UU Penghapusan KDRT Berhasil, Kenapa RUU PKS Belum? Jawabannya Kompleks

Kenapa RUUPKS tidak kunjung disahkan, sedangkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan? Sangat kompleks dan butuh kejelian untuk menjawabnya.

Jika ada yang bertanya kenapa RUU PKS tidak kunjung disahkan, sedangkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan? Jawabannya amatlah kompleks.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali mengalami babak baru. September 2021, RUU PKS berubah nama dan isi. Dengan nama baru Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), rancangan hukum publik ini pun mengalami pengurangan jumlah jenis kekerasan seksual dan ketentuan hak-hak korban.

Untuk memudahkan pemahaman kompleksitas itu, coba kita bandingkan RUUPKS dengan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Regulasi penghapusan kekerasan ini juga punya konsep gender dan seksualitas. Bahkan, upaya mewujudkan penghukuman bagi KDRT berarti mendobrak kesalahan konsep kemandirian keluarga yang merupakan ranah privat, bukan publik. Tapi, RUU PKDRT bisa berhasil diundangkan.

Padahal konsep gender dan seksualitas dalam 56 pasal UU PKDRT ini dulu juga mengalami resistensi kuat di masyarakat, seperti:

“Negara sudah mencampuri urusan internal keluarga!”

“Bahaya jika istri/perempuan bisa melapor tindakan pidana karena cenderung emosional!”

Ini dua dari banyak pernyataan penolakan di masyarakat terhadap RUU PKDRT yang sudah disahkan pada 22 September 2004.

Bahkan setelah sah dan diimplementasikan, UUPKDRT pun masih dipersolakan. Regulasi pemberi akses keadilan bagi anggota keluarga untuk melawan tindak pidana yang terjadi di rumahnya ini malah disimpulkan sebagai penyebab meningkatnya perceraian. UU PKDRT oleh penolaknya dinilai harus bertanggungjawab terhadap rusaknya masa depan istri dan anak-anak karena memenjarakan kepala keluarga.

Semua resistensi UU PKDRT pada pengesahan dan implementasi penegakan hukumnya, berhasil diatasi. Sebabnya karena RUU PKDRT tidak mengalami apa yang dialami upaya RUU PKS. Setidaknya ada tiga hal yang dialami RUU PKS tapi relatif tidak bagi UU PKDRT. Pertama, soal momentum. Kedua, soal ketentuan pidana. Ketiga, soal menurunnya kualitas dewan.

1.Soal Momentum

RUU PKS belum disahkan karena kehilangan momentum periodesasi pemerintahan. Bukan hanya periode parlemen tapi juga presiden. Salah satunya saat Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 1/2016. “Perppu Kebiri” ini lahir dari pemahaman Presiden Jokowi atas hal ihwal kegentingan memaksa berupa maraknya kekerasan seksual, khususnya terhadap anak.

Puncaknya adalah kasus “YY”, perempuan anak (14 tahun) di Bengkulu. YY diperkosa hingga tewas oleh 14 lelaki. Tubuh YY ditemukan awal Mei 2016 yang kasusnya mendorong demonstrasi masif di banyak kota berbentuk nyala lilin dan peluit tanda darurat kekerasan seksual. Aksi demonstrasi ini berbalas Perppu Kebiri yang mengubah sejumlah ketentuan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Pertanyaanya, mengapa bukan RUU PKS yang dijadikan Perppu? Mengapa keistimewaan Presiden sebagai kekuasaan eksekutif yang menghasilkan legislasi ini bukan bernama Perppu PKS? Mengapa nama produk hukumnya adalah Perppu Kebiri yang kontradiktif dengan paradigma kesetaraan dan keadilan gender yang justru antikekerasan termasuk dalam bentuk intervensi negara terhadap tubuh warganya?

Selain karena sensitivitas Presiden belum baik di isu ini, kemungkinan jawabannya, karena pendukung RUU PKS saat itu kurang solid mengupayakan rancangan hukum ini ke Presiden. Padahal, RUU PKS versi pertama sudah jadi pada November 2015.

Tampaknya sebagian pemangku kepentingan di masyarakat sipil ada yang belum dilibatkan dalam RUU PKS tapi relatif punya akses pengaruh terhadap Presiden. Perppu Kebiri seperti dinilai sesuai oleh Presiden Jokowi untuk menjawab demonstrasi kasus pedofilia terhadap YY. Padahal, dalam RUU PKS sudah mencakup penghapusan kekerasan seksual terhadap anak yang jauh lebih baik dibanding Perppu Kebiri.   

2.Soal Ketentuan Pidana

RUU PKS belum juga disahkan karena mengandung ketentuan pidana yang berkaitan dengan momentum pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. RKUHP merupakan hukum publik pidana umum yang juga mencakup sebagian bentuk kekerasan seksual. RKUHP dan RUUPKS beberapa kali bersamaan masuk menjadi RUU prioritas program legislasi nasional.

Di luar RKUHP, hukum acara pidana pun diupayakan perubahannya. Dengan tajuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), revisi hukum formil penanganan kajahatan ini hendak mengatasi apa yang selama ini jadi hambatan penegakan hukum, termasuk untuk kasus kekerasan seksual. Kita tahu, berdasar hukum acara yang lama, kekerasaan seksual sulit dibuktikan. Ketentuan alat bukti, korban, saksi, penyidikan, dan peradilan, memang menghambat untuk mengungkap kasus dan pelaku kekerasan seksual.

Pertanyaannya, dengan KUHP dan KUHAP yang sama, mengapa RUU PKDRT bisa sah sedangkan RUU PKS tidak? Jawabannya karena RUUPKS punya ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana yang baru.

RUU PKDRT berhasil sah, karena ketentuan pidana KDRT relatif sama dengan ketentuan dalam KUHP dan KUHAP. Bagi RUU PKDRT, kekerasan di dalam rumah oleh anggota keluar kepada anggota keluarga yang lain merupakan kekerasan yang sama dengan kekerasan di luar rumah. Memukul di ruangan tempat tinggal, sama jahatnya dan sama hukumannya dengan memukul di dalam gedung negara, jalanan, lapangan, terminal, dan lainnya. Kejahatan di ranah privat sama dengan kejahatan di ranah publik/negara. Sehingga, RUU PKDRT bisa sah karena tidak mengubah struktur pidana umum nasional baik materil maupun formil.

Itu yang berbeda dengan RUU PKS. Ada sejumlah ketentuan materil dan formil dalam RUUPKS yang tidak ada di dalam KUHP dan KUHAP. Karena hal ini, RUU PKS jadi rancangan yang tidak biasa dalam sistem hukum pidana dan peradilan pidana Indonesia.   

Memang, banyak ketentuan RUU PKS yang tidak ada dalam KUHP. Tapi, jika kita rujuk RKUHP, pidana umum ini cukup mengakomodir sejumlah ketentuan pelecahan dan kekerasan seksual yang coba diatur dalam RUU PKS. Misalnya, sudah adanya rincian bentuk dan penanganan pemerkosaan, pedofilia, dan juga catcalling (penghinaan ringan).

Posisi RKUHP dan RUU PKS yang beberapa kali bersamaan masuk prioritas program legislasi nasional penting disikapi hati-hati. Dua undang-undang ini amat penting tapi jangan sampai terjadi duplikasi ketentuan yang bertentangan sehingga berdampak pada implementasi yang tidak efektif, bahkan merugikan korban.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik jadi contoh bagaimana keburukan implementasi hukum pidana saat adanya ketentuan pidana di luar KUHP yang tidak terhubung. Jadinya, overkriminalisasi dan bias. Dua keburukan rumusan hukum ini dalam implementasinya menambah korban hukum yang lebih banyak dari kalangan lemah dan terdiskriminasi. Tentu semua ini bertolak belakang dengan RUUPKS yang punya cita adil gender dan pemulihan korban.

Aspirasi RUU PKS yang genting untuk disahkan, penting dikelola menyertakan keberadaan RKUHP. Ketentuan dalam RUU PKS yang kompleks perlu untuk diselaraskan dengan RKUHP. Keselarasan UUPKDRT dengan KUHP penting jadi rujukan sukses kejernihan aspirasi perempuan dalam proses peraturan perundang-undangan, khususnya hukum pidana.

Dalam sosialisasi dan kampanye, bisa jadi ada pertaruhan yang dilematis. Mana yang lebih penting, RKUHP atau RUU PKS? Keduanya penting. Tapi, RKUHP cenderung diterima logika pemahaman umum bagi DPR dan masyarakat sipil di luar pendukung RUU PKS. Selain KUHP merupakan fondasi hukum pidana suatu negara, sentimen nasionalisme hukum pidana Indonesia yang menggantikan KUHP Belanda membuat agenda hukum pidana umum lebih mungkin diprioritaskan.

3.Soal Kualitas Dewan

Kualitas representasi DPR yang menurun pun dialami proses legislasi RUUPKS. Anggota DPR 2019-2024 dihasilkan dari sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu yang pertama diterapkan pertama pada Pemilu 2009 ini cenderung menghasilkan anggota dewan berlatar belakang selebritas, berfinansial banyak, atau orang kuat daerah dinasti politik. Sistem keterpilihan suara terbanyak caleg menghasilkan wajah DPR lebih banyak diisi pesohor.

Anggota DPR 2004-2009 yang mengesahkan UU PKDRT lebih banyak berlatar belakang kader parpol atau aktivis. Semua dari hasil Pemilu 2004 dengan sistem proporsional semiterbuka. Syarat keterpilihan caleg berupa perolehan suara senilai 1 kursi membuat negosiasi masyarakat sipil terhadap kelembagaan parpol berjalan. Nomor urut caleg memang ditentukan parpol, tapi perempuan yang masuk daftar caleg diakui parpol sebagai utusan gerakan perempuan.

11,82% (dari 550) perempuan dewan 2004-2009 memang lebih sedikit dibanding 21,39% (dari 575) perempuan dewan 2019-2024. Tapi, kualitas perempuan (dan lelaki) dewan hasil Pemilu 2004 lebih bisa memengaruhi fraksi parpol hingga mengesahkan UU PKDRT.

Bagaimana pun juga, hukum merupakan produk politik, dan kualitas politik terkait kualitas masyarakatnya. Sehingga, prospek RUUPKS pun terkait dengan keadaan undang-undang pemilu dan partai politik. Saluran politik yang makin membatasi dan mahal dalam pembentukan partai politik dan kepesertaan pemilu, membuat masyarakat sipil makin jauh dengan kelembagaan demokrasi dan pendidikan politik. Apa yang kuat disuarakan oleh lembaga nonpemerintah/masyarakat sipil, makin kurang diperhatikan karena tidak menggambarkan mayoritas konstituen.

Semoga kita bisa belajar setidaknya dari tiga soal tersebut. Tanpa evaluasi, pemetaan masalah, dan sinergi luas banyak pemangku kepentingan, bisa jadi, bukan hanya RUUPKS yang tidak bisa mengulang sukses UU PKDRT tapi juga undang-undang adil gender apapun nantinya.

Usep Hasan Sadikin

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Penerima Beasiswa Munir Said Thalib (2018-2022) di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!