Cantik Atau Tidak Cantik Itu Bukan Urusanmu: Kita Setara di Dunia Digital

Pertanyaan tentang kriteria cantik di media sosial, hanya menjadi kepanjangan tangan seksisme dari percakapan sehari-hari. Padahal, cantik atau tidak cantik itu bukan urusanmu, karena kita harus setara di dunia digital

“Yang cantik itu yang putih mulus.”

“Kalau gak cantik, menyingkir sana.”

Ucapan seksis yang dulu kerap kita dengar di aktivitas offline, sekarang merambah ke aktivitas online

Di berbagai platform media sosial, kita bisa menemukan perangkat filter (efek palsu) untuk memoles wajah perempuan. Ini tak ubahnya seperti merekayasa ‘eksistensi perempuan’ yang mengakar pada standar kecantikan tertentu. Seperti, harus putih dan mulus.

Perempuan yang tampaknya ingin membuktikan kebebasan berekspresi di sosial media ini, lalu digiring oleh nilai-nilai patriarki untuk mengimajinasi kecantikan yang patriarkis.

Penulis, Saraswati membedah mitos kecantikan yang ada di Indonesia. Melalui bukunya, “Seeing Beauty, Sensing Race In Transnational Indonesia”, ia mengotopsi sejarah pemikiran masyarakat tentang konsepsi menjadi cantik adalah menjadi putih. 

Saraswati mengamati bahwa ‘putih’ itu cantik, telah hadir jauh sebelum kolonialisme. Mitos kecantikan, mula-mula dapat ditemukan dari Epos Ramayana dari India. Karakteristik Sinta misalnya, digambarkan seperti rembulan yang terang dan putih. 

Ini pada akhirnya membentuk suatu idealitas tertentu tentang cantik haruslah putih. Dengan demikian, Saraswati mengatakan bahwa konsep warna kulit putih sebagai standar kecantikan lebih merupakan efek dari sejarah transnasional bangsa kita. 

Hasrat kecantikan itu kemudian dimanfaatkan oleh industri kapitalis untuk membuat berbagai produk kecantikan. Selain itu, fitur-fitur yang disuguhkan oleh berbagai platform media sosial, mengkristalkan definisi kulit putih sebagai standar kecantikan. 

Oleh karenanya, sangat jelas bahwa praktik pewacanaan kecantikan ‘kulit putih’ harus dilihat sebagai alienasi atas perempuan di dunia digital. Kesadaran perempuan distimulasi oleh platform media yang menguntungkan kapitalisme dan menindas mereka para puan yang tidak memiliki warna putih.

Sudah jelas, bahwa perempuan hingga kini masih mengalami berbagai masalah kultur. Tak terkecuali, kaitannya dengan seksisme dan objektivikasi. Kala era digital semakin berkembang pesat, berbagai stigma kultur yang tidak membebasakan perempuan, secara online ini pun, marak terjadi. 

Tak heran, jika selama ini banyak kita jumpai, komentar seksis ataupun konten-konten yang menempatkan perempuan, lagi-lagi jadi kalangan ‘nomor dua’ yang bisa seenaknya saja dijadikan objek dan bersifat pasif. 

Aktivisme di ruang digital untuk membela hak-hak perempuan juga tak jarang dihadang. Pun para perempuan yang mencoba mengekspresikan dirinya dengan segenap kebebasannya justru jadi sasaran, mereka dimaki dan dilecehkan. Sehingga, dunia digital saat ini, masih belum sepenuhnya menjadi ruang yang aman dalam menyuarakan keadilan gender.  

Kecantikan, Konsep Patriarki dalam Dunia Digital

Konsep kecantikan sangatlah sulit untuk didefinisikan secara universal. Hal ini tentu saja membuka ruang bagi banyak orang untuk selalu mendefinisikan kecantikan sesuai kultur mereka 

Bagi saya yang terpenting adalah persoalan tentang bagaimana perempuan hadir di ruang sosial dengan identitasnya itu harus membebaskan pilihan perempuan, karena selama ini kriteria-kriteria cantik inilah yang semakin membelenggu hidup perempuan

Emansipasi Kekinian di Ruang Publik

Saya rasa, hadirnya berbagai platform feminis seperti Konde.co, Empuan id, Perempuan Berkisah, Magdalene adalah upaya untuk menyingkirkan berbagai stigmatisasi atas perempuan yang masih kerap terjadi. Pengarusutamaan keadilan gender ini mendapatkan apresiasi dari muda-mudi. 

Saya kira, itu merupakan satu tahapan penting dalam membangkitkan emansipasi perempuan untuk meng-counter wacana maupun aksi yang merugikan perempuan. Namun, kita seharusnya menyadari bahwa upaya-upaya seperti ini harus beranjak ke tahap selanjutnya.

Hemat saya, diskursus perempuan idealnya memang harus lebih masif, termasuk, mengangkat berbagai isu perempuan yang selama ini masih belum banyak disorot, untuk jadi perhatian lebih serius. 

Selain pewacanaan melalui media, saya kira penting juga mendiskusikan tema-tema sentral soal feminisme dengan berbagai pegiat isu. Di berbagai ruang diskusi yang digelar oleh berbagai komunitas, biasanya saya suka mengajak teman-teman untuk merefleksikan perjuangan perempuan di berbagai belahan dunia hingga di Indonesia ini. 

Prinsip saya sederhana, feminisme adalah produk pengetahuan, ia bisa direvisi, dievaluasi dan didiskusikan. 

Dialektika pemikiran dan perubahan sosial ini juga harus melibatkan diri di dalam komunitas-komunitas tertentu. Karena sesungguhnya tantangan kita di era ini, sangatlah nyata yaitu krisis moral dan penindasan di ruang media sosial kerap terjadi. 

Jadi, ketimbang pikiran-pikiran perempuan muda ditindas untuk melayani identitas-identitas di luar dirinya, alangkah baik kalau pikiran para patriarkh lah yang diarahkan untuk menghormati perempuan. #DuniaDigitalSetara #GerakBersama

(Karya ini ditulis oleh penulis dan didukung dari hasil kerja sama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/ PKBI dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual/ KOMPAKS)

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!