihakimi dengan pelibatan Polresta Denpasar,” ujar Direktur LBH Bali, Ni Kadek Vany Primaliraning saat dihubungi Konde.co pada Jumat (26/11/2021).

Vany mempertanyakan sikap Rektor Unud yang meminta pihaknya untuk membuka data tentang korban dengan alasan agar bisa ditindaklanjuti. Ia bersikeras menolak data mengenai korban. Membuka data korban, ujarnya, akan memperparah trauma korban.

“Mengapa Rektor tidak punya data. Apakah tidak ada korban kekerasan seksual, atau apakah ada pengaduan tetapi tidak terselesaikan (pindah dosen pembimbing, korban diancam kriminalisasi, korban diintimidasi) atau apakah kampus tidak memiliki sistem perlindungan KS yang dianggap aman bagi korban untuk mengadu?” ujarnya.

Ia melanjutkan, harusnya rektor segera buat sistem perlindungan korban dan membuka Posko Pengaduan dan membentuk Satgas yang berperspektif korban, bukannya langsung menyangsikan fakta yang diungkap Seruni Bali.

Sikap Universitas Udayana yang menolak bahwa terjadi kekerasan seksual di lingkungan kampus menyalahi prinsip-prinsip yang terkandung dalam Surabaya Principle of Academic Freedom 2017, yang menyebutkan; Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.

Sikap Antara sebagai pemangku otoritas tertinggi di Unud dinilai mengabaikan pasal 6 ayat (3) dan pasal 12 ayat (2) Permendikbud PPKS, masing-masing mengamanatkan pihak perguruan tinggi untuk melakukan tindakan pencegahan kekerasan seksual lewat tata kelola dan penciptaan suasana yang kondusif serta kewajiban pihak universitas memberikan perlindungan kepada korban kasus kekerasan seksual dan/atau saksi.

Tindakan pelaporan oleh pihak Unud ini dinilai sebagai upaya untuk menyalahkan korban atau blaming the victim dengan upaya menemukan cacat atau kesalahan pada data tentang korban, ketidakadilan, atau upaya mengalihkan isu kekerasan seksual yang terjadi dan sebenarnya membutuhkan penyelesaian.

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) juga menyayangkan sikap Unud ini.

“Seharusnya terbitnya Permendikbud PPKS menjadi momentum bagi perguruan tinggi untuk berbenah,” ujar Made Yaya Sawitri dari KIKA Bali.

Yaya menambahkan, KIKA menolak segala upaya pembungkaman, pemutarbalikan fakta, blaming the victim dalam keberlanjutan penanganan kasus kekerasan seksual di Universitas Udayana.

KIKA juga mendesak pihak UNUD untuk menyegerakan pembentukan satgas yang berperspektif pada korban sebagaimana diamanahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!